Konsep Merdeka Belajar

Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani (muchlassamani.school.blog) menurut pembicaraan antara Bapak Muchlas Samani dengan Bapak Iwan Shahril, PhD, staf khusus Mendikbud pada 10-11 Januari 2023.


Menurut beliau, Merdeka Belajar yakni suatu filosofi yang ditandai dengan lima prinsip:  

Pertama, Berdaya Memberdayakan.  
Artinya pendidikan mesti menghasilkan siswa berdaya dan bisa mempekerjakan orang lain.  Juga mesti menghasilkan guru berdaya dan bisa mempekerjakan orang lain, utamanya siswa.  Juga mesti menghasilkan kepala sekolah berdaya dan bisa mempekerjakan orang lain, umpamanya guru dan tenaga kependidikan, siswa dan bahkan orangtua siswa.




Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar

Pemikiran ini sejalan dengan prinsip dasar pendidikan yang pada dasarnya ingin menolong anak menjadi merdeka, bisa berdikari dan tidak tergantung orang lain.  Tentu tetap mesti dikenang bahwa berdikari dan merdeka itu tetap dalam koridor bahwa insan itu bab dari komunitas dimana dia berada.  Juga selaku makhluk Sang Pencipta (Al Khaliq), sehingga mesti mengikuti koridor keyakinannya yang bersumber dari Sang Pencipta.  Keharmonisan penerapan antara insan merdeka, bab dari komunitas dan makhluk Sang Pencipa itulah yang ingin ditumbuhkan dalam pendidikan.


Kedua, fokus pada output dan bahkan outcome dan bukan sekedar proses.  
Pak Iwan menggunakan perumpamaan yang sering digunakan oleh Pak Jokowi, tidak sekedar sent tapi delivered.  Dalam konteks ini, jujur saya belum mengerti secara baik, alasannya yakni memang saya tidak sempat menanyakan lebih lanjut. Kalau menggunakan metaphor WA, sent itu ditandai oleh satu cawang (v) artinya terkirim, sedangkan delivered ditandai oleh dua cawang berwarna hitam (vv) artinya diterima.  Namun apabila pesan itu dibaca ditandai dua cawang berwarna biru (vv).  Saya menduga yang dimaksud sebenarnya dibaca dan bukan sekedar dikirim atau diterima.

Jika dikaitkan dengan process approach dalam teori pembelajaran yang secara konsep menyerupai dengan scientific approach yang digunakan dalam Kurikulum 2013, saya menduga yang dimaksud merdeka mencar ilmu bukan proses berpikir dalam process approach maupun K-13, tapi proses pembelajaran.  Artinya pembelajaran dihentikan berhenti pada apa yang dilakukan guru tapi mesti hingga apa yang diperoleh siswa.  Kaprikornus yang dimaksud bergeser dari proses ke hasil, sama dengan prinsip shifting paradigm from teaching to learning. Mengapa demikian?  Karena dalam teori pembelajaran “modern”, justru proses berpikir itulah yang lebih penting. Dan itulah yang ingin dikembangkan dalam pendidikan.  5 M yang dalam K-13, mengamati, mempertanyaan apa yang diamati, menalar mengapa itu terjadi, menjajal mereplikasi dan memodifikasi, dan mengkomikasikan apa yang dilakukan, sejalan dengan pemikiran tersebut.


Ketiga, begeser dari konten ke kompetensi dan karakter
Menurut Pak Iwan yang lebih penting bagi belum dewasa kita yakni menguasai kompetensi critical thinking, creativity, communication, collaboration, compassion, computational logic dan sebagainya, yang sungguh diharapkan di abad disrupsi.  Sedangkan konten itu nomor dua, alasannya yakni sanggup dipelajari sendiri. Untuk karakter, P Iwan tidak sempat menerangkan secara rincian atau saya yang tidak mampu menangkap klarifikasi beliau.


Jika dikaitkan dengan process approach, menurut saya antara konten dan kompetensi tidak sanggup dipisahkan secara total. Bukan mutually exclusive tapi memiliki interseksi. Mengapa?  Ada dua argumentasi. (1) di saat mencar ilmu critical thinking, creativity dan sebagainya, kita membutuhkan wahana dan wahana yang paling sempurna yakni kompetensi.  Misalnya anak SD mencar ilmu berpikir kritis sewaktu mencermati ayam dalam matapelajaran IPA.  Dengan begitu, anak sekaligus mencar ilmu menguasasi kompetensi sekaligus juga konten.  Kaprikornus yang diharapkan bagaimana mendesain pembelajaran topik (konten) tertentu, tapi yang ingin dituju tidak cuma penguasaan kontennya tapi juga kompetensi tertentu.  Kaprikornus menyerupai dengan hasrat agar belum dewasa mencar ilmu untuk meraih HOT (high order thinking) yang menurut Bloom, mulai dari mengerjakan analisis-sintesis, penilaian dan kreativitas.  Dugaan saya hasrat memindah dari konten ke kompetensi itu didorong dari fakta lapangan bahwa belum dewasa kita condong mencar ilmu di level LOT (low order thinking). Dan memang itu menjadi kegelisahan yang mesti secepatnya dicarikan solusinya.

Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar



(2) Ada konten yang sifatnya sekuen, sehingga tidak sanggup melompat.  Matematika ialah salah satu contoh. Anak tidak akan sanggup mencar ilmu perkalian sebelum menguasai konten penjumlahan.  Anak tidak akan sanggup mencar ilmu pembagian sebelum mengusasi pengurangan. Bahwa di saat mencar ilmu penjumlahan anak mesti berpikir kritis sungguh betul, tidak cuma hafal tapi paham mengapa begini dan begitu. 


Dalam menggandengkan konten dan kompetensi mungkin Kurikulum Hong Kong dalam dijadikan materi banding.  Matapelajaran (konten) disebut selaku learning areas, sedangkan konten dan huruf disebut selaku learning goals.  Misalnya, di saat anak Sekolah Menengah Pertama mencar ilmu IPA salah satu maksudnya yakni siswa sanggup menguasai dan mempergunakan wawasan ihwal magnet untuk memencahkan probelma kehidupan sehari-hari secara kreatif.


Ke-empat, sekolah selaku unit inovasi, bukan menyerupai birokrasi. Pak Iwan sempat memberi ilustrasi, jangan hingga statement Mendikbud ihwal RPP 1 lembar lantas mucul templet RPP 1 lembar dan wajib ditiru oleh semua guru.  Guru mesti menggunakan kemerdekaan dalam mengajar untuk mengerjakan penemuan pembelajaran, agar hasil mencar ilmu siswa maksimal.  Prinsip ini sejalan dengan temuan Abu Dohuo bahwa hasil mencar ilmu siswa itu fungsi dari penemuan gampang yang dilakukan guru dalam pembelajaran.


Ketika guru didorong mengerjakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ataupun lesson study maksudnya menyerupai dengan itu, yakni terus menerus mengerjakan continuous improvement dalam pembelajarannya.  PTK tidak perlu menjadi dokumen observasi yang justru menambah beban guru.  Yang lebih penting guru mengerjakan refleksi, “hari ini pembelajaran yang saya laksanakan menyerupai ini, apa yang kurang baik untuk diperbaiki besuk dan seterusnya”.  Bahwa di saat mengerjakan refleksi mesti didasari berpikir analisis-sintesis dan di saat mendesain perbaikan didalam kreativitas itu suatu kewajaran.  Bukankah guru juga mesti mengerjakan HOT sebagaimana yang diajarkan terhadap siswa.


Hasil-hasil penemuan pembelajaran menyerupai itu akan sungguh bagus dijadikan materi membuatkan pengalaman dalam lembaga KKG dan MGMP.  Yang disebut hasil, tidak mesti berupa keberhasilan tapi juga kegagalan dan persoalan di saat mengerjakan suatu inovasi.  Dengan demikian KKG dan MGMP menjadi wilayah saling mencar ilmu bagi para guru.  Kalau menggunakan konsep problem driven iterative adaptation (PDIA), maka KKG/MGMP akan menjadi wilayah membuatkan aneka macam pengalaman memecahkan urusan menurut keadaan real di lapangan.



Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar
Kelima, Dinas Pendidikan dan Kemdikbud selaku unit enabler.  
Bagaimana Dinas Pendidikan dan Kemdikbud tidak bertindak selaku pihak yang memerintah dan mengontrol, tapi justu menolong dan memfasilitasi sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Mungkin menyerupai dengan konsep total quality management (TQM) in education yang diajukan oleh Sallis.  Konsep ini juga yang digunakan dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).   Pada konsep ini, kiprah guru yakni menolong dan menfalitiasi siswa agar sanggup mencar ilmu dengan optimal.  Tugas kepala sekolah yakni menolong dan memfasilitasi guru agar mampu melakukan pekerjaan dengan baik.  Tugas Dinas Pendidikan dan Kemdikbud yakni menolong sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Kaprikornus bergeser dari to govern menjadi to empower and to enable.Jika pengertian saya benar, merdeka  mencar ilmu ialah wahana mengarusutamakan konsep yang selama ini dikehendaki tapi belum berlangsung dengan baik di lapangan. Bukankah berdaya dan mempekerjakan itu memang hakekat dasar pendidikan.  Bukankah kita sedang mengupayakan bergeser dari teaching ke learning yang memprioritaskan hasil mencar ilmu dan bukan cuma proses pembelajaran.  Bukankah kita sedang mendorong hasil mencar ilmu siswa mesti hingga HOT.  Bukankah lewat PTK kita ingin mendorong para guru terus menerus mengerjakan inovasi, sehingga sekolah ialah unit penemuan dan bukan lembaga birokrasi.  Bukankah dalam konsep MBS, pendidikan ialah suatu layanan. Tugas kepala sekolah yakni menolong guru sanggup melakukan pekerjaan dengan baik dan kiprah Dinas Pendidikan serta Kemdikbud yakni menolong sekolah agar bisa melaksanakan.

Sumber: https://muchlassamani.school.blog/2023/01/13/merdeka-belajar-2/  

Semoga bermanfaat

Bacaan Lainnya
Aplikasi Penilaian Kinerja Kepala Madrasah PKKM
 Aplikasi ini menurut Juknis Dirjen Pendais Nomor 1111 Tahun 2023 ihwal Penilaian Kinerja Kepala Madrasah. Aplikasi berformat *.exe dilaksanakan secara ofline, didesain dengan Ms Excel 2010. Aplikasi didesain untuk mempermudah Pengawas Madrasah mengerjakan Penilaian  Kinerja Kepala Madrasah sesuai juknis sehingga sanggup mengenali nilai capaian/predikat dengan cepat/tepat, menyediakan saran hal/aspek apa yang mesti diperbaiki oleh Kepala Madrasah.
Output Aplikasi:
1. Hasil PKKM Tahun 1, 2, 3 dan ke-4
2. Rekomendasi PKKM Tahun1, 2 dan ke-3
3. Rekap PKKM Tahun 1, 2 dan ke-3
4. Hasil penilaian per tahun, Tahun 1, 2 dan ke-3 Selanjutnya baca

Aplikasi Raport Kurikulum 2013 MTs Versi 08.2023
Aplikasi ini menurut Petunjuk Teknis Penilaian MTs September 2023 (KMA 5162 Tahun 2023). Aplikasi dilaksanakan secara ofline, telah menampung Kompetensi Dasar (KD) semua mapel kecuali mapel muatan lokal.  Aplikasi Raport tetap berformat *.exe untuk mempertahankan hak cipta (karya intelektual) pembuatnya. Didesain dengan Ms Excel 2010.
Input Data Aplikasi Raport:
1. Data  Siswa; (2). Data Sekolah;  (3). Input Nilai (Copy) Aspek Pengetahuan dan Aspek Ketrampilan; (4). Input Nilai Sikap.
Output Raport Raport:
1. Raport Semester Ganjil/Genap KKM Tunggal; (2). Raport Semester Ganjil/Genap KKM Multi;  (3). Daftar Kumpulan Nilai (DKN)/Legger; (4). Daya Serap; (5). Rekap Kenaikan Kelas; (6). Buku Induk Siswa
Kelebihan Aplikasi:
1. KD telah terintegrasi pada aplikasi Nilai dan Raport; (2). Dikerjakan Offline; (3). Output termasuk Laporan Semester Ganjil dan Genap termasuk Laporan Hasil Belajar, Daftar Kumpulan Nilai (DKN), Legger, Daya Serap, Buku Induk, Rekap Kenaikan Kelas; (4). Laporan Hasil Belajar KKM Tunggal dan KKM Multi


Pemikiran ini sejalan dengan prinsip dasar pendidikan yang pada dasarnya ingin menolong anak menjadi merdeka, bisa berdikari dan tidak tergantung orang lain.  Tentu tetap mesti dikenang bahwa berdikari dan merdeka itu tetap dalam koridor bahwa insan itu bab dari komunitas dimana dia berada.  Juga selaku makhluk Sang Pencipta (Al Khaliq), sehingga mesti mengikuti koridor keyakinannya yang bersumber dari Sang Pencipta.  Keharmonisan penerapan antara insan merdeka, bab dari komunitas dan makhluk Sang Pencipa itulah yang ingin ditumbuhkan dalam pendidikan.


Kedua, fokus pada output dan bahkan outcome dan bukan sekedar proses.  
Pak Iwan menggunakan perumpamaan yang sering digunakan oleh Pak Jokowi, tidak sekedar sent tapi delivered.  Dalam konteks ini, jujur saya belum mengerti secara baik, alasannya yakni memang saya tidak sempat menanyakan lebih lanjut. Kalau menggunakan metaphor WA, sent itu ditandai oleh satu cawang (v) artinya terkirim, sedangkan delivered ditandai oleh dua cawang berwarna hitam (vv) artinya diterima.  Namun apabila pesan itu dibaca ditandai dua cawang berwarna biru (vv).  Saya menduga yang dimaksud sebenarnya dibaca dan bukan sekedar dikirim atau diterima.

Jika dikaitkan dengan process approach dalam teori pembelajaran yang secara konsep menyerupai dengan scientific approach yang digunakan dalam Kurikulum 2013, saya menduga yang dimaksud merdeka mencar ilmu bukan proses berpikir dalam process approach maupun K-13, tapi proses pembelajaran.  Artinya pembelajaran dihentikan berhenti pada apa yang dilakukan guru tapi mesti hingga apa yang diperoleh siswa.  Kaprikornus yang dimaksud bergeser dari proses ke hasil, sama dengan prinsip shifting paradigm from teaching to learning. Mengapa demikian?  Karena dalam teori pembelajaran “modern”, justru proses berpikir itulah yang lebih penting. Dan itulah yang ingin dikembangkan dalam pendidikan.  5 M yang dalam K-13, mengamati, mempertanyaan apa yang diamati, menalar mengapa itu terjadi, menjajal mereplikasi dan memodifikasi, dan mengkomikasikan apa yang dilakukan, sejalan dengan pemikiran tersebut.


Ketiga, begeser dari konten ke kompetensi dan karakter
Menurut Pak Iwan yang lebih penting bagi belum dewasa kita yakni menguasai kompetensi critical thinking, creativity, communication, collaboration, compassion, computational logic dan sebagainya, yang sungguh diharapkan di abad disrupsi.  Sedangkan konten itu nomor dua, alasannya yakni sanggup dipelajari sendiri. Untuk karakter, P Iwan tidak sempat menerangkan secara rincian atau saya yang tidak mampu menangkap klarifikasi beliau.


Jika dikaitkan dengan process approach, menurut saya antara konten dan kompetensi tidak sanggup dipisahkan secara total. Bukan mutually exclusive tapi memiliki interseksi. Mengapa?  Ada dua argumentasi. (1) di saat mencar ilmu critical thinking, creativity dan sebagainya, kita membutuhkan wahana dan wahana yang paling sempurna yakni kompetensi.  Misalnya anak SD mencar ilmu berpikir kritis sewaktu mencermati ayam dalam matapelajaran IPA.  Dengan begitu, anak sekaligus mencar ilmu menguasasi kompetensi sekaligus juga konten.  Kaprikornus yang diharapkan bagaimana mendesain pembelajaran topik (konten) tertentu, tapi yang ingin dituju tidak cuma penguasaan kontennya tapi juga kompetensi tertentu.  Kaprikornus menyerupai dengan hasrat agar belum dewasa mencar ilmu untuk meraih HOT (high order thinking) yang menurut Bloom, mulai dari mengerjakan analisis-sintesis, penilaian dan kreativitas.  Dugaan saya hasrat memindah dari konten ke kompetensi itu didorong dari fakta lapangan bahwa belum dewasa kita condong mencar ilmu di level LOT (low order thinking). Dan memang itu menjadi kegelisahan yang mesti secepatnya dicarikan solusinya.

Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar



(2) Ada konten yang sifatnya sekuen, sehingga tidak sanggup melompat.  Matematika ialah salah satu contoh. Anak tidak akan sanggup mencar ilmu perkalian sebelum menguasai konten penjumlahan.  Anak tidak akan sanggup mencar ilmu pembagian sebelum mengusasi pengurangan. Bahwa di saat mencar ilmu penjumlahan anak mesti berpikir kritis sungguh betul, tidak cuma hafal tapi paham mengapa begini dan begitu. 


