Teater kawasan di Indonesia banyak yang menggunakan dongeng dari lisan ke lisan sebagai sumber utama dongeng dan materi dasar ekspresi. Hal fundamental inilah yang membedakan antara teater kawasan (tradisional) dan teater modern. Akan tetapi pada perkembangannya teater kawasan juga mendapat imbas dari teater modern, sehingga tidak jarang kita temui naskah-naskah dongeng pertunjukan teater kawasan yang diambil dari teater modern. Oleh lantaran hal tersebut, maka teater kawasan diberi batasan sebagai seni pertunjukan yang mempunyai ciri-ciri khas suatu kawasan tertentu. Selanjutnya untuk memetakan teater kawasan menurut kelahiran, perkembangan dan perubahannya teater kawasan Indonesia sanggup dibedakan menjadi teater tradisional dan teater kawasan baru.
Teater tradisional ialah teater yang telah hidup, berkembang dan diajarkan secara turun temurun dari generasi ke generasi (biasanya secara lisan) oleh masyarakat suatu kawasan tertentu, misalnya; wayang kulit, wayang orang dan tontonan topeng baik di Jawa dan Bali. Teater tradisional ini sendiri dibagi menjadi dua yaitu yang berkembang di istana dan yang berkembang di luar tembok istana yang biasa disebut sebagai teater rakyat (Murgiyanto, dkk., 1983:19).
Kasim Achmad dalam bukunya Mengenal Teater Tradisional di Indonesia(2006) mengatakan, sejarah teater tradisional di Indonesia dimulai semenjak sebelum Zaman Hindu. Pada zaman itu, ada gejala bahwa unsur-unsur teater tradisional banyak dipakai untuk mendukung upacara ritual. Teater tradisional merupakan kepingan dari suatu upacara keagamaan ataupun upacara adat-istiadat dalam tata cara kehidupan masyarakat kita. Pada ketika itu, yang disebut “teater”, sebetulnya gres merupakan unsur-unsur teater, dan belum merupakan suatu bentuk kesatuan teater yang utuh. Setelah melepaskan diri dari kaitan upacara, unsur-unsur teater tersebut membentuk suatu seni pertunjukan yang lahir dari spontanitas rakyat dalam masyarakat lingkungannya (Achmad, 2006: 16) .
Sedangkan yang disebut teater kawasan gres ialah teater yang sekalipun mempunyai ciri-ciri kedaerahan tetapi relatif gres kelahirannya, ibarat drama gong dan sandiwara radio. Proses terjadinya atau munculnya teater kawasan di Indonesia sangat bervariasi dari satu kawasan dengan kawasan lainnya. Hal ini disebabkan oleh unsur-unsur pembentuk teater yang berbeda-beda, tergantung kondisi dan perilaku budaya masyarakat, serta sumber dan tata-cara di kawasan mana teater tersebut lahir.
Dilihat dari model pemanggungannya, teater kawasan Indonesia mempunyai gaya presentasional, artinya bahwa pertunjukan yang disajikan tersebut benar-benar diperuntukkan kepada penonton. Senada dengan gayanya, maka ciri-ciri pementasan teater daerah sanggup dilihat dari tiga hal yaitu;
Suasana pementasan teater kawasan sangat berbeda dengan pementasan teater modern atau teater Barat. Dalam teater modern, penonton menyaksikan dengan tertib dari awal hingga pertunjukan berakhir, dilarang ribut, dilarang menyela pertunjukan yang berlangsung dan banyak sekali tatanan yang lain. Berbeda dengan teater daerah, penontonnya sanggup menikmati pertunjukan dengan santai. Tidak ada tuntutan untuk hanya memusatkan perhatian pada pertunjukan saja, bahkan selama pertunjukan kadang penonton sanggup melaksanakan komunikasi dengan pemain atau memberi arahan pada pemain.
Dari segi aspek pendukung, teater kawasan memadukan segala unsur seni pertunjukan ibarat tari, musik, lagu, dan bahkan akrobat (atraksi). Hal ini dikarenakan teater kawasan tidak ditampilkan secara khusus hanya untuk kalangan atau orang tertentu saja (segmented), akan tetapi untuk dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, sehingga menyebabkan sifat pertunjukannya mempunyai bagian-bagian yang sanggup mengakomodasi impian semua penonton.
Kehendak untuk memenuhi impian penonton inilah yang juga mendasari lahirnya stilisasi dan atau pengindahan bentuk-bentuk ungkap (ekspresi) para pelakunya. Karena hubungan antara pemain dan penonton yang begitu dekat, maka tidak jarang pemain melepaskan sebentar abjad yang dimainkannya hanya untuk melayani komentar atau arahan penonton. Hal-hal demikian bukan menciptakan pertunjukan menjadi jelek, akan tetapi justru menjadi hidup, cair, komunikatif, dan unik.
Beberapa Teater Daerah di Indonesia
a) Longser
Longser ialah teater kawasan Jawa Barat yang di dalamnya berisikan tari, nyanyi, dan lawak. Seluruh pelakunya terdiri dari sejumlah penabuh, beberapa penari perempuan yang disebut ronggeng dan seorang komedian atau badut yang biasa memimpin rombongan longser berada dalam satu panggung. Pertunjukan longser dimulai dengan memperkenalkan para ronggeng yang menari bersama-sama. Setelah itu adegan lawak dimulai dengan munculnya badut yang ikut menari-nari secara jenaka. Selanjutnya terjadilah adegan badut menyenangi ronggeng yang cantik.
Setelah menari tunggal, badut juga memperlihatkan tarian jenaka ibarat Cikeruhan, Langlayangan, Maen Kartu, tari Tani dan tarian lainnya yang bertemakan kegiatan rakyat banyak. Adegan yang paling menarik adalah di mana penonton laki-laki diperkenankan memasuki arena untuk menari berpasangan dengan para ronggeng. Adegan ini merupakan kesempatan bagi rombongan longser untuk memungut uang dari para penonton. Uang ini sanggup diterima dari penari laki-laki yang memberikannya eksklusif kepada ronggeng atau melalui “ngara yuda”, yaitu sejumlah ronggeng yangberkeliling di antara penonton sambil mengedarkan nampan sebagai tempat uang sumbangan.
Peranan badut atau komedian yang biasa disebut bodor sangatlah penting. Mereka merupakan perajut dongeng dari seluruh pertunjukan longser yang biasanya bertema kehidupan sehari-hari seperti; pertengkaran, perkawinan, perceraian dan lain-lain.
b) Lenong
Teater kawasan yang ceritanya digali dari dongeng rakyat dan legenda kawasan Jakarta dengan tokoh-tokoh ahli silat ibarat si Pitung, si Jampang, Ayub Jago Betawi, Marunda dan lain sebagainya. Pertunjukan lenong diiringi oleh gamelan gambang kromong yang terdiri dari; gambang, kromong, suling, tekyang, kong ah yan, sukong, cecer, dan gong.