Dalam menggandengkan konten dan kompetensi mungkin Kurikulum Hong Kong dalam dijadikan materi banding.  Matapelajaran (konten) disebut selaku learning areas, sedangkan konten dan huruf disebut selaku learning goals.  Misalnya, di saat anak Sekolah Menengah Pertama mencar ilmu IPA salah satu maksudnya yakni siswa sanggup menguasai dan mempergunakan wawasan ihwal magnet untuk memencahkan probelma kehidupan sehari-hari secara kreatif.


Ke-empat, sekolah selaku unit inovasi, bukan menyerupai birokrasi. Pak Iwan sempat memberi ilustrasi, jangan hingga statement Mendikbud ihwal RPP 1 lembar lantas mucul templet RPP 1 lembar dan wajib ditiru oleh semua guru.  Guru mesti menggunakan kemerdekaan dalam mengajar untuk mengerjakan penemuan pembelajaran, agar hasil mencar ilmu siswa maksimal.  Prinsip ini sejalan dengan temuan Abu Dohuo bahwa hasil mencar ilmu siswa itu fungsi dari penemuan gampang yang dilakukan guru dalam pembelajaran.


Ketika guru didorong mengerjakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ataupun lesson study maksudnya menyerupai dengan itu, yakni terus menerus mengerjakan continuous improvement dalam pembelajarannya.  PTK tidak perlu menjadi dokumen observasi yang justru menambah beban guru.  Yang lebih penting guru mengerjakan refleksi, “hari ini pembelajaran yang saya laksanakan menyerupai ini, apa yang kurang baik untuk diperbaiki besuk dan seterusnya”.  Bahwa di saat mengerjakan refleksi mesti didasari berpikir analisis-sintesis dan di saat mendesain perbaikan didalam kreativitas itu suatu kewajaran.  Bukankah guru juga mesti mengerjakan HOT sebagaimana yang diajarkan terhadap siswa.


Hasil-hasil penemuan pembelajaran menyerupai itu akan sungguh bagus dijadikan materi membuatkan pengalaman dalam lembaga KKG dan MGMP.  Yang disebut hasil, tidak mesti berupa keberhasilan tapi juga kegagalan dan persoalan di saat mengerjakan suatu inovasi.  Dengan demikian KKG dan MGMP menjadi wilayah saling mencar ilmu bagi para guru.  Kalau menggunakan konsep problem driven iterative adaptation (PDIA), maka KKG/MGMP akan menjadi wilayah membuatkan aneka macam pengalaman memecahkan urusan menurut keadaan real di lapangan.



Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar
Kelima, Dinas Pendidikan dan Kemdikbud selaku unit enabler.  
Bagaimana Dinas Pendidikan dan Kemdikbud tidak bertindak selaku pihak yang memerintah dan mengontrol, tapi justu menolong dan memfasilitasi sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Mungkin menyerupai dengan konsep total quality management (TQM) in education yang diajukan oleh Sallis.  Konsep ini juga yang digunakan dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).   Pada konsep ini, kiprah guru yakni menolong dan menfalitiasi siswa agar sanggup mencar ilmu dengan optimal.  Tugas kepala sekolah yakni menolong dan memfasilitasi guru agar mampu melakukan pekerjaan dengan baik.  Tugas Dinas Pendidikan dan Kemdikbud yakni menolong sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Kaprikornus bergeser dari to govern menjadi to empower and to enable.Jika pengertian saya benar, merdeka  mencar ilmu ialah wahana mengarusutamakan konsep yang selama ini dikehendaki tapi belum berlangsung dengan baik di lapangan. Bukankah berdaya dan mempekerjakan itu memang hakekat dasar pendidikan.  Bukankah kita sedang mengupayakan bergeser dari teaching ke learning yang memprioritaskan hasil mencar ilmu dan bukan cuma proses pembelajaran.  Bukankah kita sedang mendorong hasil mencar ilmu siswa mesti hingga HOT.  Bukankah lewat PTK kita ingin mendorong para guru terus menerus mengerjakan inovasi, sehingga sekolah ialah unit penemuan dan bukan lembaga birokrasi.  Bukankah dalam konsep MBS, pendidikan ialah suatu layanan. Tugas kepala sekolah yakni menolong guru sanggup melakukan pekerjaan dengan baik dan kiprah Dinas Pendidikan serta Kemdikbud yakni menolong sekolah agar bisa melaksanakan.

Sumber: https://muchlassamani.school.blog/2023/01/13/merdeka-belajar-2/  

Semoga bermanfaat

Bacaan Lainnya
Aplikasi Penilaian Kinerja Kepala Madrasah PKKM
 Aplikasi ini menurut Juknis Dirjen Pendais Nomor 1111 Tahun 2023 ihwal Penilaian Kinerja Kepala Madrasah. Aplikasi berformat *.exe dilaksanakan secara ofline, didesain dengan Ms Excel 2010. Aplikasi didesain untuk mempermudah Pengawas Madrasah mengerjakan Penilaian  Kinerja Kepala Madrasah sesuai juknis sehingga sanggup mengenali nilai capaian/predikat dengan cepat/tepat, menyediakan saran hal/aspek apa yang mesti diperbaiki oleh Kepala Madrasah.
Output Aplikasi:
1. Hasil PKKM Tahun 1, 2, 3 dan ke-4
2. Rekomendasi PKKM Tahun1, 2 dan ke-3
3. Rekap PKKM Tahun 1, 2 dan ke-3
4. Hasil penilaian per tahun, Tahun 1, 2 dan ke-3 Selanjutnya Baca disini


Apk Penetapan Angka Kredit Tahunan PK Guru SMP/MTs (PK Guru 360 Derajat)
Aplikasi ini didesain untuk mempermudah Kepala SMP/MTs Negeri/Swasta dalam menghitung,  menyeleksi dan menetapkan Angka Kredit Tahunan berdasarkan  PK Guru setiap tahunnya.
Aplikasi ini didesain menurut Konsep Buku Panduan Kerja Kepala Sekolah yang diterbitkan oleh: Direktorat Pembinaan Tenaga Kependidikan Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada April 2023, Kepala Sekolah Wajib mengerjakan Penilaian Kinerja Guru (PKG) dan Menetapkan Angka Kredit Tahunan dari PK Guru.

Pemikiran ini sejalan dengan prinsip dasar pendidikan yang pada dasarnya ingin menolong anak menjadi merdeka, bisa berdikari dan tidak tergantung orang lain.  Tentu tetap mesti dikenang bahwa berdikari dan merdeka itu tetap dalam koridor bahwa insan itu bab dari komunitas dimana dia berada.  Juga selaku makhluk Sang Pencipta (Al Khaliq), sehingga mesti mengikuti koridor keyakinannya yang bersumber dari Sang Pencipta.  Keharmonisan penerapan antara insan merdeka, bab dari komunitas dan makhluk Sang Pencipa itulah yang ingin ditumbuhkan dalam pendidikan.


Kedua, fokus pada output dan bahkan outcome dan bukan sekedar proses.  
Pak Iwan menggunakan perumpamaan yang sering digunakan oleh Pak Jokowi, tidak sekedar sent tapi delivered.  Dalam konteks ini, jujur saya belum mengerti secara baik, alasannya yakni memang saya tidak sempat menanyakan lebih lanjut. Kalau menggunakan metaphor WA, sent itu ditandai oleh satu cawang (v) artinya terkirim, sedangkan delivered ditandai oleh dua cawang berwarna hitam (vv) artinya diterima.  Namun apabila pesan itu dibaca ditandai dua cawang berwarna biru (vv).  Saya menduga yang dimaksud sebenarnya dibaca dan bukan sekedar dikirim atau diterima.

Jika dikaitkan dengan process approach dalam teori pembelajaran yang secara konsep menyerupai dengan scientific approach yang digunakan dalam Kurikulum 2013, saya menduga yang dimaksud merdeka mencar ilmu bukan proses berpikir dalam process approach maupun K-13, tapi proses pembelajaran.  Artinya pembelajaran dihentikan berhenti pada apa yang dilakukan guru tapi mesti hingga apa yang diperoleh siswa.  Kaprikornus yang dimaksud bergeser dari proses ke hasil, sama dengan prinsip shifting paradigm from teaching to learning. Mengapa demikian?  Karena dalam teori pembelajaran “modern”, justru proses berpikir itulah yang lebih penting. Dan itulah yang ingin dikembangkan dalam pendidikan.  5 M yang dalam K-13, mengamati, mempertanyaan apa yang diamati, menalar mengapa itu terjadi, menjajal mereplikasi dan memodifikasi, dan mengkomikasikan apa yang dilakukan, sejalan dengan pemikiran tersebut.


Ketiga, begeser dari konten ke kompetensi dan karakter
Menurut Pak Iwan yang lebih penting bagi belum dewasa kita yakni menguasai kompetensi critical thinking, creativity, communication, collaboration, compassion, computational logic dan sebagainya, yang sungguh diharapkan di abad disrupsi.  Sedangkan konten itu nomor dua, alasannya yakni sanggup dipelajari sendiri. Untuk karakter, P Iwan tidak sempat menerangkan secara rincian atau saya yang tidak mampu menangkap klarifikasi beliau.


Jika dikaitkan dengan process approach, menurut saya antara konten dan kompetensi tidak sanggup dipisahkan secara total. Bukan mutually exclusive tapi memiliki interseksi. Mengapa?  Ada dua argumentasi. (1) di saat mencar ilmu critical thinking, creativity dan sebagainya, kita membutuhkan wahana dan wahana yang paling sempurna yakni kompetensi.  Misalnya anak SD mencar ilmu berpikir kritis sewaktu mencermati ayam dalam matapelajaran IPA.  Dengan begitu, anak sekaligus mencar ilmu menguasasi kompetensi sekaligus juga konten.  Kaprikornus yang diharapkan bagaimana mendesain pembelajaran topik (konten) tertentu, tapi yang ingin dituju tidak cuma penguasaan kontennya tapi juga kompetensi tertentu.  Kaprikornus menyerupai dengan hasrat agar belum dewasa mencar ilmu untuk meraih HOT (high order thinking) yang menurut Bloom, mulai dari mengerjakan analisis-sintesis, penilaian dan kreativitas.  Dugaan saya hasrat memindah dari konten ke kompetensi itu didorong dari fakta lapangan bahwa belum dewasa kita condong mencar ilmu di level LOT (low order thinking). Dan memang itu menjadi kegelisahan yang mesti secepatnya dicarikan solusinya.

Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar



(2) Ada konten yang sifatnya sekuen, sehingga tidak sanggup melompat.  Matematika ialah salah satu contoh. Anak tidak akan sanggup mencar ilmu perkalian sebelum menguasai konten penjumlahan.  Anak tidak akan sanggup mencar ilmu pembagian sebelum mengusasi pengurangan. Bahwa di saat mencar ilmu penjumlahan anak mesti berpikir kritis sungguh betul, tidak cuma hafal tapi paham mengapa begini dan begitu. 


Dalam menggandengkan konten dan kompetensi mungkin Kurikulum Hong Kong dalam dijadikan materi banding.  Matapelajaran (konten) disebut selaku learning areas, sedangkan konten dan huruf disebut selaku learning goals.  Misalnya, di saat anak Sekolah Menengah Pertama mencar ilmu IPA salah satu maksudnya yakni siswa sanggup menguasai dan mempergunakan wawasan ihwal magnet untuk memencahkan probelma kehidupan sehari-hari secara kreatif.


Ke-empat, sekolah selaku unit inovasi, bukan menyerupai birokrasi. Pak Iwan sempat memberi ilustrasi, jangan hingga statement Mendikbud ihwal RPP 1 lembar lantas mucul templet RPP 1 lembar dan wajib ditiru oleh semua guru.  Guru mesti menggunakan kemerdekaan dalam mengajar untuk mengerjakan penemuan pembelajaran, agar hasil mencar ilmu siswa maksimal.  Prinsip ini sejalan dengan temuan Abu Dohuo bahwa hasil mencar ilmu siswa itu fungsi dari penemuan gampang yang dilakukan guru dalam pembelajaran.


Ketika guru didorong mengerjakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ataupun lesson study maksudnya menyerupai dengan itu, yakni terus menerus mengerjakan continuous improvement dalam pembelajarannya.  PTK tidak perlu menjadi dokumen observasi yang justru menambah beban guru.  Yang lebih penting guru mengerjakan refleksi, “hari ini pembelajaran yang saya laksanakan menyerupai ini, apa yang kurang baik untuk diperbaiki besuk dan seterusnya”.  Bahwa di saat mengerjakan refleksi mesti didasari berpikir analisis-sintesis dan di saat mendesain perbaikan didalam kreativitas itu suatu kewajaran.  Bukankah guru juga mesti mengerjakan HOT sebagaimana yang diajarkan terhadap siswa.


Hasil-hasil penemuan pembelajaran menyerupai itu akan sungguh bagus dijadikan materi membuatkan pengalaman dalam lembaga KKG dan MGMP.  Yang disebut hasil, tidak mesti berupa keberhasilan tapi juga kegagalan dan persoalan di saat mengerjakan suatu inovasi.  Dengan demikian KKG dan MGMP menjadi wilayah saling mencar ilmu bagi para guru.  Kalau menggunakan konsep problem driven iterative adaptation (PDIA), maka KKG/MGMP akan menjadi wilayah membuatkan aneka macam pengalaman memecahkan urusan menurut keadaan real di lapangan.



Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar
Kelima, Dinas Pendidikan dan Kemdikbud selaku unit enabler.  
Bagaimana Dinas Pendidikan dan Kemdikbud tidak bertindak selaku pihak yang memerintah dan mengontrol, tapi justu menolong dan memfasilitasi sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Mungkin menyerupai dengan konsep total quality management (TQM) in education yang diajukan oleh Sallis.  Konsep ini juga yang digunakan dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).   Pada konsep ini, kiprah guru yakni menolong dan menfalitiasi siswa agar sanggup mencar ilmu dengan optimal.  Tugas kepala sekolah yakni menolong dan memfasilitasi guru agar mampu melakukan pekerjaan dengan baik.  Tugas Dinas Pendidikan dan Kemdikbud yakni menolong sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Kaprikornus bergeser dari to govern menjadi to empower and to enable.Jika pengertian saya benar, merdeka  mencar ilmu ialah wahana mengarusutamakan konsep yang selama ini dikehendaki tapi belum berlangsung dengan baik di lapangan. Bukankah berdaya dan mempekerjakan itu memang hakekat dasar pendidikan.  Bukankah kita sedang mengupayakan bergeser dari teaching ke learning yang memprioritaskan hasil mencar ilmu dan bukan cuma proses pembelajaran.  Bukankah kita sedang mendorong hasil mencar ilmu siswa mesti hingga HOT.  Bukankah lewat PTK kita ingin mendorong para guru terus menerus mengerjakan inovasi, sehingga sekolah ialah unit penemuan dan bukan lembaga birokrasi.  Bukankah dalam konsep MBS, pendidikan ialah suatu layanan. Tugas kepala sekolah yakni menolong guru sanggup melakukan pekerjaan dengan baik dan kiprah Dinas Pendidikan serta Kemdikbud yakni menolong sekolah agar bisa melaksanakan.

Sumber: https://muchlassamani.school.blog/2023/01/13/merdeka-belajar-2/  

Semoga bermanfaat

Bacaan Lainnya
Aplikasi Penilaian Kinerja Kepala Madrasah PKKM
 Aplikasi ini menurut Juknis Dirjen Pendais Nomor 1111 Tahun 2023 ihwal Penilaian Kinerja Kepala Madrasah. Aplikasi berformat *.exe dilaksanakan secara ofline, didesain dengan Ms Excel 2010. Aplikasi didesain untuk mempermudah Pengawas Madrasah mengerjakan Penilaian  Kinerja Kepala Madrasah sesuai juknis sehingga sanggup mengenali nilai capaian/predikat dengan cepat/tepat, menyediakan saran hal/aspek apa yang mesti diperbaiki oleh Kepala Madrasah.
Output Aplikasi:
1. Hasil PKKM Tahun 1, 2, 3 dan ke-4
2. Rekomendasi PKKM Tahun1, 2 dan ke-3
3. Rekap PKKM Tahun 1, 2 dan ke-3
4. Hasil penilaian per tahun, Tahun 1, 2 dan ke-3 Silahkan Baca Selanjutnya

Aplikasi Penetapan Angka Kredit Tahunan PK Guru SD

(PK Guru 360 Derajat)
Aplikasi ini didesain untuk mempermudah Kepala SD (SD) dalam menghitung,  menyeleksi dan menetapkan Angka Kredit Tahunan dari PK Guru setiap tahunnya.
Aplikasi ini didesain menurut Konsep Buku Panduan Kerja Kepala Sekolah yang diterbitkan oleh: Direktorat Pembinaan Tenaga Kependidikan Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada April 2023, Kepala Sekolah Wajib mengerjakan Penilaian Kinerja Guru (PKG) dan Menetapkan Angka Kredit Tahunan dari PK Guru.