Dilihat dari sisi instrumen musik, lenong banyak mendapat imbas dari masyarakat Cina yang memang banyak tinggal di Jakarta waktu itu. Bahkan kelahiran lenong ini pun mendapat rangsangan dan imbas dari pertunjukan Wayang Cina. Namum demikian dalam perkembangannya lenong tidak menolak imbas lain, misalnya; untuk memperlihatkan suasana Eropa pada adegan rumah tuan Belanda, maka terompetpun dihadirkan.
Pertunjukan lenong biasa dibuka dengan tari-tarian khas Betawi. Bahasa yang dipakai ialah bahasa Betawi atau bahasa Indonesia dengan dialek Betawi. Adegan-adegan dalam pertunjukan lenong berjalan mengalir dan cair. Semua pemainnya mempunyai potensi komedi, artinya, setiap tugas tokoh sanggup dilakonkan secara jenaka. Komunikasi dengan penonton menjadi ciri dan kekuatan tersendiri dalam pertunjukan lenong. Peran penonton kadang sanggup memperlihatkan suasana dan mengalirkan dinamika lakon yang hendak dibangun. Ciri khas gaya lenong adalah; pemain yang menanyakan pendapat penonton ihwal satu kasus atau kasus tertentu, sehingga pemain membutuhkan pembenaran-pembenaran. Dari interaksi ini biasanya justru melahirkan persoalan-persoalan kecil lain yang menciptakan konflik antar pemain menajam dan menjadikan lakon dinamis.
c) Wayang Orang
Wayang Orang merupakan pertunjukan tradisional yang berkembang di dalam benteng istana. Pertunjukan ini mengambil model wayang kulit yang dilakonkan orang. Perkembangan wayang orang sangat pesat pada rentang tahun 1900-1940. Ada dua gaya yaitu; Wayang Orang gaya Yogyakarta dan Surakarta. Keduanya mengalami perkembangan yang signifikan pada tahun-tahun tersebut. Pada masa itu kalangan istana dalam hal ini Raja mempunyai kepedulian yang besar terhadap kesenian, sehingga banyak pertunjukan wayang orang digelar. Tidak jarang dalam satu pementasannya sebuah lakon dimainkan oleh ratusan seniman dan penyelengaraannya pun berhari-hari. Menurut catatan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (Raja Yogyakarta) pernah menggelar pertunjukan wayang orang dengan pemain sejumlah 800 orang selama 4 hari berturut-turut.
Pada perkembangannya Wayang Orang lebih mendapat eksistensinya di Surakarta. Banyak muncul rombongan wayang, di antaranya; Sedyo Wandowo (1929), Sri Wahito (1935), dan Ngesthi Pandawa (1962). Perkembangan ini tidak lepas dari peranan Raja yang memang memperlihatkan ruang gerak dan ekspresi bagi seni Wayang Orang. Hal ini ditandai dengan didirikannya tempat pertunjukan di lokasi “Sri Wedari” yang merupakan Kebun Kerajaan oleh Sri Susuhunan Paku Buwono X pada tahun 1901. Banyak macam pertunjukan digelar di tempat tersebut, salah satunya yang mendapat perhatian ialah Wayang Orang.
Secara struktur pertunjukan Wayang Orang tidak jauh berbeda dengan Wayang Kulit. Penjalinan adegan satu dengan yang lain, tata urutan adegan, contoh dialog, dan seluruh elemen pertunjukan mempunyai kemiripan dengan wayang kulit. Sumber lakon yang banyak dipakai juga sama, yaitu; epos Mahabarata dan Ramayana.
d) Ketoprak
Pada mulanya ketoprak ialah seni rakyat yang berkembang di tengah-tengah rakyat, akan tetapi lantaran kepopulerannya ketoprak mendapat sentuhan dari kalangan istana dengan sering diboyongnya pertunjukan ketoprak di pendapa istana. Sampai ketika ini terdapat dua pendapat ihwal lahirnya ketoprak. Pendapat pertama menyatakan bahwa ketoprak diciptakan oleh RMT Wreksodiningrat dari Surakarta tahun 1908. Pendapat kedua menyatakan bahwa ketoprak lahir lebih kurang tahun 1887 di suatu desa kepingan selatan Yogyakarta.
Lepas dari hal tersebut, ketoprak mengalami perkembangan yang menggembirakan (terutama di Yogyakarta). Bahkan hingga ketika ini terdapat tiga periode besar perkembangan ketoprak yaitu; periode Ketoprak Lesung, Ketoprak Peralihan, dan Ketoprak Gamelan. Pada periode Ketoprak Lesung alat yang dipakai sebagai musik ialah lesung (alat penumbuk padi manual), pada periode peralihan musiknya mulai menambahkan alat tabuhan semisal rebana. Pada periode Ketoprak Gamelanlah pertunjukan ketoprak benar-benar mengalami perubahan. Pada periode ini, keseluruhan sajian lakon mendapat sentuhan.
Pada masa-masa awal perkembangan Ketoprak Gamelan model sajiannya masih banyak menggunakan unsur tarian dan nyanyian. Para pemain menari sebelum memasuki pentas dan terkadang menyanyi untuk memulai sebuah adegan. Sebagai pengalih dan sekaligus hiburan, maka diciptakan adegan khusus dagelan (lawak) yang biasanya diperankan oleh para abdi. Selanjutnya ketoprak mendapat banyak sekali macam imbas dan sentuhan, sehingga model pengadeganan menjadi lebih kreatif. Seni teater Barat mempunyai imbas yang berpengaruh pada perkembangan ketoprak. Tidak hanya pada pengadeganan, akan tetapi juga menyentuh wilayah-wilayah artistik lain, ibarat tata panggung.
Sumber dongeng ketoprak sangatlah beragam; Panji, Sejarah Kerajaan, bahkan dongeng 1001 malam dan cerita-cerita dari negeri tiongkok juga diadopsi. Dengan banyaknya sumber dongeng ini, maka ketoprak seolah tidak pernah kehabisan materi sebagai media ungkap ekspresi. Di samping itu ketoprak juga sangat terbuka terhadap lahirnya jenis-jenis seni gres dan terkadang justrumemasukkannya menjadi satu kepingan integral misalnya; campur sari. Hal ini dilakukan oleh para seniman ketoprak untuk tetap menjaga kelestarian dan kemungkinan perkembangan hidupnya di masa datang.
e) Ludruk
Ludruk merupakan seni teater kawasan yang membawakan lakon (cerita) dengan gerak laris realistik dan lebih mementingkan obrolan (percakapan) serta banyolan. Pada mulanya ludruk dimainkan oleh pria, sehingga peran-peran perempuan juga dimainkan oleh pria. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi seni ludruk. Meski kini banyak tugas perempuan yang dimainkan oleh perempuan akan tetapi masih ada rombongan ludruk yang mempertahankan tradisi dengan pemain laki-laki.
Pertunjukan ludruk mempunyai struktur yang terdiri dari bagian-bagian sebagai berikut:
Sumber dongeng ludruk biasanya ialah kehidupan sehari-hari, legenda hero kawasan Jawa Timur atau dongeng revolusi. Dalam menyajikan cerita-cerita tersebut tak jarang diselingi dengan lawakan atau lagu-lagu (nyanyian atas seruan penonton) dalam beberapa adegannya. Sebagai instrumen musik pengiringnya ludruk menggunakan gamelan, meski tidak selengkap gamelan Jawa untuk mengiringi wayang kulit. Instrumen gamelan yang dipakai antara lain; saron, gender, bonang, gambang, rebab, suling, siter, beberapa gong, dan kendang.
f) Drama Gong
Drama Gong merupakan seni teater kawasan baru, yang diciptakan atau diprakarsai oleh Anak Agung Gde Raka Payadnya pada tahun 1966. Seni teater ini merupakan perpaduan antara sendratari, sandiwara (drama modern), Arja (Prembon) dan diiringi dengan gamelan Gong Kebyar. Drama Gong semenjak lahirnya tidak mempunyai fungsi lain, selain hadir sebagai seni hiburan.
Pertama kali lakon yang dipakai untuk pementasan dalam drama Gong diambil dari dongeng Jayaprana, sebuah dongeng rakyat Bali yang temanya serupa dengan kisah romeo dan Juliet. Kemudian pada perkembangannya banyak cerita-cerita klasik yang diangkat ke dalam pertunjukan Drama Gong seperti; Ramayana, Mahabarata, Panji, Sejarah Bali, dan lain sebagainya. Dalam memberikan obrolan atau percakapan antar tokoh, Drama Gong menggunakan bahasa Bali, halus atau kasar. Hal ini berbeda dengan teater klasik yang sering menggunakan bahasa Jawa Kuno dalam pementasannya. Pemilihan penggunaan bahasa ini menjadikan Drama Gong tampil komunikatif.
g) Wayang
Wayang merupakan suatu bentuk teater tradisional yang sangat tua, dan sanggup ditelusuri asal muasalnya. Dalam menelusuri semenjak kapan ada pertunjukan wayang di Jawa, sanggup kita temukan dalam banyak sekali prasasti pada Zaman Raja Jawa, antara lain pada masa Raja Balitung. Pada masa pemerintahan Raja Balitung, telah ada petunjuk adanya pertunjukan Wayang ibarat yang terdapat pada Prasasti Balitung dengan tahun 907 Masehi. Prasasti tersebut mewartakan bahwa pada ketika itu telah dikenal adanya pertunjukan wayang.
Petunjuk semacam itu juga ditemukan dalam sebuah kakawin Arjunawiwahakarya Mpu Kanwa, pada Zaman Raja Airlangga dalam kurun ke-11. Oleh karenanya, pertunjukan wayang dianggap kesenian tradisi yang sangat tua.
Keberadaan wayang juga ditengarai pada ketika Prabu Jayabaya bertahta di Mamonang pada tahun 930. Sang Prabu inginmengabadikan wajah para leluhurnya dalam bentuk gambar yang kemudian dinamakan Wayang Purwa. Dalam citra itu diinginkan wajah para tuhan dan insan Zaman Purba. Pada mulanya hanya digambar di dalam rontal (daun tal). Orang sering menyebutnya daun lontar. Kemudian menjelma wayang kulit sebagaimana dikenal sekarang. Pertunjukan wayang sanggup saja telah ada jauh sebelum masa Raja Balitung, tetapi kapan awal keberadaanya belum ada cara memastikan (Holt, 2000: 167)
h) Makyong
Makyong merupakan suatu jenis teater tradisional yang bersifat kerakyatan. Makyong yang paling renta terdapat di pulau Mantang, salah satu pulau di kawasan Riau. Pada mulanya kesenian Makyong berupa tarian joget atau ronggeng. Dalam perkembangannya kemudian dimainkan dengan cerita-cerita rakyat, legenda dan juga cerita-cerita kerajaan. Makyong juga digemari oleh para aristokrat dan sultan-sultan, hingga sering dipentaskan di istana-istana. Bentuk teater rakyat makyong tak ubahnya sebagai teater rakyat umumnya, dipertunjukkan dengan menggunakan media ungkap tarian, nyanyian, laku, dan obrolan dengan membawa cerita-cerita rakyat yang sangat terkenal di daerahnya. Cerita-cerita rakyat tersebut bersumber pada sastra lisan Melayu. Daerah Riau merupakan sumber dari bahasa Melayu Lama. Ada dugaan bahwa sumber dan akar Makyong berasal dari kawasan Riau, kemudian berkembang dengan baik di kawasan lain.
Pementasan makyong selalu diawali dengan bunyi tabuhan yang dipukul bertalu-talu sebagai tanda bahwa ada pertunjukan makyong dan akan segera dimulai. Setelah penonton berkumpul, kemudian seorang pawang(sesepuh dalam kelompok makyong) tampil ke tempat pertunjukan melaksanakan persyaratan sebelum pertunjukan dimulai, yang dinamakan upacara buang bahasa atau upacara membuka tanah dan berdoa untuk memohon biar pertunjukan sanggup berjalan lancar.
i) Randai
Randai merupakan suatu bentuk teater tradisional yang bersifat kerakyatan yang terdapat di kawasan Minangkabau, Sumatera Barat. Sampai ketika ini, randai masih hidup, berkembang serta masih digemari oleh masyarakatnya, terutama di kawasan pedesaan atau di kampung-kampung. Teater tradisional di Minangkabau bertolak dari sastra lisan. begitu juga Randai bertolak dari sastra lisan yang disebut “kaba” (dapat diartikan sebagai cerita). Bakabaartinya bercerita.