Pemikiran ini sejalan dengan prinsip dasar pendidikan yang pada dasarnya ingin menolong anak menjadi merdeka, bisa berdikari dan tidak tergantung orang lain.  Tentu tetap mesti dikenang bahwa berdikari dan merdeka itu tetap dalam koridor bahwa insan itu bab dari komunitas dimana dia berada.  Juga selaku makhluk Sang Pencipta (Al Khaliq), sehingga mesti mengikuti koridor keyakinannya yang bersumber dari Sang Pencipta.  Keharmonisan penerapan antara insan merdeka, bab dari komunitas dan makhluk Sang Pencipa itulah yang ingin ditumbuhkan dalam pendidikan.


Kedua, fokus pada output dan bahkan outcome dan bukan sekedar proses.  
Pak Iwan menggunakan perumpamaan yang sering digunakan oleh Pak Jokowi, tidak sekedar sent tapi delivered.  Dalam konteks ini, jujur saya belum mengerti secara baik, alasannya yakni memang saya tidak sempat menanyakan lebih lanjut. Kalau menggunakan metaphor WA, sent itu ditandai oleh satu cawang (v) artinya terkirim, sedangkan delivered ditandai oleh dua cawang berwarna hitam (vv) artinya diterima.  Namun apabila pesan itu dibaca ditandai dua cawang berwarna biru (vv).  Saya menduga yang dimaksud sebenarnya dibaca dan bukan sekedar dikirim atau diterima.

Jika dikaitkan dengan process approach dalam teori pembelajaran yang secara konsep menyerupai dengan scientific approach yang digunakan dalam Kurikulum 2013, saya menduga yang dimaksud merdeka mencar ilmu bukan proses berpikir dalam process approach maupun K-13, tapi proses pembelajaran.  Artinya pembelajaran dihentikan berhenti pada apa yang dilakukan guru tapi mesti hingga apa yang diperoleh siswa.  Kaprikornus yang dimaksud bergeser dari proses ke hasil, sama dengan prinsip shifting paradigm from teaching to learning. Mengapa demikian?  Karena dalam teori pembelajaran “modern”, justru proses berpikir itulah yang lebih penting. Dan itulah yang ingin dikembangkan dalam pendidikan.  5 M yang dalam K-13, mengamati, mempertanyaan apa yang diamati, menalar mengapa itu terjadi, menjajal mereplikasi dan memodifikasi, dan mengkomikasikan apa yang dilakukan, sejalan dengan pemikiran tersebut.


Ketiga, begeser dari konten ke kompetensi dan karakter
Menurut Pak Iwan yang lebih penting bagi belum dewasa kita yakni menguasai kompetensi critical thinking, creativity, communication, collaboration, compassion, computational logic dan sebagainya, yang sungguh diharapkan di abad disrupsi.  Sedangkan konten itu nomor dua, alasannya yakni sanggup dipelajari sendiri. Untuk karakter, P Iwan tidak sempat menerangkan secara rincian atau saya yang tidak mampu menangkap klarifikasi beliau.


Jika dikaitkan dengan process approach, menurut saya antara konten dan kompetensi tidak sanggup dipisahkan secara total. Bukan mutually exclusive tapi memiliki interseksi. Mengapa?  Ada dua argumentasi. (1) di saat mencar ilmu critical thinking, creativity dan sebagainya, kita membutuhkan wahana dan wahana yang paling sempurna yakni kompetensi.  Misalnya anak SD mencar ilmu berpikir kritis sewaktu mencermati ayam dalam matapelajaran IPA.  Dengan begitu, anak sekaligus mencar ilmu menguasasi kompetensi sekaligus juga konten.  Kaprikornus yang diharapkan bagaimana mendesain pembelajaran topik (konten) tertentu, tapi yang ingin dituju tidak cuma penguasaan kontennya tapi juga kompetensi tertentu.  Kaprikornus menyerupai dengan hasrat agar belum dewasa mencar ilmu untuk meraih HOT (high order thinking) yang menurut Bloom, mulai dari mengerjakan analisis-sintesis, penilaian dan kreativitas.  Dugaan saya hasrat memindah dari konten ke kompetensi itu didorong dari fakta lapangan bahwa belum dewasa kita condong mencar ilmu di level LOT (low order thinking). Dan memang itu menjadi kegelisahan yang mesti secepatnya dicarikan solusinya.

Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar



(2) Ada konten yang sifatnya sekuen, sehingga tidak sanggup melompat.  Matematika ialah salah satu contoh. Anak tidak akan sanggup mencar ilmu perkalian sebelum menguasai konten penjumlahan.  Anak tidak akan sanggup mencar ilmu pembagian sebelum mengusasi pengurangan. Bahwa di saat mencar ilmu penjumlahan anak mesti berpikir kritis sungguh betul, tidak cuma hafal tapi paham mengapa begini dan begitu. 


Dalam menggandengkan konten dan kompetensi mungkin Kurikulum Hong Kong dalam dijadikan materi banding.  Matapelajaran (konten) disebut selaku learning areas, sedangkan konten dan huruf disebut selaku learning goals.  Misalnya, di saat anak Sekolah Menengah Pertama mencar ilmu IPA salah satu maksudnya yakni siswa sanggup menguasai dan mempergunakan wawasan ihwal magnet untuk memencahkan probelma kehidupan sehari-hari secara kreatif.


Ke-empat, sekolah selaku unit inovasi, bukan menyerupai birokrasi. Pak Iwan sempat memberi ilustrasi, jangan hingga statement Mendikbud ihwal RPP 1 lembar lantas mucul templet RPP 1 lembar dan wajib ditiru oleh semua guru.  Guru mesti menggunakan kemerdekaan dalam mengajar untuk mengerjakan penemuan pembelajaran, agar hasil mencar ilmu siswa maksimal.  Prinsip ini sejalan dengan temuan Abu Dohuo bahwa hasil mencar ilmu siswa itu fungsi dari penemuan gampang yang dilakukan guru dalam pembelajaran.


Ketika guru didorong mengerjakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ataupun lesson study maksudnya menyerupai dengan itu, yakni terus menerus mengerjakan continuous improvement dalam pembelajarannya.  PTK tidak perlu menjadi dokumen observasi yang justru menambah beban guru.  Yang lebih penting guru mengerjakan refleksi, “hari ini pembelajaran yang saya laksanakan menyerupai ini, apa yang kurang baik untuk diperbaiki besuk dan seterusnya”.  Bahwa di saat mengerjakan refleksi mesti didasari berpikir analisis-sintesis dan di saat mendesain perbaikan didalam kreativitas itu suatu kewajaran.  Bukankah guru juga mesti mengerjakan HOT sebagaimana yang diajarkan terhadap siswa.


Hasil-hasil penemuan pembelajaran menyerupai itu akan sungguh bagus dijadikan materi membuatkan pengalaman dalam lembaga KKG dan MGMP.  Yang disebut hasil, tidak mesti berupa keberhasilan tapi juga kegagalan dan persoalan di saat mengerjakan suatu inovasi.  Dengan demikian KKG dan MGMP menjadi wilayah saling mencar ilmu bagi para guru.  Kalau menggunakan konsep problem driven iterative adaptation (PDIA), maka KKG/MGMP akan menjadi wilayah membuatkan aneka macam pengalaman memecahkan urusan menurut keadaan real di lapangan.



Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar
Kelima, Dinas Pendidikan dan Kemdikbud selaku unit enabler.  
Bagaimana Dinas Pendidikan dan Kemdikbud tidak bertindak selaku pihak yang memerintah dan mengontrol, tapi justu menolong dan memfasilitasi sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Mungkin menyerupai dengan konsep total quality management (TQM) in education yang diajukan oleh Sallis.  Konsep ini juga yang digunakan dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).   Pada konsep ini, kiprah guru yakni menolong dan menfalitiasi siswa agar sanggup mencar ilmu dengan optimal.  Tugas kepala sekolah yakni menolong dan memfasilitasi guru agar mampu melakukan pekerjaan dengan baik.  Tugas Dinas Pendidikan dan Kemdikbud yakni menolong sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Kaprikornus bergeser dari to govern menjadi to empower and to enable.Jika pengertian saya benar, merdeka  mencar ilmu ialah wahana mengarusutamakan konsep yang selama ini dikehendaki tapi belum berlangsung dengan baik di lapangan. Bukankah berdaya dan mempekerjakan itu memang hakekat dasar pendidikan.  Bukankah kita sedang mengupayakan bergeser dari teaching ke learning yang memprioritaskan hasil mencar ilmu dan bukan cuma proses pembelajaran.  Bukankah kita sedang mendorong hasil mencar ilmu siswa mesti hingga HOT.  Bukankah lewat PTK kita ingin mendorong para guru terus menerus mengerjakan inovasi, sehingga sekolah ialah unit penemuan dan bukan lembaga birokrasi.  Bukankah dalam konsep MBS, pendidikan ialah suatu layanan. Tugas kepala sekolah yakni menolong guru sanggup melakukan pekerjaan dengan baik dan kiprah Dinas Pendidikan serta Kemdikbud yakni menolong sekolah agar bisa melaksanakan.

Sumber: https://muchlassamani.school.blog/2023/01/13/merdeka-belajar-2/  

Semoga bermanfaat

Bacaan Lainnya
Aplikasi Penilaian Kinerja Kepala Madrasah PKKM
 Aplikasi ini menurut Juknis Dirjen Pendais Nomor 1111 Tahun 2023 ihwal Penilaian Kinerja Kepala Madrasah. Aplikasi berformat *.exe dilaksanakan secara ofline, didesain dengan Ms Excel 2010. Aplikasi didesain untuk mempermudah Pengawas Madrasah mengerjakan Penilaian  Kinerja Kepala Madrasah sesuai juknis sehingga sanggup mengenali nilai capaian/predikat dengan cepat/tepat, menyediakan saran hal/aspek apa yang mesti diperbaiki oleh Kepala Madrasah.
Output Aplikasi:
1. Hasil PKKM Tahun 1, 2, 3 dan ke-4
2. Rekomendasi PKKM Tahun1, 2 dan ke-3
3. Rekap PKKM Tahun 1, 2 dan ke-3
4. Hasil penilaian per tahun, Tahun 1, 2 dan ke-3 Silahkan Baca Selanjutnya

Semoga Bermanfaat.


Download Aplikasi Nilai MTs Full Versi:
Aplikasi ini ialah pasangan Aplikasi Raport model 08.2023. Aplikasi Nilai dengan KD terintegrasi sanggup di download pada tautan berikut: 

1. Aplikasi Nilai Mapel Akidah Akhlak (

Pemikiran ini sejalan dengan prinsip dasar pendidikan yang pada dasarnya ingin menolong anak menjadi merdeka, bisa berdikari dan tidak tergantung orang lain.  Tentu tetap mesti dikenang bahwa berdikari dan merdeka itu tetap dalam koridor bahwa insan itu bab dari komunitas dimana dia berada.  Juga selaku makhluk Sang Pencipta (Al Khaliq), sehingga mesti mengikuti koridor keyakinannya yang bersumber dari Sang Pencipta.  Keharmonisan penerapan antara insan merdeka, bab dari komunitas dan makhluk Sang Pencipa itulah yang ingin ditumbuhkan dalam pendidikan.


Kedua, fokus pada output dan bahkan outcome dan bukan sekedar proses.  
Pak Iwan menggunakan perumpamaan yang sering digunakan oleh Pak Jokowi, tidak sekedar sent tapi delivered.  Dalam konteks ini, jujur saya belum mengerti secara baik, alasannya yakni memang saya tidak sempat menanyakan lebih lanjut. Kalau menggunakan metaphor WA, sent itu ditandai oleh satu cawang (v) artinya terkirim, sedangkan delivered ditandai oleh dua cawang berwarna hitam (vv) artinya diterima.  Namun apabila pesan itu dibaca ditandai dua cawang berwarna biru (vv).  Saya menduga yang dimaksud sebenarnya dibaca dan bukan sekedar dikirim atau diterima.

Jika dikaitkan dengan process approach dalam teori pembelajaran yang secara konsep menyerupai dengan scientific approach yang digunakan dalam Kurikulum 2013, saya menduga yang dimaksud merdeka mencar ilmu bukan proses berpikir dalam process approach maupun K-13, tapi proses pembelajaran.  Artinya pembelajaran dihentikan berhenti pada apa yang dilakukan guru tapi mesti hingga apa yang diperoleh siswa.  Kaprikornus yang dimaksud bergeser dari proses ke hasil, sama dengan prinsip shifting paradigm from teaching to learning. Mengapa demikian?  Karena dalam teori pembelajaran “modern”, justru proses berpikir itulah yang lebih penting. Dan itulah yang ingin dikembangkan dalam pendidikan.  5 M yang dalam K-13, mengamati, mempertanyaan apa yang diamati, menalar mengapa itu terjadi, menjajal mereplikasi dan memodifikasi, dan mengkomikasikan apa yang dilakukan, sejalan dengan pemikiran tersebut.


Ketiga, begeser dari konten ke kompetensi dan karakter
Menurut Pak Iwan yang lebih penting bagi belum dewasa kita yakni menguasai kompetensi critical thinking, creativity, communication, collaboration, compassion, computational logic dan sebagainya, yang sungguh diharapkan di abad disrupsi.  Sedangkan konten itu nomor dua, alasannya yakni sanggup dipelajari sendiri. Untuk karakter, P Iwan tidak sempat menerangkan secara rincian atau saya yang tidak mampu menangkap klarifikasi beliau.


Jika dikaitkan dengan process approach, menurut saya antara konten dan kompetensi tidak sanggup dipisahkan secara total. Bukan mutually exclusive tapi memiliki interseksi. Mengapa?  Ada dua argumentasi. (1) di saat mencar ilmu critical thinking, creativity dan sebagainya, kita membutuhkan wahana dan wahana yang paling sempurna yakni kompetensi.  Misalnya anak SD mencar ilmu berpikir kritis sewaktu mencermati ayam dalam matapelajaran IPA.  Dengan begitu, anak sekaligus mencar ilmu menguasasi kompetensi sekaligus juga konten.  Kaprikornus yang diharapkan bagaimana mendesain pembelajaran topik (konten) tertentu, tapi yang ingin dituju tidak cuma penguasaan kontennya tapi juga kompetensi tertentu.  Kaprikornus menyerupai dengan hasrat agar belum dewasa mencar ilmu untuk meraih HOT (high order thinking) yang menurut Bloom, mulai dari mengerjakan analisis-sintesis, penilaian dan kreativitas.  Dugaan saya hasrat memindah dari konten ke kompetensi itu didorong dari fakta lapangan bahwa belum dewasa kita condong mencar ilmu di level LOT (low order thinking). Dan memang itu menjadi kegelisahan yang mesti secepatnya dicarikan solusinya.

Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar



(2) Ada konten yang sifatnya sekuen, sehingga tidak sanggup melompat.  Matematika ialah salah satu contoh. Anak tidak akan sanggup mencar ilmu perkalian sebelum menguasai konten penjumlahan.  Anak tidak akan sanggup mencar ilmu pembagian sebelum mengusasi pengurangan. Bahwa di saat mencar ilmu penjumlahan anak mesti berpikir kritis sungguh betul, tidak cuma hafal tapi paham mengapa begini dan begitu. 


Dalam menggandengkan konten dan kompetensi mungkin Kurikulum Hong Kong dalam dijadikan materi banding.  Matapelajaran (konten) disebut selaku learning areas, sedangkan konten dan huruf disebut selaku learning goals.  Misalnya, di saat anak Sekolah Menengah Pertama mencar ilmu IPA salah satu maksudnya yakni siswa sanggup menguasai dan mempergunakan wawasan ihwal magnet untuk memencahkan probelma kehidupan sehari-hari secara kreatif.


Ke-empat, sekolah selaku unit inovasi, bukan menyerupai birokrasi. Pak Iwan sempat memberi ilustrasi, jangan hingga statement Mendikbud ihwal RPP 1 lembar lantas mucul templet RPP 1 lembar dan wajib ditiru oleh semua guru.  Guru mesti menggunakan kemerdekaan dalam mengajar untuk mengerjakan penemuan pembelajaran, agar hasil mencar ilmu siswa maksimal.  Prinsip ini sejalan dengan temuan Abu Dohuo bahwa hasil mencar ilmu siswa itu fungsi dari penemuan gampang yang dilakukan guru dalam pembelajaran.


Ketika guru didorong mengerjakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ataupun lesson study maksudnya menyerupai dengan itu, yakni terus menerus mengerjakan continuous improvement dalam pembelajarannya.  PTK tidak perlu menjadi dokumen observasi yang justru menambah beban guru.  Yang lebih penting guru mengerjakan refleksi, “hari ini pembelajaran yang saya laksanakan menyerupai ini, apa yang kurang baik untuk diperbaiki besuk dan seterusnya”.  Bahwa di saat mengerjakan refleksi mesti didasari berpikir analisis-sintesis dan di saat mendesain perbaikan didalam kreativitas itu suatu kewajaran.  Bukankah guru juga mesti mengerjakan HOT sebagaimana yang diajarkan terhadap siswa.