Ada dua unsur pokok yang menjadi dasar Randai, yaitu.
j) Mamanda
Daerah Kalimantan Selatan mempunyai cukup banyak jenis kesenian antara lain yang paling terkenal ialah Mamanda, yang merupakan teater tradisional yang bersifat kerakyatan, atau sering disebut sebagai teater rakyat. Pada tahun 1897 Rombongan Abdoel Moeloek, dari Malaka yang lebih dikenal dengan ‘komidi’ Indra Bangwawan tiba ke Banjarmasin. Pengaruh Komidi Bangsawan ini sangat besar terhadap perkembangan teater tradisional di Kalimantan Selatan. Sebelum Mamanda lahir, telah ada suatu bentuk teater rakyat yang dinamakan Bada Moeloek, atau dari kata Ba Abdoel Moeloek. Nama teater tersebut berasal dari judul dongeng yaitu Abdoel Moeloek karangan Saleha.
k) Ubrug
Ubrug merupakan teater tradisional bersifat kerakyatan yang terdapat di kawasan Banten. Ubrug menggunakan bahasa kawasan Sunda, campur Jawa dan Melayu, serupa dengan topeng banjet yang terdapat di kawasan Karawang. Ubrug sanggup dipentaskan di mana saja, ibarat halnya teater rakyat lainnya. Dipentaskan bukan saja untuk hiburan, tetapi juga untuk memeriahkan suatu “hajatan”, atau meramaikan suatu “perayaan”. Ubrug sanggup dipentaskan dalam banyak sekali macam acara.
Cerita-cerita yang dipentaskan terutama dongeng rakyat, sesekali dongeng atau dongeng sejarah Beberapa dongeng yang sering dimainkan ialah Dalem Boncel, Jejaka Pecak, Si Pitung atau Si Jampang (pahlawan rakyat setempat, ibarat juga di Betawi). Gaya penyajian dongeng umumnya dilakukan ibarat pada teater rakyat, menggunakan gaya humor (banyolan), dan sangat karikatural sehingga selalu mencuri perhatian para penonton.
l) Gambuh
Gambuh merupakan teater tradisional yang paling renta di Bali dan diperkirakan berasal dari kurun ke-16. Bahasa yang dipergunakan ialah bahasa Bali Kuno dan terasa sangat sukar dipahami oleh orang Bali sekarang. Tariannya pun terasa sangat sulit, lantaran merupakan tarian klasik yang bermutu tinggi. Oleh lantaran itu,tidaklah mengherankan kalau gambuh merupakan sumber dari tari-tarian Bali yang ada. Sejarah gambuh telah dikenal semenjak kurun ke-14 di Zaman Majapahit dan kemudian masuk ke Bali pada selesai Zaman Majapahit. Di Bali, gambuh dipelihara di istana raja-raja.
Kebanyakan lakon yang dimainkan gambuh diambil dari struktur dongeng Panji yang diadopsi ke dalam budaya Bali. Cerita-cerita yang dimainkan di antaranya adalah Damarwulan, Ronggolawe, dan Tantri.Peran-peran utama menggunakan obrolan berbahasa Kawi, sedangkan para punakawan berbahasa Bali. Sering pula para punakawan menerjemahkan bahasa Kawi ke dalam bahasa Bali biasa.
Suling dalam gambuh yang suaranya sangat rendah, dimainkan dengan teknik pengaturan nafas yang sangat sukar, mendapat tempat yang khusus dalam gamelan yang mengiringi gambuh, yang sering disebut gamelan “pegambuhan”. Gambuh mengandung kesamaan dengan “opera” pada teater Barat, lantaran unsur musik dan menyanyi mendominasi pertunjukan. Oleh lantaran itu, para penari harus sanggup menyanyi. Pusat kendali gamelan dilakukan oleh juru tandak, yang duduk di tengah gamelan dan berfungsi sebagai penghubung antara penari dan musik. Selain dua atau empat suling, melodi pegambuhan dimainkan dengan rebab bersama seruling. Peran yang paling penting dalam gamelan ialah pemain kendang lanang atau disebut juga kendang pemimpin. Dia memberi instruksi pada penari dan penabuh.
m) Arja
Arja merupakan jenis teater tradisional yang bersifat kerakyatan, dan terdapat di Bali. Seperti bentuk teater tradisi Bali lainnya, arja merupakan bentuk teater yang penekanannya pada tari dan nyanyi. Semacam gending yang terdapat di kawasan Jawa Barat (Sunda), dengan porsi yang lebih banyak diberikan pada bentuk nyanyian (tembang). Apabila ditelusuri, arja bersumber dari gambuh yang disederhanakan unsur-unsur tarinya, lantaran ditekankan pada tembangnya. Tembang (nyanyian) yang dipakai menggunakan bahasa Jawa Tengahan dan bahasa Bali halus yang disusun dalam tembang macapat.
n) Dulmuluk
Dulmuluk ialah teater kawasan Sumatera selatan. Teater ini terbentuk melalui tahapan panjang yang dimulai dari proses pembacaan syair atau tutur, hingga menjadi sebuah pertunjukan teater utuh. Kata Dulmuluk sendiri berasal dari nama bintang film utama syair Abdulmuluk yaitu Raja Abdulmuluk Jauhari.
Pertunjukan Dulmuluk awalnya mempunyai beberapa ciri sebagai
berikut:
Teater tradisional ialah teater yang telah hidup, berkembang dan diajarkan secara turun temurun dari generasi ke generasi (biasanya secara lisan) oleh masyarakat suatu kawasan tertentu, misalnya; wayang kulit, wayang orang dan tontonan topeng baik di Jawa dan Bali. Teater tradisional ini sendiri dibagi menjadi dua yaitu yang berkembang di istana dan yang berkembang di luar tembok istana yang biasa disebut sebagai teater rakyat (Murgiyanto, dkk., 1983:19).
Kasim Achmad dalam bukunya Mengenal Teater Tradisional di Indonesia(2006) mengatakan, sejarah teater tradisional di Indonesia dimulai semenjak sebelum Zaman Hindu. Pada zaman itu, ada gejala bahwa unsur-unsur teater tradisional banyak dipakai untuk mendukung upacara ritual. Teater tradisional merupakan kepingan dari suatu upacara keagamaan ataupun upacara adat-istiadat dalam tata cara kehidupan masyarakat kita. Pada ketika itu, yang disebut “teater”, sebetulnya gres merupakan unsur-unsur teater, dan belum merupakan suatu bentuk kesatuan teater yang utuh. Setelah melepaskan diri dari kaitan upacara, unsur-unsur teater tersebut membentuk suatu seni pertunjukan yang lahir dari spontanitas rakyat dalam masyarakat lingkungannya (Achmad, 2006: 16) .
Sedangkan yang disebut teater kawasan gres ialah teater yang sekalipun mempunyai ciri-ciri kedaerahan tetapi relatif gres kelahirannya, ibarat drama gong dan sandiwara radio. Proses terjadinya atau munculnya teater kawasan di Indonesia sangat bervariasi dari satu kawasan dengan kawasan lainnya. Hal ini disebabkan oleh unsur-unsur pembentuk teater yang berbeda-beda, tergantung kondisi dan perilaku budaya masyarakat, serta sumber dan tata-cara di kawasan mana teater tersebut lahir.
Teater kawasan dipentaskan di tengah masyarakat |
Dilihat dari model pemanggungannya, teater kawasan Indonesia mempunyai gaya presentasional, artinya bahwa pertunjukan yang disajikan tersebut benar-benar diperuntukkan kepada penonton. Senada dengan gayanya, maka ciri-ciri pementasan teater daerah sanggup dilihat dari tiga hal yaitu;
- suasana tontonan,
- paduan aspek pendukung tontonan,
- cara pengungkapan pelaku-pelakunya.
Suasana pementasan teater kawasan sangat berbeda dengan pementasan teater modern atau teater Barat. Dalam teater modern, penonton menyaksikan dengan tertib dari awal hingga pertunjukan berakhir, dilarang ribut, dilarang menyela pertunjukan yang berlangsung dan banyak sekali tatanan yang lain. Berbeda dengan teater daerah, penontonnya sanggup menikmati pertunjukan dengan santai. Tidak ada tuntutan untuk hanya memusatkan perhatian pada pertunjukan saja, bahkan selama pertunjukan kadang penonton sanggup melaksanakan komunikasi dengan pemain atau memberi arahan pada pemain.
Dari segi aspek pendukung, teater kawasan memadukan segala unsur seni pertunjukan ibarat tari, musik, lagu, dan bahkan akrobat (atraksi). Hal ini dikarenakan teater kawasan tidak ditampilkan secara khusus hanya untuk kalangan atau orang tertentu saja (segmented), akan tetapi untuk dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, sehingga menyebabkan sifat pertunjukannya mempunyai bagian-bagian yang sanggup mengakomodasi impian semua penonton.
Kehendak untuk memenuhi impian penonton inilah yang juga mendasari lahirnya stilisasi dan atau pengindahan bentuk-bentuk ungkap (ekspresi) para pelakunya. Karena hubungan antara pemain dan penonton yang begitu dekat, maka tidak jarang pemain melepaskan sebentar abjad yang dimainkannya hanya untuk melayani komentar atau arahan penonton. Hal-hal demikian bukan menciptakan pertunjukan menjadi jelek, akan tetapi justru menjadi hidup, cair, komunikatif, dan unik.
Beberapa Teater Daerah di Indonesia
a) Longser
Longser ialah teater kawasan Jawa Barat yang di dalamnya berisikan tari, nyanyi, dan lawak. Seluruh pelakunya terdiri dari sejumlah penabuh, beberapa penari perempuan yang disebut ronggeng dan seorang komedian atau badut yang biasa memimpin rombongan longser berada dalam satu panggung. Pertunjukan longser dimulai dengan memperkenalkan para ronggeng yang menari bersama-sama. Setelah itu adegan lawak dimulai dengan munculnya badut yang ikut menari-nari secara jenaka. Selanjutnya terjadilah adegan badut menyenangi ronggeng yang cantik.
Setelah menari tunggal, badut juga memperlihatkan tarian jenaka ibarat Cikeruhan, Langlayangan, Maen Kartu, tari Tani dan tarian lainnya yang bertemakan kegiatan rakyat banyak. Adegan yang paling menarik adalah di mana penonton laki-laki diperkenankan memasuki arena untuk menari berpasangan dengan para ronggeng. Adegan ini merupakan kesempatan bagi rombongan longser untuk memungut uang dari para penonton. Uang ini sanggup diterima dari penari laki-laki yang memberikannya eksklusif kepada ronggeng atau melalui “ngara yuda”, yaitu sejumlah ronggeng yangberkeliling di antara penonton sambil mengedarkan nampan sebagai tempat uang sumbangan.
Pementasan Longser |
Peranan badut atau komedian yang biasa disebut bodor sangatlah penting. Mereka merupakan perajut dongeng dari seluruh pertunjukan longser yang biasanya bertema kehidupan sehari-hari seperti; pertengkaran, perkawinan, perceraian dan lain-lain.
b) Lenong
Teater kawasan yang ceritanya digali dari dongeng rakyat dan legenda kawasan Jakarta dengan tokoh-tokoh ahli silat ibarat si Pitung, si Jampang, Ayub Jago Betawi, Marunda dan lain sebagainya. Pertunjukan lenong diiringi oleh gamelan gambang kromong yang terdiri dari; gambang, kromong, suling, tekyang, kong ah yan, sukong, cecer, dan gong.
Dilihat dari sisi instrumen musik, lenong banyak mendapat imbas dari masyarakat Cina yang memang banyak tinggal di Jakarta waktu itu. Bahkan kelahiran lenong ini pun mendapat rangsangan dan imbas dari pertunjukan Wayang Cina. Namum demikian dalam perkembangannya lenong tidak menolak imbas lain, misalnya; untuk memperlihatkan suasana Eropa pada adegan rumah tuan Belanda, maka terompetpun dihadirkan.
Pertunjukan Lenong |
Pertunjukan lenong biasa dibuka dengan tari-tarian khas Betawi. Bahasa yang dipakai ialah bahasa Betawi atau bahasa Indonesia dengan dialek Betawi. Adegan-adegan dalam pertunjukan lenong berjalan mengalir dan cair. Semua pemainnya mempunyai potensi komedi, artinya, setiap tugas tokoh sanggup dilakonkan secara jenaka. Komunikasi dengan penonton menjadi ciri dan kekuatan tersendiri dalam pertunjukan lenong. Peran penonton kadang sanggup memperlihatkan suasana dan mengalirkan dinamika lakon yang hendak dibangun. Ciri khas gaya lenong adalah; pemain yang menanyakan pendapat penonton ihwal satu kasus atau kasus tertentu, sehingga pemain membutuhkan pembenaran-pembenaran. Dari interaksi ini biasanya justru melahirkan persoalan-persoalan kecil lain yang menciptakan konflik antar pemain menajam dan menjadikan lakon dinamis.
c) Wayang Orang
Wayang Orang merupakan pertunjukan tradisional yang berkembang di dalam benteng istana. Pertunjukan ini mengambil model wayang kulit yang dilakonkan orang. Perkembangan wayang orang sangat pesat pada rentang tahun 1900-1940. Ada dua gaya yaitu; Wayang Orang gaya Yogyakarta dan Surakarta. Keduanya mengalami perkembangan yang signifikan pada tahun-tahun tersebut. Pada masa itu kalangan istana dalam hal ini Raja mempunyai kepedulian yang besar terhadap kesenian, sehingga banyak pertunjukan wayang orang digelar. Tidak jarang dalam satu pementasannya sebuah lakon dimainkan oleh ratusan seniman dan penyelengaraannya pun berhari-hari. Menurut catatan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (Raja Yogyakarta) pernah menggelar pertunjukan wayang orang dengan pemain sejumlah 800 orang selama 4 hari berturut-turut.