Hasil-hasil penemuan pembelajaran menyerupai itu akan sungguh bagus dijadikan materi membuatkan pengalaman dalam lembaga KKG dan MGMP.  Yang disebut hasil, tidak mesti berupa keberhasilan tapi juga kegagalan dan persoalan di saat mengerjakan suatu inovasi.  Dengan demikian KKG dan MGMP menjadi wilayah saling mencar ilmu bagi para guru.  Kalau menggunakan konsep problem driven iterative adaptation (PDIA), maka KKG/MGMP akan menjadi wilayah membuatkan aneka macam pengalaman memecahkan urusan menurut keadaan real di lapangan.



Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar
Kelima, Dinas Pendidikan dan Kemdikbud selaku unit enabler.  
Bagaimana Dinas Pendidikan dan Kemdikbud tidak bertindak selaku pihak yang memerintah dan mengontrol, tapi justu menolong dan memfasilitasi sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Mungkin menyerupai dengan konsep total quality management (TQM) in education yang diajukan oleh Sallis.  Konsep ini juga yang digunakan dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).   Pada konsep ini, kiprah guru yakni menolong dan menfalitiasi siswa agar sanggup mencar ilmu dengan optimal.  Tugas kepala sekolah yakni menolong dan memfasilitasi guru agar mampu melakukan pekerjaan dengan baik.  Tugas Dinas Pendidikan dan Kemdikbud yakni menolong sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Kaprikornus bergeser dari to govern menjadi to empower and to enable.Jika pengertian saya benar, merdeka  mencar ilmu ialah wahana mengarusutamakan konsep yang selama ini dikehendaki tapi belum berlangsung dengan baik di lapangan. Bukankah berdaya dan mempekerjakan itu memang hakekat dasar pendidikan.  Bukankah kita sedang mengupayakan bergeser dari teaching ke learning yang memprioritaskan hasil mencar ilmu dan bukan cuma proses pembelajaran.  Bukankah kita sedang mendorong hasil mencar ilmu siswa mesti hingga HOT.  Bukankah lewat PTK kita ingin mendorong para guru terus menerus mengerjakan inovasi, sehingga sekolah ialah unit penemuan dan bukan lembaga birokrasi.  Bukankah dalam konsep MBS, pendidikan ialah suatu layanan. Tugas kepala sekolah yakni menolong guru sanggup melakukan pekerjaan dengan baik dan kiprah Dinas Pendidikan serta Kemdikbud yakni menolong sekolah agar bisa melaksanakan.

Sumber: https://muchlassamani.school.blog/2023/01/13/merdeka-belajar-2/  

Semoga bermanfaat

Bacaan Lainnya
Aplikasi Penilaian Kinerja Kepala Madrasah PKKM
 Aplikasi ini menurut Juknis Dirjen Pendais Nomor 1111 Tahun 2023 ihwal Penilaian Kinerja Kepala Madrasah. Aplikasi berformat *.exe dilaksanakan secara ofline, didesain dengan Ms Excel 2010. Aplikasi didesain untuk mempermudah Pengawas Madrasah mengerjakan Penilaian  Kinerja Kepala Madrasah sesuai juknis sehingga sanggup mengenali nilai capaian/predikat dengan cepat/tepat, menyediakan saran hal/aspek apa yang mesti diperbaiki oleh Kepala Madrasah.
Output Aplikasi:
1. Hasil PKKM Tahun 1, 2, 3 dan ke-4
2. Rekomendasi PKKM Tahun1, 2 dan ke-3
3. Rekap PKKM Tahun 1, 2 dan ke-3
4. Hasil penilaian per tahun, Tahun 1, 2 dan ke-3 unduh)

2. Aplikasi Nilai Mapel Al-Qur'an Hadits (

Pemikiran ini sejalan dengan prinsip dasar pendidikan yang pada dasarnya ingin menolong anak menjadi merdeka, bisa berdikari dan tidak tergantung orang lain.  Tentu tetap mesti dikenang bahwa berdikari dan merdeka itu tetap dalam koridor bahwa insan itu bab dari komunitas dimana dia berada.  Juga selaku makhluk Sang Pencipta (Al Khaliq), sehingga mesti mengikuti koridor keyakinannya yang bersumber dari Sang Pencipta.  Keharmonisan penerapan antara insan merdeka, bab dari komunitas dan makhluk Sang Pencipa itulah yang ingin ditumbuhkan dalam pendidikan.


Kedua, fokus pada output dan bahkan outcome dan bukan sekedar proses.  
Pak Iwan menggunakan perumpamaan yang sering digunakan oleh Pak Jokowi, tidak sekedar sent tapi delivered.  Dalam konteks ini, jujur saya belum mengerti secara baik, alasannya yakni memang saya tidak sempat menanyakan lebih lanjut. Kalau menggunakan metaphor WA, sent itu ditandai oleh satu cawang (v) artinya terkirim, sedangkan delivered ditandai oleh dua cawang berwarna hitam (vv) artinya diterima.  Namun apabila pesan itu dibaca ditandai dua cawang berwarna biru (vv).  Saya menduga yang dimaksud sebenarnya dibaca dan bukan sekedar dikirim atau diterima.

Jika dikaitkan dengan process approach dalam teori pembelajaran yang secara konsep menyerupai dengan scientific approach yang digunakan dalam Kurikulum 2013, saya menduga yang dimaksud merdeka mencar ilmu bukan proses berpikir dalam process approach maupun K-13, tapi proses pembelajaran.  Artinya pembelajaran dihentikan berhenti pada apa yang dilakukan guru tapi mesti hingga apa yang diperoleh siswa.  Kaprikornus yang dimaksud bergeser dari proses ke hasil, sama dengan prinsip shifting paradigm from teaching to learning. Mengapa demikian?  Karena dalam teori pembelajaran “modern”, justru proses berpikir itulah yang lebih penting. Dan itulah yang ingin dikembangkan dalam pendidikan.  5 M yang dalam K-13, mengamati, mempertanyaan apa yang diamati, menalar mengapa itu terjadi, menjajal mereplikasi dan memodifikasi, dan mengkomikasikan apa yang dilakukan, sejalan dengan pemikiran tersebut.


Ketiga, begeser dari konten ke kompetensi dan karakter
Menurut Pak Iwan yang lebih penting bagi belum dewasa kita yakni menguasai kompetensi critical thinking, creativity, communication, collaboration, compassion, computational logic dan sebagainya, yang sungguh diharapkan di abad disrupsi.  Sedangkan konten itu nomor dua, alasannya yakni sanggup dipelajari sendiri. Untuk karakter, P Iwan tidak sempat menerangkan secara rincian atau saya yang tidak mampu menangkap klarifikasi beliau.


Jika dikaitkan dengan process approach, menurut saya antara konten dan kompetensi tidak sanggup dipisahkan secara total. Bukan mutually exclusive tapi memiliki interseksi. Mengapa?  Ada dua argumentasi. (1) di saat mencar ilmu critical thinking, creativity dan sebagainya, kita membutuhkan wahana dan wahana yang paling sempurna yakni kompetensi.  Misalnya anak SD mencar ilmu berpikir kritis sewaktu mencermati ayam dalam matapelajaran IPA.  Dengan begitu, anak sekaligus mencar ilmu menguasasi kompetensi sekaligus juga konten.  Kaprikornus yang diharapkan bagaimana mendesain pembelajaran topik (konten) tertentu, tapi yang ingin dituju tidak cuma penguasaan kontennya tapi juga kompetensi tertentu.  Kaprikornus menyerupai dengan hasrat agar belum dewasa mencar ilmu untuk meraih HOT (high order thinking) yang menurut Bloom, mulai dari mengerjakan analisis-sintesis, penilaian dan kreativitas.  Dugaan saya hasrat memindah dari konten ke kompetensi itu didorong dari fakta lapangan bahwa belum dewasa kita condong mencar ilmu di level LOT (low order thinking). Dan memang itu menjadi kegelisahan yang mesti secepatnya dicarikan solusinya.

Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar



(2) Ada konten yang sifatnya sekuen, sehingga tidak sanggup melompat.  Matematika ialah salah satu contoh. Anak tidak akan sanggup mencar ilmu perkalian sebelum menguasai konten penjumlahan.  Anak tidak akan sanggup mencar ilmu pembagian sebelum mengusasi pengurangan. Bahwa di saat mencar ilmu penjumlahan anak mesti berpikir kritis sungguh betul, tidak cuma hafal tapi paham mengapa begini dan begitu. 


Dalam menggandengkan konten dan kompetensi mungkin Kurikulum Hong Kong dalam dijadikan materi banding.  Matapelajaran (konten) disebut selaku learning areas, sedangkan konten dan huruf disebut selaku learning goals.  Misalnya, di saat anak Sekolah Menengah Pertama mencar ilmu IPA salah satu maksudnya yakni siswa sanggup menguasai dan mempergunakan wawasan ihwal magnet untuk memencahkan probelma kehidupan sehari-hari secara kreatif.


Ke-empat, sekolah selaku unit inovasi, bukan menyerupai birokrasi. Pak Iwan sempat memberi ilustrasi, jangan hingga statement Mendikbud ihwal RPP 1 lembar lantas mucul templet RPP 1 lembar dan wajib ditiru oleh semua guru.  Guru mesti menggunakan kemerdekaan dalam mengajar untuk mengerjakan penemuan pembelajaran, agar hasil mencar ilmu siswa maksimal.  Prinsip ini sejalan dengan temuan Abu Dohuo bahwa hasil mencar ilmu siswa itu fungsi dari penemuan gampang yang dilakukan guru dalam pembelajaran.


Ketika guru didorong mengerjakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ataupun lesson study maksudnya menyerupai dengan itu, yakni terus menerus mengerjakan continuous improvement dalam pembelajarannya.  PTK tidak perlu menjadi dokumen observasi yang justru menambah beban guru.  Yang lebih penting guru mengerjakan refleksi, “hari ini pembelajaran yang saya laksanakan menyerupai ini, apa yang kurang baik untuk diperbaiki besuk dan seterusnya”.  Bahwa di saat mengerjakan refleksi mesti didasari berpikir analisis-sintesis dan di saat mendesain perbaikan didalam kreativitas itu suatu kewajaran.  Bukankah guru juga mesti mengerjakan HOT sebagaimana yang diajarkan terhadap siswa.


Hasil-hasil penemuan pembelajaran menyerupai itu akan sungguh bagus dijadikan materi membuatkan pengalaman dalam lembaga KKG dan MGMP.  Yang disebut hasil, tidak mesti berupa keberhasilan tapi juga kegagalan dan persoalan di saat mengerjakan suatu inovasi.  Dengan demikian KKG dan MGMP menjadi wilayah saling mencar ilmu bagi para guru.  Kalau menggunakan konsep problem driven iterative adaptation (PDIA), maka KKG/MGMP akan menjadi wilayah membuatkan aneka macam pengalaman memecahkan urusan menurut keadaan real di lapangan.



Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar
Kelima, Dinas Pendidikan dan Kemdikbud selaku unit enabler.  
Bagaimana Dinas Pendidikan dan Kemdikbud tidak bertindak selaku pihak yang memerintah dan mengontrol, tapi justu menolong dan memfasilitasi sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Mungkin menyerupai dengan konsep total quality management (TQM) in education yang diajukan oleh Sallis.  Konsep ini juga yang digunakan dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).   Pada konsep ini, kiprah guru yakni menolong dan menfalitiasi siswa agar sanggup mencar ilmu dengan optimal.  Tugas kepala sekolah yakni menolong dan memfasilitasi guru agar mampu melakukan pekerjaan dengan baik.  Tugas Dinas Pendidikan dan Kemdikbud yakni menolong sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Kaprikornus bergeser dari to govern menjadi to empower and to enable.Jika pengertian saya benar, merdeka  mencar ilmu ialah wahana mengarusutamakan konsep yang selama ini dikehendaki tapi belum berlangsung dengan baik di lapangan. Bukankah berdaya dan mempekerjakan itu memang hakekat dasar pendidikan.  Bukankah kita sedang mengupayakan bergeser dari teaching ke learning yang memprioritaskan hasil mencar ilmu dan bukan cuma proses pembelajaran.  Bukankah kita sedang mendorong hasil mencar ilmu siswa mesti hingga HOT.  Bukankah lewat PTK kita ingin mendorong para guru terus menerus mengerjakan inovasi, sehingga sekolah ialah unit penemuan dan bukan lembaga birokrasi.  Bukankah dalam konsep MBS, pendidikan ialah suatu layanan. Tugas kepala sekolah yakni menolong guru sanggup melakukan pekerjaan dengan baik dan kiprah Dinas Pendidikan serta Kemdikbud yakni menolong sekolah agar bisa melaksanakan.

Sumber: https://muchlassamani.school.blog/2023/01/13/merdeka-belajar-2/  

Semoga bermanfaat

Bacaan Lainnya
Aplikasi Penilaian Kinerja Kepala Madrasah PKKM
 Aplikasi ini menurut Juknis Dirjen Pendais Nomor 1111 Tahun 2023 ihwal Penilaian Kinerja Kepala Madrasah. Aplikasi berformat *.exe dilaksanakan secara ofline, didesain dengan Ms Excel 2010. Aplikasi didesain untuk mempermudah Pengawas Madrasah mengerjakan Penilaian  Kinerja Kepala Madrasah sesuai juknis sehingga sanggup mengenali nilai capaian/predikat dengan cepat/tepat, menyediakan saran hal/aspek apa yang mesti diperbaiki oleh Kepala Madrasah.
Output Aplikasi:
1. Hasil PKKM Tahun 1, 2, 3 dan ke-4
2. Rekomendasi PKKM Tahun1, 2 dan ke-3
3. Rekap PKKM Tahun 1, 2 dan ke-3
4. Hasil penilaian per tahun, Tahun 1, 2 dan ke-3 unduh)

3. Aplikasi Nilai Mapel Fikih (

Pemikiran ini sejalan dengan prinsip dasar pendidikan yang pada dasarnya ingin menolong anak menjadi merdeka, bisa berdikari dan tidak tergantung orang lain.  Tentu tetap mesti dikenang bahwa berdikari dan merdeka itu tetap dalam koridor bahwa insan itu bab dari komunitas dimana dia berada.  Juga selaku makhluk Sang Pencipta (Al Khaliq), sehingga mesti mengikuti koridor keyakinannya yang bersumber dari Sang Pencipta.  Keharmonisan penerapan antara insan merdeka, bab dari komunitas dan makhluk Sang Pencipa itulah yang ingin ditumbuhkan dalam pendidikan.


Kedua, fokus pada output dan bahkan outcome dan bukan sekedar proses.  
Pak Iwan menggunakan perumpamaan yang sering digunakan oleh Pak Jokowi, tidak sekedar sent tapi delivered.  Dalam konteks ini, jujur saya belum mengerti secara baik, alasannya yakni memang saya tidak sempat menanyakan lebih lanjut. Kalau menggunakan metaphor WA, sent itu ditandai oleh satu cawang (v) artinya terkirim, sedangkan delivered ditandai oleh dua cawang berwarna hitam (vv) artinya diterima.  Namun apabila pesan itu dibaca ditandai dua cawang berwarna biru (vv).  Saya menduga yang dimaksud sebenarnya dibaca dan bukan sekedar dikirim atau diterima.

Jika dikaitkan dengan process approach dalam teori pembelajaran yang secara konsep menyerupai dengan scientific approach yang digunakan dalam Kurikulum 2013, saya menduga yang dimaksud merdeka mencar ilmu bukan proses berpikir dalam process approach maupun K-13, tapi proses pembelajaran.  Artinya pembelajaran dihentikan berhenti pada apa yang dilakukan guru tapi mesti hingga apa yang diperoleh siswa.  Kaprikornus yang dimaksud bergeser dari proses ke hasil, sama dengan prinsip shifting paradigm from teaching to learning. Mengapa demikian?  Karena dalam teori pembelajaran “modern”, justru proses berpikir itulah yang lebih penting. Dan itulah yang ingin dikembangkan dalam pendidikan.  5 M yang dalam K-13, mengamati, mempertanyaan apa yang diamati, menalar mengapa itu terjadi, menjajal mereplikasi dan memodifikasi, dan mengkomikasikan apa yang dilakukan, sejalan dengan pemikiran tersebut.


Ketiga, begeser dari konten ke kompetensi dan karakter
Menurut Pak Iwan yang lebih penting bagi belum dewasa kita yakni menguasai kompetensi critical thinking, creativity, communication, collaboration, compassion, computational logic dan sebagainya, yang sungguh diharapkan di abad disrupsi.  Sedangkan konten itu nomor dua, alasannya yakni sanggup dipelajari sendiri. Untuk karakter, P Iwan tidak sempat menerangkan secara rincian atau saya yang tidak mampu menangkap klarifikasi beliau.