Pertunjukan Wayang Orang |
Pada perkembangannya Wayang Orang lebih mendapat eksistensinya di Surakarta. Banyak muncul rombongan wayang, di antaranya; Sedyo Wandowo (1929), Sri Wahito (1935), dan Ngesthi Pandawa (1962). Perkembangan ini tidak lepas dari peranan Raja yang memang memperlihatkan ruang gerak dan ekspresi bagi seni Wayang Orang. Hal ini ditandai dengan didirikannya tempat pertunjukan di lokasi “Sri Wedari” yang merupakan Kebun Kerajaan oleh Sri Susuhunan Paku Buwono X pada tahun 1901. Banyak macam pertunjukan digelar di tempat tersebut, salah satunya yang mendapat perhatian ialah Wayang Orang.
Secara struktur pertunjukan Wayang Orang tidak jauh berbeda dengan Wayang Kulit. Penjalinan adegan satu dengan yang lain, tata urutan adegan, contoh dialog, dan seluruh elemen pertunjukan mempunyai kemiripan dengan wayang kulit. Sumber lakon yang banyak dipakai juga sama, yaitu; epos Mahabarata dan Ramayana.
d) Ketoprak
Pada mulanya ketoprak ialah seni rakyat yang berkembang di tengah-tengah rakyat, akan tetapi lantaran kepopulerannya ketoprak mendapat sentuhan dari kalangan istana dengan sering diboyongnya pertunjukan ketoprak di pendapa istana. Sampai ketika ini terdapat dua pendapat ihwal lahirnya ketoprak. Pendapat pertama menyatakan bahwa ketoprak diciptakan oleh RMT Wreksodiningrat dari Surakarta tahun 1908. Pendapat kedua menyatakan bahwa ketoprak lahir lebih kurang tahun 1887 di suatu desa kepingan selatan Yogyakarta.
Lepas dari hal tersebut, ketoprak mengalami perkembangan yang menggembirakan (terutama di Yogyakarta). Bahkan hingga ketika ini terdapat tiga periode besar perkembangan ketoprak yaitu; periode Ketoprak Lesung, Ketoprak Peralihan, dan Ketoprak Gamelan. Pada periode Ketoprak Lesung alat yang dipakai sebagai musik ialah lesung (alat penumbuk padi manual), pada periode peralihan musiknya mulai menambahkan alat tabuhan semisal rebana. Pada periode Ketoprak Gamelanlah pertunjukan ketoprak benar-benar mengalami perubahan. Pada periode ini, keseluruhan sajian lakon mendapat sentuhan.
Pada masa-masa awal perkembangan Ketoprak Gamelan model sajiannya masih banyak menggunakan unsur tarian dan nyanyian. Para pemain menari sebelum memasuki pentas dan terkadang menyanyi untuk memulai sebuah adegan. Sebagai pengalih dan sekaligus hiburan, maka diciptakan adegan khusus dagelan (lawak) yang biasanya diperankan oleh para abdi. Selanjutnya ketoprak mendapat banyak sekali macam imbas dan sentuhan, sehingga model pengadeganan menjadi lebih kreatif. Seni teater Barat mempunyai imbas yang berpengaruh pada perkembangan ketoprak. Tidak hanya pada pengadeganan, akan tetapi juga menyentuh wilayah-wilayah artistik lain, ibarat tata panggung.
Pertunjukan Ketoprak |
Sumber dongeng ketoprak sangatlah beragam; Panji, Sejarah Kerajaan, bahkan dongeng 1001 malam dan cerita-cerita dari negeri tiongkok juga diadopsi. Dengan banyaknya sumber dongeng ini, maka ketoprak seolah tidak pernah kehabisan materi sebagai media ungkap ekspresi. Di samping itu ketoprak juga sangat terbuka terhadap lahirnya jenis-jenis seni gres dan terkadang justrumemasukkannya menjadi satu kepingan integral misalnya; campur sari. Hal ini dilakukan oleh para seniman ketoprak untuk tetap menjaga kelestarian dan kemungkinan perkembangan hidupnya di masa datang.
e) Ludruk
Ludruk merupakan seni teater kawasan yang membawakan lakon (cerita) dengan gerak laris realistik dan lebih mementingkan obrolan (percakapan) serta banyolan. Pada mulanya ludruk dimainkan oleh pria, sehingga peran-peran perempuan juga dimainkan oleh pria. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi seni ludruk. Meski kini banyak tugas perempuan yang dimainkan oleh perempuan akan tetapi masih ada rombongan ludruk yang mempertahankan tradisi dengan pemain laki-laki.
Pertunjukan ludruk mempunyai struktur yang terdiri dari bagian-bagian sebagai berikut:
- Ngremo. Setiap pertunjukan ludruk selalu diawali dengan tariRemo. Tari ini sanggup dilakukan oleh perempuan atau pria. Karena selalu mengawali pertunjukan ludruk ada kalanya tari Remo disebut tari-Ludruk.
- Dagelan. Setelah ngremo diteruskan dengan kepingan kedua, yaitu dagelan atau lawak. Seorang komedian keluar dan melaksanakan kidungan (nyanyian), kemudian disusul dengan pelawak-pelawak lain. Pada kepingan ini yang ditonjolkan ialah unsur lawakannya, sekalipun sering dipakai tema dongeng sebagai kaitannya.
- Selingan. Para pemain laki-laki yang berdandan perempuan muncul sambil bergaya menari dan membawakan kidungan (dalam perkembangnnya kepingan ini tidak wajib dilakukan terutama bagi rombongan yang tidak mempunyai tugas tranvesti).
- Lakon. Pada kepingan ini barulah dongeng yang sesungguhnya dimulai. Cerita biasanya terbagi dalam beberapa babak dan adegan.
Pertunjukan Ludruk |
Sumber dongeng ludruk biasanya ialah kehidupan sehari-hari, legenda hero kawasan Jawa Timur atau dongeng revolusi. Dalam menyajikan cerita-cerita tersebut tak jarang diselingi dengan lawakan atau lagu-lagu (nyanyian atas seruan penonton) dalam beberapa adegannya. Sebagai instrumen musik pengiringnya ludruk menggunakan gamelan, meski tidak selengkap gamelan Jawa untuk mengiringi wayang kulit. Instrumen gamelan yang dipakai antara lain; saron, gender, bonang, gambang, rebab, suling, siter, beberapa gong, dan kendang.
f) Drama Gong
Drama Gong merupakan seni teater kawasan baru, yang diciptakan atau diprakarsai oleh Anak Agung Gde Raka Payadnya pada tahun 1966. Seni teater ini merupakan perpaduan antara sendratari, sandiwara (drama modern), Arja (Prembon) dan diiringi dengan gamelan Gong Kebyar. Drama Gong semenjak lahirnya tidak mempunyai fungsi lain, selain hadir sebagai seni hiburan.
Pertunjukan Drama Gong |
Pertama kali lakon yang dipakai untuk pementasan dalam drama Gong diambil dari dongeng Jayaprana, sebuah dongeng rakyat Bali yang temanya serupa dengan kisah romeo dan Juliet. Kemudian pada perkembangannya banyak cerita-cerita klasik yang diangkat ke dalam pertunjukan Drama Gong seperti; Ramayana, Mahabarata, Panji, Sejarah Bali, dan lain sebagainya. Dalam memberikan obrolan atau percakapan antar tokoh, Drama Gong menggunakan bahasa Bali, halus atau kasar. Hal ini berbeda dengan teater klasik yang sering menggunakan bahasa Jawa Kuno dalam pementasannya. Pemilihan penggunaan bahasa ini menjadikan Drama Gong tampil komunikatif.
g) Wayang
Wayang merupakan suatu bentuk teater tradisional yang sangat tua, dan sanggup ditelusuri asal muasalnya. Dalam menelusuri semenjak kapan ada pertunjukan wayang di Jawa, sanggup kita temukan dalam banyak sekali prasasti pada Zaman Raja Jawa, antara lain pada masa Raja Balitung. Pada masa pemerintahan Raja Balitung, telah ada petunjuk adanya pertunjukan Wayang ibarat yang terdapat pada Prasasti Balitung dengan tahun 907 Masehi. Prasasti tersebut mewartakan bahwa pada ketika itu telah dikenal adanya pertunjukan wayang.
Petunjuk semacam itu juga ditemukan dalam sebuah kakawin Arjunawiwahakarya Mpu Kanwa, pada Zaman Raja Airlangga dalam kurun ke-11. Oleh karenanya, pertunjukan wayang dianggap kesenian tradisi yang sangat tua.
Wayang Kulit |
Keberadaan wayang juga ditengarai pada ketika Prabu Jayabaya bertahta di Mamonang pada tahun 930. Sang Prabu inginmengabadikan wajah para leluhurnya dalam bentuk gambar yang kemudian dinamakan Wayang Purwa. Dalam citra itu diinginkan wajah para tuhan dan insan Zaman Purba. Pada mulanya hanya digambar di dalam rontal (daun tal). Orang sering menyebutnya daun lontar. Kemudian menjelma wayang kulit sebagaimana dikenal sekarang. Pertunjukan wayang sanggup saja telah ada jauh sebelum masa Raja Balitung, tetapi kapan awal keberadaanya belum ada cara memastikan (Holt, 2000: 167)
Wayang Golek |
h) Makyong
Makyong merupakan suatu jenis teater tradisional yang bersifat kerakyatan. Makyong yang paling renta terdapat di pulau Mantang, salah satu pulau di kawasan Riau. Pada mulanya kesenian Makyong berupa tarian joget atau ronggeng. Dalam perkembangannya kemudian dimainkan dengan cerita-cerita rakyat, legenda dan juga cerita-cerita kerajaan. Makyong juga digemari oleh para aristokrat dan sultan-sultan, hingga sering dipentaskan di istana-istana. Bentuk teater rakyat makyong tak ubahnya sebagai teater rakyat umumnya, dipertunjukkan dengan menggunakan media ungkap tarian, nyanyian, laku, dan obrolan dengan membawa cerita-cerita rakyat yang sangat terkenal di daerahnya. Cerita-cerita rakyat tersebut bersumber pada sastra lisan Melayu. Daerah Riau merupakan sumber dari bahasa Melayu Lama. Ada dugaan bahwa sumber dan akar Makyong berasal dari kawasan Riau, kemudian berkembang dengan baik di kawasan lain.
Pertunjukan Makyong |
Pementasan makyong selalu diawali dengan bunyi tabuhan yang dipukul bertalu-talu sebagai tanda bahwa ada pertunjukan makyong dan akan segera dimulai. Setelah penonton berkumpul, kemudian seorang pawang(sesepuh dalam kelompok makyong) tampil ke tempat pertunjukan melaksanakan persyaratan sebelum pertunjukan dimulai, yang dinamakan upacara buang bahasa atau upacara membuka tanah dan berdoa untuk memohon biar pertunjukan sanggup berjalan lancar.
i) Randai
Randai merupakan suatu bentuk teater tradisional yang bersifat kerakyatan yang terdapat di kawasan Minangkabau, Sumatera Barat. Sampai ketika ini, randai masih hidup, berkembang serta masih digemari oleh masyarakatnya, terutama di kawasan pedesaan atau di kampung-kampung. Teater tradisional di Minangkabau bertolak dari sastra lisan. begitu juga Randai bertolak dari sastra lisan yang disebut “kaba” (dapat diartikan sebagai cerita). Bakabaartinya bercerita.
Pertunjukan Randai |
Ada dua unsur pokok yang menjadi dasar Randai, yaitu.
- Pertama, unsur penceritaan. Cerita yang disajikan ialah kaba,dan disampaikan lewat gurindam, dendang dan lagu. Sering diiringi oleh alat musik tradisional Minang, yaitu saluang, rebab, bansi, rebana atau yang lainnya, dan juga lewat dialog.