Jika dikaitkan dengan process approach, menurut saya antara konten dan kompetensi tidak sanggup dipisahkan secara total. Bukan mutually exclusive tapi memiliki interseksi. Mengapa?  Ada dua argumentasi. (1) di saat mencar ilmu critical thinking, creativity dan sebagainya, kita membutuhkan wahana dan wahana yang paling sempurna yakni kompetensi.  Misalnya anak SD mencar ilmu berpikir kritis sewaktu mencermati ayam dalam matapelajaran IPA.  Dengan begitu, anak sekaligus mencar ilmu menguasasi kompetensi sekaligus juga konten.  Kaprikornus yang diharapkan bagaimana mendesain pembelajaran topik (konten) tertentu, tapi yang ingin dituju tidak cuma penguasaan kontennya tapi juga kompetensi tertentu.  Kaprikornus menyerupai dengan hasrat agar belum dewasa mencar ilmu untuk meraih HOT (high order thinking) yang menurut Bloom, mulai dari mengerjakan analisis-sintesis, penilaian dan kreativitas.  Dugaan saya hasrat memindah dari konten ke kompetensi itu didorong dari fakta lapangan bahwa belum dewasa kita condong mencar ilmu di level LOT (low order thinking). Dan memang itu menjadi kegelisahan yang mesti secepatnya dicarikan solusinya.

Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar



(2) Ada konten yang sifatnya sekuen, sehingga tidak sanggup melompat.  Matematika ialah salah satu contoh. Anak tidak akan sanggup mencar ilmu perkalian sebelum menguasai konten penjumlahan.  Anak tidak akan sanggup mencar ilmu pembagian sebelum mengusasi pengurangan. Bahwa di saat mencar ilmu penjumlahan anak mesti berpikir kritis sungguh betul, tidak cuma hafal tapi paham mengapa begini dan begitu. 


Dalam menggandengkan konten dan kompetensi mungkin Kurikulum Hong Kong dalam dijadikan materi banding.  Matapelajaran (konten) disebut selaku learning areas, sedangkan konten dan huruf disebut selaku learning goals.  Misalnya, di saat anak Sekolah Menengah Pertama mencar ilmu IPA salah satu maksudnya yakni siswa sanggup menguasai dan mempergunakan wawasan ihwal magnet untuk memencahkan probelma kehidupan sehari-hari secara kreatif.


Ke-empat, sekolah selaku unit inovasi, bukan menyerupai birokrasi. Pak Iwan sempat memberi ilustrasi, jangan hingga statement Mendikbud ihwal RPP 1 lembar lantas mucul templet RPP 1 lembar dan wajib ditiru oleh semua guru.  Guru mesti menggunakan kemerdekaan dalam mengajar untuk mengerjakan penemuan pembelajaran, agar hasil mencar ilmu siswa maksimal.  Prinsip ini sejalan dengan temuan Abu Dohuo bahwa hasil mencar ilmu siswa itu fungsi dari penemuan gampang yang dilakukan guru dalam pembelajaran.


Ketika guru didorong mengerjakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ataupun lesson study maksudnya menyerupai dengan itu, yakni terus menerus mengerjakan continuous improvement dalam pembelajarannya.  PTK tidak perlu menjadi dokumen observasi yang justru menambah beban guru.  Yang lebih penting guru mengerjakan refleksi, “hari ini pembelajaran yang saya laksanakan menyerupai ini, apa yang kurang baik untuk diperbaiki besuk dan seterusnya”.  Bahwa di saat mengerjakan refleksi mesti didasari berpikir analisis-sintesis dan di saat mendesain perbaikan didalam kreativitas itu suatu kewajaran.  Bukankah guru juga mesti mengerjakan HOT sebagaimana yang diajarkan terhadap siswa.


Hasil-hasil penemuan pembelajaran menyerupai itu akan sungguh bagus dijadikan materi membuatkan pengalaman dalam lembaga KKG dan MGMP.  Yang disebut hasil, tidak mesti berupa keberhasilan tapi juga kegagalan dan persoalan di saat mengerjakan suatu inovasi.  Dengan demikian KKG dan MGMP menjadi wilayah saling mencar ilmu bagi para guru.  Kalau menggunakan konsep problem driven iterative adaptation (PDIA), maka KKG/MGMP akan menjadi wilayah membuatkan aneka macam pengalaman memecahkan urusan menurut keadaan real di lapangan.



Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar
Kelima, Dinas Pendidikan dan Kemdikbud selaku unit enabler.  
Bagaimana Dinas Pendidikan dan Kemdikbud tidak bertindak selaku pihak yang memerintah dan mengontrol, tapi justu menolong dan memfasilitasi sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Mungkin menyerupai dengan konsep total quality management (TQM) in education yang diajukan oleh Sallis.  Konsep ini juga yang digunakan dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).   Pada konsep ini, kiprah guru yakni menolong dan menfalitiasi siswa agar sanggup mencar ilmu dengan optimal.  Tugas kepala sekolah yakni menolong dan memfasilitasi guru agar mampu melakukan pekerjaan dengan baik.  Tugas Dinas Pendidikan dan Kemdikbud yakni menolong sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Kaprikornus bergeser dari to govern menjadi to empower and to enable.Jika pengertian saya benar, merdeka  mencar ilmu ialah wahana mengarusutamakan konsep yang selama ini dikehendaki tapi belum berlangsung dengan baik di lapangan. Bukankah berdaya dan mempekerjakan itu memang hakekat dasar pendidikan.  Bukankah kita sedang mengupayakan bergeser dari teaching ke learning yang memprioritaskan hasil mencar ilmu dan bukan cuma proses pembelajaran.  Bukankah kita sedang mendorong hasil mencar ilmu siswa mesti hingga HOT.  Bukankah lewat PTK kita ingin mendorong para guru terus menerus mengerjakan inovasi, sehingga sekolah ialah unit penemuan dan bukan lembaga birokrasi.  Bukankah dalam konsep MBS, pendidikan ialah suatu layanan. Tugas kepala sekolah yakni menolong guru sanggup melakukan pekerjaan dengan baik dan kiprah Dinas Pendidikan serta Kemdikbud yakni menolong sekolah agar bisa melaksanakan.

Sumber: https://muchlassamani.school.blog/2023/01/13/merdeka-belajar-2/  

Semoga bermanfaat

Bacaan Lainnya
Aplikasi Penilaian Kinerja Kepala Madrasah PKKM
 Aplikasi ini menurut Juknis Dirjen Pendais Nomor 1111 Tahun 2023 ihwal Penilaian Kinerja Kepala Madrasah. Aplikasi berformat *.exe dilaksanakan secara ofline, didesain dengan Ms Excel 2010. Aplikasi didesain untuk mempermudah Pengawas Madrasah mengerjakan Penilaian  Kinerja Kepala Madrasah sesuai juknis sehingga sanggup mengenali nilai capaian/predikat dengan cepat/tepat, menyediakan saran hal/aspek apa yang mesti diperbaiki oleh Kepala Madrasah.
Output Aplikasi:
1. Hasil PKKM Tahun 1, 2, 3 dan ke-4
2. Rekomendasi PKKM Tahun1, 2 dan ke-3
3. Rekap PKKM Tahun 1, 2 dan ke-3
4. Hasil penilaian per tahun, Tahun 1, 2 dan ke-3 unduh)

4. Aplikasi Nilai Mapel Sejarah Kebudayaan Islam (

Pemikiran ini sejalan dengan prinsip dasar pendidikan yang pada dasarnya ingin menolong anak menjadi merdeka, bisa berdikari dan tidak tergantung orang lain.  Tentu tetap mesti dikenang bahwa berdikari dan merdeka itu tetap dalam koridor bahwa insan itu bab dari komunitas dimana dia berada.  Juga selaku makhluk Sang Pencipta (Al Khaliq), sehingga mesti mengikuti koridor keyakinannya yang bersumber dari Sang Pencipta.  Keharmonisan penerapan antara insan merdeka, bab dari komunitas dan makhluk Sang Pencipa itulah yang ingin ditumbuhkan dalam pendidikan.


Kedua, fokus pada output dan bahkan outcome dan bukan sekedar proses.  
Pak Iwan menggunakan perumpamaan yang sering digunakan oleh Pak Jokowi, tidak sekedar sent tapi delivered.  Dalam konteks ini, jujur saya belum mengerti secara baik, alasannya yakni memang saya tidak sempat menanyakan lebih lanjut. Kalau menggunakan metaphor WA, sent itu ditandai oleh satu cawang (v) artinya terkirim, sedangkan delivered ditandai oleh dua cawang berwarna hitam (vv) artinya diterima.  Namun apabila pesan itu dibaca ditandai dua cawang berwarna biru (vv).  Saya menduga yang dimaksud sebenarnya dibaca dan bukan sekedar dikirim atau diterima.

Jika dikaitkan dengan process approach dalam teori pembelajaran yang secara konsep menyerupai dengan scientific approach yang digunakan dalam Kurikulum 2013, saya menduga yang dimaksud merdeka mencar ilmu bukan proses berpikir dalam process approach maupun K-13, tapi proses pembelajaran.  Artinya pembelajaran dihentikan berhenti pada apa yang dilakukan guru tapi mesti hingga apa yang diperoleh siswa.  Kaprikornus yang dimaksud bergeser dari proses ke hasil, sama dengan prinsip shifting paradigm from teaching to learning. Mengapa demikian?  Karena dalam teori pembelajaran “modern”, justru proses berpikir itulah yang lebih penting. Dan itulah yang ingin dikembangkan dalam pendidikan.  5 M yang dalam K-13, mengamati, mempertanyaan apa yang diamati, menalar mengapa itu terjadi, menjajal mereplikasi dan memodifikasi, dan mengkomikasikan apa yang dilakukan, sejalan dengan pemikiran tersebut.


Ketiga, begeser dari konten ke kompetensi dan karakter
Menurut Pak Iwan yang lebih penting bagi belum dewasa kita yakni menguasai kompetensi critical thinking, creativity, communication, collaboration, compassion, computational logic dan sebagainya, yang sungguh diharapkan di abad disrupsi.  Sedangkan konten itu nomor dua, alasannya yakni sanggup dipelajari sendiri. Untuk karakter, P Iwan tidak sempat menerangkan secara rincian atau saya yang tidak mampu menangkap klarifikasi beliau.


Jika dikaitkan dengan process approach, menurut saya antara konten dan kompetensi tidak sanggup dipisahkan secara total. Bukan mutually exclusive tapi memiliki interseksi. Mengapa?  Ada dua argumentasi. (1) di saat mencar ilmu critical thinking, creativity dan sebagainya, kita membutuhkan wahana dan wahana yang paling sempurna yakni kompetensi.  Misalnya anak SD mencar ilmu berpikir kritis sewaktu mencermati ayam dalam matapelajaran IPA.  Dengan begitu, anak sekaligus mencar ilmu menguasasi kompetensi sekaligus juga konten.  Kaprikornus yang diharapkan bagaimana mendesain pembelajaran topik (konten) tertentu, tapi yang ingin dituju tidak cuma penguasaan kontennya tapi juga kompetensi tertentu.  Kaprikornus menyerupai dengan hasrat agar belum dewasa mencar ilmu untuk meraih HOT (high order thinking) yang menurut Bloom, mulai dari mengerjakan analisis-sintesis, penilaian dan kreativitas.  Dugaan saya hasrat memindah dari konten ke kompetensi itu didorong dari fakta lapangan bahwa belum dewasa kita condong mencar ilmu di level LOT (low order thinking). Dan memang itu menjadi kegelisahan yang mesti secepatnya dicarikan solusinya.

Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar



(2) Ada konten yang sifatnya sekuen, sehingga tidak sanggup melompat.  Matematika ialah salah satu contoh. Anak tidak akan sanggup mencar ilmu perkalian sebelum menguasai konten penjumlahan.  Anak tidak akan sanggup mencar ilmu pembagian sebelum mengusasi pengurangan. Bahwa di saat mencar ilmu penjumlahan anak mesti berpikir kritis sungguh betul, tidak cuma hafal tapi paham mengapa begini dan begitu. 


Dalam menggandengkan konten dan kompetensi mungkin Kurikulum Hong Kong dalam dijadikan materi banding.  Matapelajaran (konten) disebut selaku learning areas, sedangkan konten dan huruf disebut selaku learning goals.  Misalnya, di saat anak Sekolah Menengah Pertama mencar ilmu IPA salah satu maksudnya yakni siswa sanggup menguasai dan mempergunakan wawasan ihwal magnet untuk memencahkan probelma kehidupan sehari-hari secara kreatif.


Ke-empat, sekolah selaku unit inovasi, bukan menyerupai birokrasi. Pak Iwan sempat memberi ilustrasi, jangan hingga statement Mendikbud ihwal RPP 1 lembar lantas mucul templet RPP 1 lembar dan wajib ditiru oleh semua guru.  Guru mesti menggunakan kemerdekaan dalam mengajar untuk mengerjakan penemuan pembelajaran, agar hasil mencar ilmu siswa maksimal.  Prinsip ini sejalan dengan temuan Abu Dohuo bahwa hasil mencar ilmu siswa itu fungsi dari penemuan gampang yang dilakukan guru dalam pembelajaran.


Ketika guru didorong mengerjakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ataupun lesson study maksudnya menyerupai dengan itu, yakni terus menerus mengerjakan continuous improvement dalam pembelajarannya.  PTK tidak perlu menjadi dokumen observasi yang justru menambah beban guru.  Yang lebih penting guru mengerjakan refleksi, “hari ini pembelajaran yang saya laksanakan menyerupai ini, apa yang kurang baik untuk diperbaiki besuk dan seterusnya”.  Bahwa di saat mengerjakan refleksi mesti didasari berpikir analisis-sintesis dan di saat mendesain perbaikan didalam kreativitas itu suatu kewajaran.  Bukankah guru juga mesti mengerjakan HOT sebagaimana yang diajarkan terhadap siswa.


Hasil-hasil penemuan pembelajaran menyerupai itu akan sungguh bagus dijadikan materi membuatkan pengalaman dalam lembaga KKG dan MGMP.  Yang disebut hasil, tidak mesti berupa keberhasilan tapi juga kegagalan dan persoalan di saat mengerjakan suatu inovasi.  Dengan demikian KKG dan MGMP menjadi wilayah saling mencar ilmu bagi para guru.  Kalau menggunakan konsep problem driven iterative adaptation (PDIA), maka KKG/MGMP akan menjadi wilayah membuatkan aneka macam pengalaman memecahkan urusan menurut keadaan real di lapangan.



Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar
Kelima, Dinas Pendidikan dan Kemdikbud selaku unit enabler.  
Bagaimana Dinas Pendidikan dan Kemdikbud tidak bertindak selaku pihak yang memerintah dan mengontrol, tapi justu menolong dan memfasilitasi sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Mungkin menyerupai dengan konsep total quality management (TQM) in education yang diajukan oleh Sallis.  Konsep ini juga yang digunakan dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).   Pada konsep ini, kiprah guru yakni menolong dan menfalitiasi siswa agar sanggup mencar ilmu dengan optimal.  Tugas kepala sekolah yakni menolong dan memfasilitasi guru agar mampu melakukan pekerjaan dengan baik.  Tugas Dinas Pendidikan dan Kemdikbud yakni menolong sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Kaprikornus bergeser dari to govern menjadi to empower and to enable.Jika pengertian saya benar, merdeka  mencar ilmu ialah wahana mengarusutamakan konsep yang selama ini dikehendaki tapi belum berlangsung dengan baik di lapangan. Bukankah berdaya dan mempekerjakan itu memang hakekat dasar pendidikan.  Bukankah kita sedang mengupayakan bergeser dari teaching ke learning yang memprioritaskan hasil mencar ilmu dan bukan cuma proses pembelajaran.  Bukankah kita sedang mendorong hasil mencar ilmu siswa mesti hingga HOT.  Bukankah lewat PTK kita ingin mendorong para guru terus menerus mengerjakan inovasi, sehingga sekolah ialah unit penemuan dan bukan lembaga birokrasi.  Bukankah dalam konsep MBS, pendidikan ialah suatu layanan. Tugas kepala sekolah yakni menolong guru sanggup melakukan pekerjaan dengan baik dan kiprah Dinas Pendidikan serta Kemdikbud yakni menolong sekolah agar bisa melaksanakan.