- Kedua, unsur laris dan gerak, atau tari, yang dibawakan melalui galombang. Gerak tari yang dipakai bertolak dari gerak-gerak silat tradisi Minangkabau, dengan banyak sekali variasinya dalam kaitannya dengan gaya silat di masing-masing daerah.
j) Mamanda
Daerah Kalimantan Selatan mempunyai cukup banyak jenis kesenian antara lain yang paling terkenal ialah Mamanda, yang merupakan teater tradisional yang bersifat kerakyatan, atau sering disebut sebagai teater rakyat. Pada tahun 1897 Rombongan Abdoel Moeloek, dari Malaka yang lebih dikenal dengan ‘komidi’ Indra Bangwawan tiba ke Banjarmasin. Pengaruh Komidi Bangsawan ini sangat besar terhadap perkembangan teater tradisional di Kalimantan Selatan. Sebelum Mamanda lahir, telah ada suatu bentuk teater rakyat yang dinamakan Bada Moeloek, atau dari kata Ba Abdoel Moeloek. Nama teater tersebut berasal dari judul dongeng yaitu Abdoel Moeloek karangan Saleha.
Pertunjukan Mamanda |
k) Ubrug
Ubrug merupakan teater tradisional bersifat kerakyatan yang terdapat di kawasan Banten. Ubrug menggunakan bahasa kawasan Sunda, campur Jawa dan Melayu, serupa dengan topeng banjet yang terdapat di kawasan Karawang. Ubrug sanggup dipentaskan di mana saja, ibarat halnya teater rakyat lainnya. Dipentaskan bukan saja untuk hiburan, tetapi juga untuk memeriahkan suatu “hajatan”, atau meramaikan suatu “perayaan”. Ubrug sanggup dipentaskan dalam banyak sekali macam acara.
Pertunjukan Ubrug |
Cerita-cerita yang dipentaskan terutama dongeng rakyat, sesekali dongeng atau dongeng sejarah Beberapa dongeng yang sering dimainkan ialah Dalem Boncel, Jejaka Pecak, Si Pitung atau Si Jampang (pahlawan rakyat setempat, ibarat juga di Betawi). Gaya penyajian dongeng umumnya dilakukan ibarat pada teater rakyat, menggunakan gaya humor (banyolan), dan sangat karikatural sehingga selalu mencuri perhatian para penonton.
l) Gambuh
Gambuh merupakan teater tradisional yang paling renta di Bali dan diperkirakan berasal dari kurun ke-16. Bahasa yang dipergunakan ialah bahasa Bali Kuno dan terasa sangat sukar dipahami oleh orang Bali sekarang. Tariannya pun terasa sangat sulit, lantaran merupakan tarian klasik yang bermutu tinggi. Oleh lantaran itu,tidaklah mengherankan kalau gambuh merupakan sumber dari tari-tarian Bali yang ada. Sejarah gambuh telah dikenal semenjak kurun ke-14 di Zaman Majapahit dan kemudian masuk ke Bali pada selesai Zaman Majapahit. Di Bali, gambuh dipelihara di istana raja-raja.
Kebanyakan lakon yang dimainkan gambuh diambil dari struktur dongeng Panji yang diadopsi ke dalam budaya Bali. Cerita-cerita yang dimainkan di antaranya adalah Damarwulan, Ronggolawe, dan Tantri.Peran-peran utama menggunakan obrolan berbahasa Kawi, sedangkan para punakawan berbahasa Bali. Sering pula para punakawan menerjemahkan bahasa Kawi ke dalam bahasa Bali biasa.
Pertunjukan Gambuh |
Suling dalam gambuh yang suaranya sangat rendah, dimainkan dengan teknik pengaturan nafas yang sangat sukar, mendapat tempat yang khusus dalam gamelan yang mengiringi gambuh, yang sering disebut gamelan “pegambuhan”. Gambuh mengandung kesamaan dengan “opera” pada teater Barat, lantaran unsur musik dan menyanyi mendominasi pertunjukan. Oleh lantaran itu, para penari harus sanggup menyanyi. Pusat kendali gamelan dilakukan oleh juru tandak, yang duduk di tengah gamelan dan berfungsi sebagai penghubung antara penari dan musik. Selain dua atau empat suling, melodi pegambuhan dimainkan dengan rebab bersama seruling. Peran yang paling penting dalam gamelan ialah pemain kendang lanang atau disebut juga kendang pemimpin. Dia memberi instruksi pada penari dan penabuh.
m) Arja
Pertunjukan Arja |
Arja merupakan jenis teater tradisional yang bersifat kerakyatan, dan terdapat di Bali. Seperti bentuk teater tradisi Bali lainnya, arja merupakan bentuk teater yang penekanannya pada tari dan nyanyi. Semacam gending yang terdapat di kawasan Jawa Barat (Sunda), dengan porsi yang lebih banyak diberikan pada bentuk nyanyian (tembang). Apabila ditelusuri, arja bersumber dari gambuh yang disederhanakan unsur-unsur tarinya, lantaran ditekankan pada tembangnya. Tembang (nyanyian) yang dipakai menggunakan bahasa Jawa Tengahan dan bahasa Bali halus yang disusun dalam tembang macapat.
n) Dulmuluk
Dulmuluk ialah teater kawasan Sumatera selatan. Teater ini terbentuk melalui tahapan panjang yang dimulai dari proses pembacaan syair atau tutur, hingga menjadi sebuah pertunjukan teater utuh. Kata Dulmuluk sendiri berasal dari nama bintang film utama syair Abdulmuluk yaitu Raja Abdulmuluk Jauhari.
Pertunjukan Dulmuluk |
Pertunjukan Dulmuluk awalnya mempunyai beberapa ciri sebagai
berikut:
- Pemeran mengunakan pantun atau syair dalam berdialog.
- Semua pemainnya ialah laki-laki sehingga abjad perempuan juga diperankan oleh bintang film laki-laki.
- Pertunjukan diawali dan diakhiri dengan tarian dan nyanyian.
- Dalam pertunjukan ditampilkan kuda Dulmuluk yang unik.
- Situasi insiden dan emosi abjad sering diungkapkan dalam bentuk nyayian dan tarian.
- Pertunjukan Dulmuluk terdiri dari dua syair yaitu syair raja Abdulmuluk dan syair Zubaidah siti.
- Sebelum pertunjukan dimulai digelar upacara atau do’a keselamatan.
- Dialog bintang film masih tetap menggunakan syair namunterkadang diplesetkan biar tidak terlalu tegang hingga memunculkan suasana yang lebih cair
- Karakter perempuan sudah diperankan oleh bintang film wanita
- Diawal dan diakhir pementasan Dulmuluk tetap ada tarian dan nyanyian namun gerak-geraknya telah dikreasi sedemikian rupa biar lebih menarik
- Kuda Dulmuluk yang ditampilkan dibentuk lebih menarik dengan hiasan - hiasan manik - manik dan hiasan menarik lainnya.
0 Komentar untuk "Teater Tempat Indonesia Dan Beberapa Teater Di Tempat Indonesia"