Sumber: https://muchlassamani.school.blog/2023/01/13/merdeka-belajar-2/  

Semoga bermanfaat

Bacaan Lainnya
Aplikasi Penilaian Kinerja Kepala Madrasah PKKM
 Aplikasi ini menurut Juknis Dirjen Pendais Nomor 1111 Tahun 2023 ihwal Penilaian Kinerja Kepala Madrasah. Aplikasi berformat *.exe dilaksanakan secara ofline, didesain dengan Ms Excel 2010. Aplikasi didesain untuk mempermudah Pengawas Madrasah mengerjakan Penilaian  Kinerja Kepala Madrasah sesuai juknis sehingga sanggup mengenali nilai capaian/predikat dengan cepat/tepat, menyediakan saran hal/aspek apa yang mesti diperbaiki oleh Kepala Madrasah.
Output Aplikasi:
1. Hasil PKKM Tahun 1, 2, 3 dan ke-4
2. Rekomendasi PKKM Tahun1, 2 dan ke-3
3. Rekap PKKM Tahun 1, 2 dan ke-3
4. Hasil penilaian per tahun, Tahun 1, 2 dan ke-3 unduh)

5. Aplikasi Nilai Mapel Bahasa Arab (

Pemikiran ini sejalan dengan prinsip dasar pendidikan yang pada dasarnya ingin menolong anak menjadi merdeka, bisa berdikari dan tidak tergantung orang lain.  Tentu tetap mesti dikenang bahwa berdikari dan merdeka itu tetap dalam koridor bahwa insan itu bab dari komunitas dimana dia berada.  Juga selaku makhluk Sang Pencipta (Al Khaliq), sehingga mesti mengikuti koridor keyakinannya yang bersumber dari Sang Pencipta.  Keharmonisan penerapan antara insan merdeka, bab dari komunitas dan makhluk Sang Pencipa itulah yang ingin ditumbuhkan dalam pendidikan.


Kedua, fokus pada output dan bahkan outcome dan bukan sekedar proses.  
Pak Iwan menggunakan perumpamaan yang sering digunakan oleh Pak Jokowi, tidak sekedar sent tapi delivered.  Dalam konteks ini, jujur saya belum mengerti secara baik, alasannya yakni memang saya tidak sempat menanyakan lebih lanjut. Kalau menggunakan metaphor WA, sent itu ditandai oleh satu cawang (v) artinya terkirim, sedangkan delivered ditandai oleh dua cawang berwarna hitam (vv) artinya diterima.  Namun apabila pesan itu dibaca ditandai dua cawang berwarna biru (vv).  Saya menduga yang dimaksud sebenarnya dibaca dan bukan sekedar dikirim atau diterima.

Jika dikaitkan dengan process approach dalam teori pembelajaran yang secara konsep menyerupai dengan scientific approach yang digunakan dalam Kurikulum 2013, saya menduga yang dimaksud merdeka mencar ilmu bukan proses berpikir dalam process approach maupun K-13, tapi proses pembelajaran.  Artinya pembelajaran dihentikan berhenti pada apa yang dilakukan guru tapi mesti hingga apa yang diperoleh siswa.  Kaprikornus yang dimaksud bergeser dari proses ke hasil, sama dengan prinsip shifting paradigm from teaching to learning. Mengapa demikian?  Karena dalam teori pembelajaran “modern”, justru proses berpikir itulah yang lebih penting. Dan itulah yang ingin dikembangkan dalam pendidikan.  5 M yang dalam K-13, mengamati, mempertanyaan apa yang diamati, menalar mengapa itu terjadi, menjajal mereplikasi dan memodifikasi, dan mengkomikasikan apa yang dilakukan, sejalan dengan pemikiran tersebut.


Ketiga, begeser dari konten ke kompetensi dan karakter
Menurut Pak Iwan yang lebih penting bagi belum dewasa kita yakni menguasai kompetensi critical thinking, creativity, communication, collaboration, compassion, computational logic dan sebagainya, yang sungguh diharapkan di abad disrupsi.  Sedangkan konten itu nomor dua, alasannya yakni sanggup dipelajari sendiri. Untuk karakter, P Iwan tidak sempat menerangkan secara rincian atau saya yang tidak mampu menangkap klarifikasi beliau.


Jika dikaitkan dengan process approach, menurut saya antara konten dan kompetensi tidak sanggup dipisahkan secara total. Bukan mutually exclusive tapi memiliki interseksi. Mengapa?  Ada dua argumentasi. (1) di saat mencar ilmu critical thinking, creativity dan sebagainya, kita membutuhkan wahana dan wahana yang paling sempurna yakni kompetensi.  Misalnya anak SD mencar ilmu berpikir kritis sewaktu mencermati ayam dalam matapelajaran IPA.  Dengan begitu, anak sekaligus mencar ilmu menguasasi kompetensi sekaligus juga konten.  Kaprikornus yang diharapkan bagaimana mendesain pembelajaran topik (konten) tertentu, tapi yang ingin dituju tidak cuma penguasaan kontennya tapi juga kompetensi tertentu.  Kaprikornus menyerupai dengan hasrat agar belum dewasa mencar ilmu untuk meraih HOT (high order thinking) yang menurut Bloom, mulai dari mengerjakan analisis-sintesis, penilaian dan kreativitas.  Dugaan saya hasrat memindah dari konten ke kompetensi itu didorong dari fakta lapangan bahwa belum dewasa kita condong mencar ilmu di level LOT (low order thinking). Dan memang itu menjadi kegelisahan yang mesti secepatnya dicarikan solusinya.

Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar



(2) Ada konten yang sifatnya sekuen, sehingga tidak sanggup melompat.  Matematika ialah salah satu contoh. Anak tidak akan sanggup mencar ilmu perkalian sebelum menguasai konten penjumlahan.  Anak tidak akan sanggup mencar ilmu pembagian sebelum mengusasi pengurangan. Bahwa di saat mencar ilmu penjumlahan anak mesti berpikir kritis sungguh betul, tidak cuma hafal tapi paham mengapa begini dan begitu. 


Dalam menggandengkan konten dan kompetensi mungkin Kurikulum Hong Kong dalam dijadikan materi banding.  Matapelajaran (konten) disebut selaku learning areas, sedangkan konten dan huruf disebut selaku learning goals.  Misalnya, di saat anak Sekolah Menengah Pertama mencar ilmu IPA salah satu maksudnya yakni siswa sanggup menguasai dan mempergunakan wawasan ihwal magnet untuk memencahkan probelma kehidupan sehari-hari secara kreatif.


Ke-empat, sekolah selaku unit inovasi, bukan menyerupai birokrasi. Pak Iwan sempat memberi ilustrasi, jangan hingga statement Mendikbud ihwal RPP 1 lembar lantas mucul templet RPP 1 lembar dan wajib ditiru oleh semua guru.  Guru mesti menggunakan kemerdekaan dalam mengajar untuk mengerjakan penemuan pembelajaran, agar hasil mencar ilmu siswa maksimal.  Prinsip ini sejalan dengan temuan Abu Dohuo bahwa hasil mencar ilmu siswa itu fungsi dari penemuan gampang yang dilakukan guru dalam pembelajaran.


Ketika guru didorong mengerjakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ataupun lesson study maksudnya menyerupai dengan itu, yakni terus menerus mengerjakan continuous improvement dalam pembelajarannya.  PTK tidak perlu menjadi dokumen observasi yang justru menambah beban guru.  Yang lebih penting guru mengerjakan refleksi, “hari ini pembelajaran yang saya laksanakan menyerupai ini, apa yang kurang baik untuk diperbaiki besuk dan seterusnya”.  Bahwa di saat mengerjakan refleksi mesti didasari berpikir analisis-sintesis dan di saat mendesain perbaikan didalam kreativitas itu suatu kewajaran.  Bukankah guru juga mesti mengerjakan HOT sebagaimana yang diajarkan terhadap siswa.


Hasil-hasil penemuan pembelajaran menyerupai itu akan sungguh bagus dijadikan materi membuatkan pengalaman dalam lembaga KKG dan MGMP.  Yang disebut hasil, tidak mesti berupa keberhasilan tapi juga kegagalan dan persoalan di saat mengerjakan suatu inovasi.  Dengan demikian KKG dan MGMP menjadi wilayah saling mencar ilmu bagi para guru.  Kalau menggunakan konsep problem driven iterative adaptation (PDIA), maka KKG/MGMP akan menjadi wilayah membuatkan aneka macam pengalaman memecahkan urusan menurut keadaan real di lapangan.



Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar
Kelima, Dinas Pendidikan dan Kemdikbud selaku unit enabler.  
Bagaimana Dinas Pendidikan dan Kemdikbud tidak bertindak selaku pihak yang memerintah dan mengontrol, tapi justu menolong dan memfasilitasi sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Mungkin menyerupai dengan konsep total quality management (TQM) in education yang diajukan oleh Sallis.  Konsep ini juga yang digunakan dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).   Pada konsep ini, kiprah guru yakni menolong dan menfalitiasi siswa agar sanggup mencar ilmu dengan optimal.  Tugas kepala sekolah yakni menolong dan memfasilitasi guru agar mampu melakukan pekerjaan dengan baik.  Tugas Dinas Pendidikan dan Kemdikbud yakni menolong sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Kaprikornus bergeser dari to govern menjadi to empower and to enable.Jika pengertian saya benar, merdeka  mencar ilmu ialah wahana mengarusutamakan konsep yang selama ini dikehendaki tapi belum berlangsung dengan baik di lapangan. Bukankah berdaya dan mempekerjakan itu memang hakekat dasar pendidikan.  Bukankah kita sedang mengupayakan bergeser dari teaching ke learning yang memprioritaskan hasil mencar ilmu dan bukan cuma proses pembelajaran.  Bukankah kita sedang mendorong hasil mencar ilmu siswa mesti hingga HOT.  Bukankah lewat PTK kita ingin mendorong para guru terus menerus mengerjakan inovasi, sehingga sekolah ialah unit penemuan dan bukan lembaga birokrasi.  Bukankah dalam konsep MBS, pendidikan ialah suatu layanan. Tugas kepala sekolah yakni menolong guru sanggup melakukan pekerjaan dengan baik dan kiprah Dinas Pendidikan serta Kemdikbud yakni menolong sekolah agar bisa melaksanakan.

Sumber: https://muchlassamani.school.blog/2023/01/13/merdeka-belajar-2/  

Semoga bermanfaat

Bacaan Lainnya
Aplikasi Penilaian Kinerja Kepala Madrasah PKKM
 Aplikasi ini menurut Juknis Dirjen Pendais Nomor 1111 Tahun 2023 ihwal Penilaian Kinerja Kepala Madrasah. Aplikasi berformat *.exe dilaksanakan secara ofline, didesain dengan Ms Excel 2010. Aplikasi didesain untuk mempermudah Pengawas Madrasah mengerjakan Penilaian  Kinerja Kepala Madrasah sesuai juknis sehingga sanggup mengenali nilai capaian/predikat dengan cepat/tepat, menyediakan saran hal/aspek apa yang mesti diperbaiki oleh Kepala Madrasah.
Output Aplikasi:
1. Hasil PKKM Tahun 1, 2, 3 dan ke-4
2. Rekomendasi PKKM Tahun1, 2 dan ke-3
3. Rekap PKKM Tahun 1, 2 dan ke-3
4. Hasil penilaian per tahun, Tahun 1, 2 dan ke-3 unduh)


Aplikasi Raport MTs Tahun 2023 (

Pemikiran ini sejalan dengan prinsip dasar pendidikan yang pada dasarnya ingin menolong anak menjadi merdeka, bisa berdikari dan tidak tergantung orang lain.  Tentu tetap mesti dikenang bahwa berdikari dan merdeka itu tetap dalam koridor bahwa insan itu bab dari komunitas dimana dia berada.  Juga selaku makhluk Sang Pencipta (Al Khaliq), sehingga mesti mengikuti koridor keyakinannya yang bersumber dari Sang Pencipta.  Keharmonisan penerapan antara insan merdeka, bab dari komunitas dan makhluk Sang Pencipa itulah yang ingin ditumbuhkan dalam pendidikan.


Kedua, fokus pada output dan bahkan outcome dan bukan sekedar proses.  
Pak Iwan menggunakan perumpamaan yang sering digunakan oleh Pak Jokowi, tidak sekedar sent tapi delivered.  Dalam konteks ini, jujur saya belum mengerti secara baik, alasannya yakni memang saya tidak sempat menanyakan lebih lanjut. Kalau menggunakan metaphor WA, sent itu ditandai oleh satu cawang (v) artinya terkirim, sedangkan delivered ditandai oleh dua cawang berwarna hitam (vv) artinya diterima.  Namun apabila pesan itu dibaca ditandai dua cawang berwarna biru (vv).  Saya menduga yang dimaksud sebenarnya dibaca dan bukan sekedar dikirim atau diterima.

Jika dikaitkan dengan process approach dalam teori pembelajaran yang secara konsep menyerupai dengan scientific approach yang digunakan dalam Kurikulum 2013, saya menduga yang dimaksud merdeka mencar ilmu bukan proses berpikir dalam process approach maupun K-13, tapi proses pembelajaran.  Artinya pembelajaran dihentikan berhenti pada apa yang dilakukan guru tapi mesti hingga apa yang diperoleh siswa.  Kaprikornus yang dimaksud bergeser dari proses ke hasil, sama dengan prinsip shifting paradigm from teaching to learning. Mengapa demikian?  Karena dalam teori pembelajaran “modern”, justru proses berpikir itulah yang lebih penting. Dan itulah yang ingin dikembangkan dalam pendidikan.  5 M yang dalam K-13, mengamati, mempertanyaan apa yang diamati, menalar mengapa itu terjadi, menjajal mereplikasi dan memodifikasi, dan mengkomikasikan apa yang dilakukan, sejalan dengan pemikiran tersebut.


Ketiga, begeser dari konten ke kompetensi dan karakter
Menurut Pak Iwan yang lebih penting bagi belum dewasa kita yakni menguasai kompetensi critical thinking, creativity, communication, collaboration, compassion, computational logic dan sebagainya, yang sungguh diharapkan di abad disrupsi.  Sedangkan konten itu nomor dua, alasannya yakni sanggup dipelajari sendiri. Untuk karakter, P Iwan tidak sempat menerangkan secara rincian atau saya yang tidak mampu menangkap klarifikasi beliau.


Jika dikaitkan dengan process approach, menurut saya antara konten dan kompetensi tidak sanggup dipisahkan secara total. Bukan mutually exclusive tapi memiliki interseksi. Mengapa?  Ada dua argumentasi. (1) di saat mencar ilmu critical thinking, creativity dan sebagainya, kita membutuhkan wahana dan wahana yang paling sempurna yakni kompetensi.  Misalnya anak SD mencar ilmu berpikir kritis sewaktu mencermati ayam dalam matapelajaran IPA.  Dengan begitu, anak sekaligus mencar ilmu menguasasi kompetensi sekaligus juga konten.  Kaprikornus yang diharapkan bagaimana mendesain pembelajaran topik (konten) tertentu, tapi yang ingin dituju tidak cuma penguasaan kontennya tapi juga kompetensi tertentu.  Kaprikornus menyerupai dengan hasrat agar belum dewasa mencar ilmu untuk meraih HOT (high order thinking) yang menurut Bloom, mulai dari mengerjakan analisis-sintesis, penilaian dan kreativitas.  Dugaan saya hasrat memindah dari konten ke kompetensi itu didorong dari fakta lapangan bahwa belum dewasa kita condong mencar ilmu di level LOT (low order thinking). Dan memang itu menjadi kegelisahan yang mesti secepatnya dicarikan solusinya.

Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar



(2) Ada konten yang sifatnya sekuen, sehingga tidak sanggup melompat.  Matematika ialah salah satu contoh. Anak tidak akan sanggup mencar ilmu perkalian sebelum menguasai konten penjumlahan.  Anak tidak akan sanggup mencar ilmu pembagian sebelum mengusasi pengurangan. Bahwa di saat mencar ilmu penjumlahan anak mesti berpikir kritis sungguh betul, tidak cuma hafal tapi paham mengapa begini dan begitu. 


Dalam menggandengkan konten dan kompetensi mungkin Kurikulum Hong Kong dalam dijadikan materi banding.  Matapelajaran (konten) disebut selaku learning areas, sedangkan konten dan huruf disebut selaku learning goals.  Misalnya, di saat anak Sekolah Menengah Pertama mencar ilmu IPA salah satu maksudnya yakni siswa sanggup menguasai dan mempergunakan wawasan ihwal magnet untuk memencahkan probelma kehidupan sehari-hari secara kreatif.


Ke-empat, sekolah selaku unit inovasi, bukan menyerupai birokrasi. Pak Iwan sempat memberi ilustrasi, jangan hingga statement Mendikbud ihwal RPP 1 lembar lantas mucul templet RPP 1 lembar dan wajib ditiru oleh semua guru.  Guru mesti menggunakan kemerdekaan dalam mengajar untuk mengerjakan penemuan pembelajaran, agar hasil mencar ilmu siswa maksimal.  Prinsip ini sejalan dengan temuan Abu Dohuo bahwa hasil mencar ilmu siswa itu fungsi dari penemuan gampang yang dilakukan guru dalam pembelajaran.


Ketika guru didorong mengerjakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ataupun lesson study maksudnya menyerupai dengan itu, yakni terus menerus mengerjakan continuous improvement dalam pembelajarannya.  PTK tidak perlu menjadi dokumen observasi yang justru menambah beban guru.  Yang lebih penting guru mengerjakan refleksi, “hari ini pembelajaran yang saya laksanakan menyerupai ini, apa yang kurang baik untuk diperbaiki besuk dan seterusnya”.  Bahwa di saat mengerjakan refleksi mesti didasari berpikir analisis-sintesis dan di saat mendesain perbaikan didalam kreativitas itu suatu kewajaran.  Bukankah guru juga mesti mengerjakan HOT sebagaimana yang diajarkan terhadap siswa.


Hasil-hasil penemuan pembelajaran menyerupai itu akan sungguh bagus dijadikan materi membuatkan pengalaman dalam lembaga KKG dan MGMP.  Yang disebut hasil, tidak mesti berupa keberhasilan tapi juga kegagalan dan persoalan di saat mengerjakan suatu inovasi.  Dengan demikian KKG dan MGMP menjadi wilayah saling mencar ilmu bagi para guru.  Kalau menggunakan konsep problem driven iterative adaptation (PDIA), maka KKG/MGMP akan menjadi wilayah membuatkan aneka macam pengalaman memecahkan urusan menurut keadaan real di lapangan.



Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar
Kelima, Dinas Pendidikan dan Kemdikbud selaku unit enabler.  
Bagaimana Dinas Pendidikan dan Kemdikbud tidak bertindak selaku pihak yang memerintah dan mengontrol, tapi justu menolong dan memfasilitasi sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Mungkin menyerupai dengan konsep total quality management (TQM) in education yang diajukan oleh Sallis.  Konsep ini juga yang digunakan dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).   Pada konsep ini, kiprah guru yakni menolong dan menfalitiasi siswa agar sanggup mencar ilmu dengan optimal.  Tugas kepala sekolah yakni menolong dan memfasilitasi guru agar mampu melakukan pekerjaan dengan baik.  Tugas Dinas Pendidikan dan Kemdikbud yakni menolong sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Kaprikornus bergeser dari to govern menjadi to empower and to enable.Jika pengertian saya benar, merdeka  mencar ilmu ialah wahana mengarusutamakan konsep yang selama ini dikehendaki tapi belum berlangsung dengan baik di lapangan. Bukankah berdaya dan mempekerjakan itu memang hakekat dasar pendidikan.  Bukankah kita sedang mengupayakan bergeser dari teaching ke learning yang memprioritaskan hasil mencar ilmu dan bukan cuma proses pembelajaran.  Bukankah kita sedang mendorong hasil mencar ilmu siswa mesti hingga HOT.  Bukankah lewat PTK kita ingin mendorong para guru terus menerus mengerjakan inovasi, sehingga sekolah ialah unit penemuan dan bukan lembaga birokrasi.  Bukankah dalam konsep MBS, pendidikan ialah suatu layanan. Tugas kepala sekolah yakni menolong guru sanggup melakukan pekerjaan dengan baik dan kiprah Dinas Pendidikan serta Kemdikbud yakni menolong sekolah agar bisa melaksanakan.

Sumber: https://muchlassamani.school.blog/2023/01/13/merdeka-belajar-2/  

Semoga bermanfaat

Bacaan Lainnya
Aplikasi Penilaian Kinerja Kepala Madrasah PKKM
 Aplikasi ini menurut Juknis Dirjen Pendais Nomor 1111 Tahun 2023 ihwal Penilaian Kinerja Kepala Madrasah. Aplikasi berformat *.exe dilaksanakan secara ofline, didesain dengan Ms Excel 2010. Aplikasi didesain untuk mempermudah Pengawas Madrasah mengerjakan Penilaian  Kinerja Kepala Madrasah sesuai juknis sehingga sanggup mengenali nilai capaian/predikat dengan cepat/tepat, menyediakan saran hal/aspek apa yang mesti diperbaiki oleh Kepala Madrasah.
Output Aplikasi:
1. Hasil PKKM Tahun 1, 2, 3 dan ke-4
2. Rekomendasi PKKM Tahun1, 2 dan ke-3
3. Rekap PKKM Tahun 1, 2 dan ke-3
4. Hasil penilaian per tahun, Tahun 1, 2 dan ke-3 download disini)


Aplikasi Mapel Sekolah Menengah Pertama Tahun 2023 Full Versi    
1. Aplikasi Nilai Mapel Pend. Agama Islam (

Pemikiran ini sejalan dengan prinsip dasar pendidikan yang pada dasarnya ingin menolong anak menjadi merdeka, bisa berdikari dan tidak tergantung orang lain.  Tentu tetap mesti dikenang bahwa berdikari dan merdeka itu tetap dalam koridor bahwa insan itu bab dari komunitas dimana dia berada.  Juga selaku makhluk Sang Pencipta (Al Khaliq), sehingga mesti mengikuti koridor keyakinannya yang bersumber dari Sang Pencipta.  Keharmonisan penerapan antara insan merdeka, bab dari komunitas dan makhluk Sang Pencipa itulah yang ingin ditumbuhkan dalam pendidikan.


Kedua, fokus pada output dan bahkan outcome dan bukan sekedar proses.  
Pak Iwan menggunakan perumpamaan yang sering digunakan oleh Pak Jokowi, tidak sekedar sent tapi delivered.  Dalam konteks ini, jujur saya belum mengerti secara baik, alasannya yakni memang saya tidak sempat menanyakan lebih lanjut. Kalau menggunakan metaphor WA, sent itu ditandai oleh satu cawang (v) artinya terkirim, sedangkan delivered ditandai oleh dua cawang berwarna hitam (vv) artinya diterima.  Namun apabila pesan itu dibaca ditandai dua cawang berwarna biru (vv).  Saya menduga yang dimaksud sebenarnya dibaca dan bukan sekedar dikirim atau diterima.

Jika dikaitkan dengan process approach dalam teori pembelajaran yang secara konsep menyerupai dengan scientific approach yang digunakan dalam Kurikulum 2013, saya menduga yang dimaksud merdeka mencar ilmu bukan proses berpikir dalam process approach maupun K-13, tapi proses pembelajaran.  Artinya pembelajaran dihentikan berhenti pada apa yang dilakukan guru tapi mesti hingga apa yang diperoleh siswa.  Kaprikornus yang dimaksud bergeser dari proses ke hasil, sama dengan prinsip shifting paradigm from teaching to learning. Mengapa demikian?  Karena dalam teori pembelajaran “modern”, justru proses berpikir itulah yang lebih penting. Dan itulah yang ingin dikembangkan dalam pendidikan.  5 M yang dalam K-13, mengamati, mempertanyaan apa yang diamati, menalar mengapa itu terjadi, menjajal mereplikasi dan memodifikasi, dan mengkomikasikan apa yang dilakukan, sejalan dengan pemikiran tersebut.


Ketiga, begeser dari konten ke kompetensi dan karakter
Menurut Pak Iwan yang lebih penting bagi belum dewasa kita yakni menguasai kompetensi critical thinking, creativity, communication, collaboration, compassion, computational logic dan sebagainya, yang sungguh diharapkan di abad disrupsi.  Sedangkan konten itu nomor dua, alasannya yakni sanggup dipelajari sendiri. Untuk karakter, P Iwan tidak sempat menerangkan secara rincian atau saya yang tidak mampu menangkap klarifikasi beliau.


Jika dikaitkan dengan process approach, menurut saya antara konten dan kompetensi tidak sanggup dipisahkan secara total. Bukan mutually exclusive tapi memiliki interseksi. Mengapa?  Ada dua argumentasi. (1) di saat mencar ilmu critical thinking, creativity dan sebagainya, kita membutuhkan wahana dan wahana yang paling sempurna yakni kompetensi.  Misalnya anak SD mencar ilmu berpikir kritis sewaktu mencermati ayam dalam matapelajaran IPA.  Dengan begitu, anak sekaligus mencar ilmu menguasasi kompetensi sekaligus juga konten.  Kaprikornus yang diharapkan bagaimana mendesain pembelajaran topik (konten) tertentu, tapi yang ingin dituju tidak cuma penguasaan kontennya tapi juga kompetensi tertentu.  Kaprikornus menyerupai dengan hasrat agar belum dewasa mencar ilmu untuk meraih HOT (high order thinking) yang menurut Bloom, mulai dari mengerjakan analisis-sintesis, penilaian dan kreativitas.  Dugaan saya hasrat memindah dari konten ke kompetensi itu didorong dari fakta lapangan bahwa belum dewasa kita condong mencar ilmu di level LOT (low order thinking). Dan memang itu menjadi kegelisahan yang mesti secepatnya dicarikan solusinya.

Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar



(2) Ada konten yang sifatnya sekuen, sehingga tidak sanggup melompat.  Matematika ialah salah satu contoh. Anak tidak akan sanggup mencar ilmu perkalian sebelum menguasai konten penjumlahan.  Anak tidak akan sanggup mencar ilmu pembagian sebelum mengusasi pengurangan. Bahwa di saat mencar ilmu penjumlahan anak mesti berpikir kritis sungguh betul, tidak cuma hafal tapi paham mengapa begini dan begitu. 


Dalam menggandengkan konten dan kompetensi mungkin Kurikulum Hong Kong dalam dijadikan materi banding.  Matapelajaran (konten) disebut selaku learning areas, sedangkan konten dan huruf disebut selaku learning goals.  Misalnya, di saat anak Sekolah Menengah Pertama mencar ilmu IPA salah satu maksudnya yakni siswa sanggup menguasai dan mempergunakan wawasan ihwal magnet untuk memencahkan probelma kehidupan sehari-hari secara kreatif.


Ke-empat, sekolah selaku unit inovasi, bukan menyerupai birokrasi. Pak Iwan sempat memberi ilustrasi, jangan hingga statement Mendikbud ihwal RPP 1 lembar lantas mucul templet RPP 1 lembar dan wajib ditiru oleh semua guru.  Guru mesti menggunakan kemerdekaan dalam mengajar untuk mengerjakan penemuan pembelajaran, agar hasil mencar ilmu siswa maksimal.  Prinsip ini sejalan dengan temuan Abu Dohuo bahwa hasil mencar ilmu siswa itu fungsi dari penemuan gampang yang dilakukan guru dalam pembelajaran.


Ketika guru didorong mengerjakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ataupun lesson study maksudnya menyerupai dengan itu, yakni terus menerus mengerjakan continuous improvement dalam pembelajarannya.  PTK tidak perlu menjadi dokumen observasi yang justru menambah beban guru.  Yang lebih penting guru mengerjakan refleksi, “hari ini pembelajaran yang saya laksanakan menyerupai ini, apa yang kurang baik untuk diperbaiki besuk dan seterusnya”.  Bahwa di saat mengerjakan refleksi mesti didasari berpikir analisis-sintesis dan di saat mendesain perbaikan didalam kreativitas itu suatu kewajaran.  Bukankah guru juga mesti mengerjakan HOT sebagaimana yang diajarkan terhadap siswa.


Hasil-hasil penemuan pembelajaran menyerupai itu akan sungguh bagus dijadikan materi membuatkan pengalaman dalam lembaga KKG dan MGMP.  Yang disebut hasil, tidak mesti berupa keberhasilan tapi juga kegagalan dan persoalan di saat mengerjakan suatu inovasi.  Dengan demikian KKG dan MGMP menjadi wilayah saling mencar ilmu bagi para guru.  Kalau menggunakan konsep problem driven iterative adaptation (PDIA), maka KKG/MGMP akan menjadi wilayah membuatkan aneka macam pengalaman memecahkan urusan menurut keadaan real di lapangan.



Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar
Kelima, Dinas Pendidikan dan Kemdikbud selaku unit enabler.  
Bagaimana Dinas Pendidikan dan Kemdikbud tidak bertindak selaku pihak yang memerintah dan mengontrol, tapi justu menolong dan memfasilitasi sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Mungkin menyerupai dengan konsep total quality management (TQM) in education yang diajukan oleh Sallis.  Konsep ini juga yang digunakan dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).   Pada konsep ini, kiprah guru yakni menolong dan menfalitiasi siswa agar sanggup mencar ilmu dengan optimal.  Tugas kepala sekolah yakni menolong dan memfasilitasi guru agar mampu melakukan pekerjaan dengan baik.  Tugas Dinas Pendidikan dan Kemdikbud yakni menolong sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Kaprikornus bergeser dari to govern menjadi to empower and to enable.Jika pengertian saya benar, merdeka  mencar ilmu ialah wahana mengarusutamakan konsep yang selama ini dikehendaki tapi belum berlangsung dengan baik di lapangan. Bukankah berdaya dan mempekerjakan itu memang hakekat dasar pendidikan.  Bukankah kita sedang mengupayakan bergeser dari teaching ke learning yang memprioritaskan hasil mencar ilmu dan bukan cuma proses pembelajaran.  Bukankah kita sedang mendorong hasil mencar ilmu siswa mesti hingga HOT.  Bukankah lewat PTK kita ingin mendorong para guru terus menerus mengerjakan inovasi, sehingga sekolah ialah unit penemuan dan bukan lembaga birokrasi.  Bukankah dalam konsep MBS, pendidikan ialah suatu layanan. Tugas kepala sekolah yakni menolong guru sanggup melakukan pekerjaan dengan baik dan kiprah Dinas Pendidikan serta Kemdikbud yakni menolong sekolah agar bisa melaksanakan.

Sumber: https://muchlassamani.school.blog/2023/01/13/merdeka-belajar-2/  

Semoga bermanfaat

Bacaan Lainnya
Aplikasi Penilaian Kinerja Kepala Madrasah PKKM
 Aplikasi ini menurut Juknis Dirjen Pendais Nomor 1111 Tahun 2023 ihwal Penilaian Kinerja Kepala Madrasah. Aplikasi berformat *.exe dilaksanakan secara ofline, didesain dengan Ms Excel 2010. Aplikasi didesain untuk mempermudah Pengawas Madrasah mengerjakan Penilaian  Kinerja Kepala Madrasah sesuai juknis sehingga sanggup mengenali nilai capaian/predikat dengan cepat/tepat, menyediakan saran hal/aspek apa yang mesti diperbaiki oleh Kepala Madrasah.
Output Aplikasi:
1. Hasil PKKM Tahun 1, 2, 3 dan ke-4
2. Rekomendasi PKKM Tahun1, 2 dan ke-3
3. Rekap PKKM Tahun 1, 2 dan ke-3
4. Hasil penilaian per tahun, Tahun 1, 2 dan ke-3 unduh

2. Aplikasi Nilai Mapel Pend. Agama Kristen Protestan (

Pemikiran ini sejalan dengan prinsip dasar pendidikan yang pada dasarnya ingin menolong anak menjadi merdeka, bisa berdikari dan tidak tergantung orang lain.  Tentu tetap mesti dikenang bahwa berdikari dan merdeka itu tetap dalam koridor bahwa insan itu bab dari komunitas dimana dia berada.  Juga selaku makhluk Sang Pencipta (Al Khaliq), sehingga mesti mengikuti koridor keyakinannya yang bersumber dari Sang Pencipta.  Keharmonisan penerapan antara insan merdeka, bab dari komunitas dan makhluk Sang Pencipa itulah yang ingin ditumbuhkan dalam pendidikan.


Kedua, fokus pada output dan bahkan outcome dan bukan sekedar proses.  
Pak Iwan menggunakan perumpamaan yang sering digunakan oleh Pak Jokowi, tidak sekedar sent tapi delivered.  Dalam konteks ini, jujur saya belum mengerti secara baik, alasannya yakni memang saya tidak sempat menanyakan lebih lanjut. Kalau menggunakan metaphor WA, sent itu ditandai oleh satu cawang (v) artinya terkirim, sedangkan delivered ditandai oleh dua cawang berwarna hitam (vv) artinya diterima.  Namun apabila pesan itu dibaca ditandai dua cawang berwarna biru (vv).  Saya menduga yang dimaksud sebenarnya dibaca dan bukan sekedar dikirim atau diterima.

Jika dikaitkan dengan process approach dalam teori pembelajaran yang secara konsep menyerupai dengan scientific approach yang digunakan dalam Kurikulum 2013, saya menduga yang dimaksud merdeka mencar ilmu bukan proses berpikir dalam process approach maupun K-13, tapi proses pembelajaran.  Artinya pembelajaran dihentikan berhenti pada apa yang dilakukan guru tapi mesti hingga apa yang diperoleh siswa.  Kaprikornus yang dimaksud bergeser dari proses ke hasil, sama dengan prinsip shifting paradigm from teaching to learning. Mengapa demikian?  Karena dalam teori pembelajaran “modern”, justru proses berpikir itulah yang lebih penting. Dan itulah yang ingin dikembangkan dalam pendidikan.  5 M yang dalam K-13, mengamati, mempertanyaan apa yang diamati, menalar mengapa itu terjadi, menjajal mereplikasi dan memodifikasi, dan mengkomikasikan apa yang dilakukan, sejalan dengan pemikiran tersebut.


Ketiga, begeser dari konten ke kompetensi dan karakter
Menurut Pak Iwan yang lebih penting bagi belum dewasa kita yakni menguasai kompetensi critical thinking, creativity, communication, collaboration, compassion, computational logic dan sebagainya, yang sungguh diharapkan di abad disrupsi.  Sedangkan konten itu nomor dua, alasannya yakni sanggup dipelajari sendiri. Untuk karakter, P Iwan tidak sempat menerangkan secara rincian atau saya yang tidak mampu menangkap klarifikasi beliau.


Jika dikaitkan dengan process approach, menurut saya antara konten dan kompetensi tidak sanggup dipisahkan secara total. Bukan mutually exclusive tapi memiliki interseksi. Mengapa?  Ada dua argumentasi. (1) di saat mencar ilmu critical thinking, creativity dan sebagainya, kita membutuhkan wahana dan wahana yang paling sempurna yakni kompetensi.  Misalnya anak SD mencar ilmu berpikir kritis sewaktu mencermati ayam dalam matapelajaran IPA.  Dengan begitu, anak sekaligus mencar ilmu menguasasi kompetensi sekaligus juga konten.  Kaprikornus yang diharapkan bagaimana mendesain pembelajaran topik (konten) tertentu, tapi yang ingin dituju tidak cuma penguasaan kontennya tapi juga kompetensi tertentu.  Kaprikornus menyerupai dengan hasrat agar belum dewasa mencar ilmu untuk meraih HOT (high order thinking) yang menurut Bloom, mulai dari mengerjakan analisis-sintesis, penilaian dan kreativitas.  Dugaan saya hasrat memindah dari konten ke kompetensi itu didorong dari fakta lapangan bahwa belum dewasa kita condong mencar ilmu di level LOT (low order thinking). Dan memang itu menjadi kegelisahan yang mesti secepatnya dicarikan solusinya.

Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar



(2) Ada konten yang sifatnya sekuen, sehingga tidak sanggup melompat.  Matematika ialah salah satu contoh. Anak tidak akan sanggup mencar ilmu perkalian sebelum menguasai konten penjumlahan.  Anak tidak akan sanggup mencar ilmu pembagian sebelum mengusasi pengurangan. Bahwa di saat mencar ilmu penjumlahan anak mesti berpikir kritis sungguh betul, tidak cuma hafal tapi paham mengapa begini dan begitu. 


Dalam menggandengkan konten dan kompetensi mungkin Kurikulum Hong Kong dalam dijadikan materi banding.  Matapelajaran (konten) disebut selaku learning areas, sedangkan konten dan huruf disebut selaku learning goals.  Misalnya, di saat anak Sekolah Menengah Pertama mencar ilmu IPA salah satu maksudnya yakni siswa sanggup menguasai dan mempergunakan wawasan ihwal magnet untuk memencahkan probelma kehidupan sehari-hari secara kreatif.


Ke-empat, sekolah selaku unit inovasi, bukan menyerupai birokrasi. Pak Iwan sempat memberi ilustrasi, jangan hingga statement Mendikbud ihwal RPP 1 lembar lantas mucul templet RPP 1 lembar dan wajib ditiru oleh semua guru.  Guru mesti menggunakan kemerdekaan dalam mengajar untuk mengerjakan penemuan pembelajaran, agar hasil mencar ilmu siswa maksimal.  Prinsip ini sejalan dengan temuan Abu Dohuo bahwa hasil mencar ilmu siswa itu fungsi dari penemuan gampang yang dilakukan guru dalam pembelajaran.


Ketika guru didorong mengerjakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ataupun lesson study maksudnya menyerupai dengan itu, yakni terus menerus mengerjakan continuous improvement dalam pembelajarannya.  PTK tidak perlu menjadi dokumen observasi yang justru menambah beban guru.  Yang lebih penting guru mengerjakan refleksi, “hari ini pembelajaran yang saya laksanakan menyerupai ini, apa yang kurang baik untuk diperbaiki besuk dan seterusnya”.  Bahwa di saat mengerjakan refleksi mesti didasari berpikir analisis-sintesis dan di saat mendesain perbaikan didalam kreativitas itu suatu kewajaran.  Bukankah guru juga mesti mengerjakan HOT sebagaimana yang diajarkan terhadap siswa.


Hasil-hasil penemuan pembelajaran menyerupai itu akan sungguh bagus dijadikan materi membuatkan pengalaman dalam lembaga KKG dan MGMP.  Yang disebut hasil, tidak mesti berupa keberhasilan tapi juga kegagalan dan persoalan di saat mengerjakan suatu inovasi.  Dengan demikian KKG dan MGMP menjadi wilayah saling mencar ilmu bagi para guru.  Kalau menggunakan konsep problem driven iterative adaptation (PDIA), maka KKG/MGMP akan menjadi wilayah membuatkan aneka macam pengalaman memecahkan urusan menurut keadaan real di lapangan.



Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar
Kelima, Dinas Pendidikan dan Kemdikbud selaku unit enabler.  
Bagaimana Dinas Pendidikan dan Kemdikbud tidak bertindak selaku pihak yang memerintah dan mengontrol, tapi justu menolong dan memfasilitasi sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Mungkin menyerupai dengan konsep total quality management (TQM) in education yang diajukan oleh Sallis.  Konsep ini juga yang digunakan dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).   Pada konsep ini, kiprah guru yakni menolong dan menfalitiasi siswa agar sanggup mencar ilmu dengan optimal.  Tugas kepala sekolah yakni menolong dan memfasilitasi guru agar mampu melakukan pekerjaan dengan baik.  Tugas Dinas Pendidikan dan Kemdikbud yakni menolong sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Kaprikornus bergeser dari to govern menjadi to empower and to enable.Jika pengertian saya benar, merdeka  mencar ilmu ialah wahana mengarusutamakan konsep yang selama ini dikehendaki tapi belum berlangsung dengan baik di lapangan. Bukankah berdaya dan mempekerjakan itu memang hakekat dasar pendidikan.  Bukankah kita sedang mengupayakan bergeser dari teaching ke learning yang memprioritaskan hasil mencar ilmu dan bukan cuma proses pembelajaran.  Bukankah kita sedang mendorong hasil mencar ilmu siswa mesti hingga HOT.  Bukankah lewat PTK kita ingin mendorong para guru terus menerus mengerjakan inovasi, sehingga sekolah ialah unit penemuan dan bukan lembaga birokrasi.  Bukankah dalam konsep MBS, pendidikan ialah suatu layanan. Tugas kepala sekolah yakni menolong guru sanggup melakukan pekerjaan dengan baik dan kiprah Dinas Pendidikan serta Kemdikbud yakni menolong sekolah agar bisa melaksanakan.

Sumber: https://muchlassamani.school.blog/2023/01/13/merdeka-belajar-2/  

Semoga bermanfaat

Bacaan Lainnya
Aplikasi Penilaian Kinerja Kepala Madrasah PKKM
 Aplikasi ini menurut Juknis Dirjen Pendais Nomor 1111 Tahun 2023 ihwal Penilaian Kinerja Kepala Madrasah. Aplikasi berformat *.exe dilaksanakan secara ofline, didesain dengan Ms Excel 2010. Aplikasi didesain untuk mempermudah Pengawas Madrasah mengerjakan Penilaian  Kinerja Kepala Madrasah sesuai juknis sehingga sanggup mengenali nilai capaian/predikat dengan cepat/tepat, menyediakan saran hal/aspek apa yang mesti diperbaiki oleh Kepala Madrasah.
Output Aplikasi:
1. Hasil PKKM Tahun 1, 2, 3 dan ke-4
2. Rekomendasi PKKM Tahun1, 2 dan ke-3
3. Rekap PKKM Tahun 1, 2 dan ke-3
4. Hasil penilaian per tahun, Tahun 1, 2 dan ke-3 unduh)

3. Aplikasi Nilai Mapel Pend. Agama Kristen Kristen (
Pemikiran ini sejalan dengan prinsip dasar pendidikan yang pada dasarnya ingin menolong anak menjadi merdeka, bisa berdikari dan tidak tergantung orang lain.  Tentu tetap mesti dikenang bahwa berdikari dan merdeka itu tetap dalam koridor bahwa insan itu bab dari komunitas dimana dia berada.  Juga selaku makhluk Sang Pencipta (Al Khaliq), sehingga mesti mengikuti koridor keyakinannya yang bersumber dari Sang Pencipta.  Keharmonisan penerapan antara insan merdeka, bab dari komunitas dan makhluk Sang Pencipa itulah yang ingin ditumbuhkan dalam pendidikan.


Kedua, fokus pada output dan bahkan outcome dan bukan sekedar proses.  
Pak Iwan menggunakan perumpamaan yang sering digunakan oleh Pak Jokowi, tidak sekedar sent tapi delivered.  Dalam konteks ini, jujur saya belum mengerti secara baik, alasannya yakni memang saya tidak sempat menanyakan lebih lanjut. Kalau menggunakan metaphor WA, sent itu ditandai oleh satu cawang (v) artinya terkirim, sedangkan delivered ditandai oleh dua cawang berwarna hitam (vv) artinya diterima.  Namun apabila pesan itu dibaca ditandai dua cawang berwarna biru (vv).  Saya menduga yang dimaksud sebenarnya dibaca dan bukan sekedar dikirim atau diterima.

Jika dikaitkan dengan process approach dalam teori pembelajaran yang secara konsep menyerupai dengan scientific approach yang digunakan dalam Kurikulum 2013, saya menduga yang dimaksud merdeka mencar ilmu bukan proses berpikir dalam process approach maupun K-13, tapi proses pembelajaran.  Artinya pembelajaran dihentikan berhenti pada apa yang dilakukan guru tapi mesti hingga apa yang diperoleh siswa.  Kaprikornus yang dimaksud bergeser dari proses ke hasil, sama dengan prinsip shifting paradigm from teaching to learning. Mengapa demikian?  Karena dalam teori pembelajaran “modern”, justru proses berpikir itulah yang lebih penting. Dan itulah yang ingin dikembangkan dalam pendidikan.  5 M yang dalam K-13, mengamati, mempertanyaan apa yang diamati, menalar mengapa itu terjadi, menjajal mereplikasi dan memodifikasi, dan mengkomikasikan apa yang dilakukan, sejalan dengan pemikiran tersebut.


Ketiga, begeser dari konten ke kompetensi dan karakter
Menurut Pak Iwan yang lebih penting bagi belum dewasa kita yakni menguasai kompetensi critical thinking, creativity, communication, collaboration, compassion, computational logic dan sebagainya, yang sungguh diharapkan di abad disrupsi.  Sedangkan konten itu nomor dua, alasannya yakni sanggup dipelajari sendiri. Untuk karakter, P Iwan tidak sempat menerangkan secara rincian atau saya yang tidak mampu menangkap klarifikasi beliau.


Jika dikaitkan dengan process approach, menurut saya antara konten dan kompetensi tidak sanggup dipisahkan secara total. Bukan mutually exclusive tapi memiliki interseksi. Mengapa?  Ada dua argumentasi. (1) di saat mencar ilmu critical thinking, creativity dan sebagainya, kita membutuhkan wahana dan wahana yang paling sempurna yakni kompetensi.  Misalnya anak SD mencar ilmu berpikir kritis sewaktu mencermati ayam dalam matapelajaran IPA.  Dengan begitu, anak sekaligus mencar ilmu menguasasi kompetensi sekaligus juga konten.  Kaprikornus yang diharapkan bagaimana mendesain pembelajaran topik (konten) tertentu, tapi yang ingin dituju tidak cuma penguasaan kontennya tapi juga kompetensi tertentu.  Kaprikornus menyerupai dengan hasrat agar belum dewasa mencar ilmu untuk meraih HOT (high order thinking) yang menurut Bloom, mulai dari mengerjakan analisis-sintesis, penilaian dan kreativitas.  Dugaan saya hasrat memindah dari konten ke kompetensi itu didorong dari fakta lapangan bahwa belum dewasa kita condong mencar ilmu di level LOT (low order thinking). Dan memang itu menjadi kegelisahan yang mesti secepatnya dicarikan solusinya.

Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar



(2) Ada konten yang sifatnya sekuen, sehingga tidak sanggup melompat.  Matematika ialah salah satu contoh. Anak tidak akan sanggup mencar ilmu perkalian sebelum menguasai konten penjumlahan.  Anak tidak akan sanggup mencar ilmu pembagian sebelum mengusasi pengurangan. Bahwa di saat mencar ilmu penjumlahan anak mesti berpikir kritis sungguh betul, tidak cuma hafal tapi paham mengapa begini dan begitu. 


Dalam menggandengkan konten dan kompetensi mungkin Kurikulum Hong Kong dalam dijadikan materi banding.  Matapelajaran (konten) disebut selaku learning areas, sedangkan konten dan huruf disebut selaku learning goals.  Misalnya, di saat anak Sekolah Menengah Pertama mencar ilmu IPA salah satu maksudnya yakni siswa sanggup menguasai dan mempergunakan wawasan ihwal magnet untuk memencahkan probelma kehidupan sehari-hari secara kreatif.


Ke-empat, sekolah selaku unit inovasi, bukan menyerupai birokrasi. Pak Iwan sempat memberi ilustrasi, jangan hingga statement Mendikbud ihwal RPP 1 lembar lantas mucul templet RPP 1 lembar dan wajib ditiru oleh semua guru.  Guru mesti menggunakan kemerdekaan dalam mengajar untuk mengerjakan penemuan pembelajaran, agar hasil mencar ilmu siswa maksimal.  Prinsip ini sejalan dengan temuan Abu Dohuo bahwa hasil mencar ilmu siswa itu fungsi dari penemuan gampang yang dilakukan guru dalam pembelajaran.


Ketika guru didorong mengerjakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ataupun lesson study maksudnya menyerupai dengan itu, yakni terus menerus mengerjakan continuous improvement dalam pembelajarannya.  PTK tidak perlu menjadi dokumen observasi yang justru menambah beban guru.  Yang lebih penting guru mengerjakan refleksi, “hari ini pembelajaran yang saya laksanakan menyerupai ini, apa yang kurang baik untuk diperbaiki besuk dan seterusnya”.  Bahwa di saat mengerjakan refleksi mesti didasari berpikir analisis-sintesis dan di saat mendesain perbaikan didalam kreativitas itu suatu kewajaran.  Bukankah guru juga mesti mengerjakan HOT sebagaimana yang diajarkan terhadap siswa.


Hasil-hasil penemuan pembelajaran menyerupai itu akan sungguh bagus dijadikan materi membuatkan pengalaman dalam lembaga KKG dan MGMP.  Yang disebut hasil, tidak mesti berupa keberhasilan tapi juga kegagalan dan persoalan di saat mengerjakan suatu inovasi.  Dengan demikian KKG dan MGMP menjadi wilayah saling mencar ilmu bagi para guru.  Kalau menggunakan konsep problem driven iterative adaptation (PDIA), maka KKG/MGMP akan menjadi wilayah membuatkan aneka macam pengalaman memecahkan urusan menurut keadaan real di lapangan.



Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar
Kelima, Dinas Pendidikan dan Kemdikbud selaku unit enabler.  
Bagaimana Dinas Pendidikan dan Kemdikbud tidak bertindak selaku pihak yang memerintah dan mengontrol, tapi justu menolong dan memfasilitasi sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Mungkin menyerupai dengan konsep total quality management (TQM) in education yang diajukan oleh Sallis.  Konsep ini juga yang digunakan dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).   Pada konsep ini, kiprah guru yakni menolong dan menfalitiasi siswa agar sanggup mencar ilmu dengan optimal.  Tugas kepala sekolah yakni menolong dan memfasilitasi guru agar mampu melakukan pekerjaan dengan baik.  Tugas Dinas Pendidikan dan Kemdikbud yakni menolong sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Kaprikornus bergeser dari to govern menjadi to empower and to enable.Jika pengertian saya benar, merdeka  mencar ilmu ialah wahana mengarusutamakan konsep yang selama ini dikehendaki tapi belum berlangsung dengan baik di lapangan. Bukankah berdaya dan mempekerjakan itu memang hakekat dasar pendidikan.  Bukankah kita sedang mengupayakan bergeser dari teaching ke learning yang memprioritaskan hasil mencar ilmu dan bukan cuma proses pembelajaran.  Bukankah kita sedang mendorong hasil mencar ilmu siswa mesti hingga HOT.  Bukankah lewat PTK kita ingin mendorong para guru terus menerus mengerjakan inovasi, sehingga sekolah ialah unit penemuan dan bukan lembaga birokrasi.  Bukankah dalam konsep MBS, pendidikan ialah suatu layanan. Tugas kepala sekolah yakni menolong guru sanggup melakukan pekerjaan dengan baik dan kiprah Dinas Pendidikan serta Kemdikbud yakni menolong sekolah agar bisa melaksanakan.

Sumber: https://muchlassamani.school.blog/2023/01/13/merdeka-belajar-2/  

Semoga bermanfaat

Bacaan Lainnya
Aplikasi Penilaian Kinerja Kepala Madrasah PKKM
 Aplikasi ini menurut Juknis Dirjen Pendais Nomor 1111 Tahun 2023 ihwal Penilaian Kinerja Kepala Madrasah. Aplikasi berformat *.exe dilaksanakan secara ofline, didesain dengan Ms Excel 2010. Aplikasi didesain untuk mempermudah Pengawas Madrasah mengerjakan Penilaian  Kinerja Kepala Madrasah sesuai juknis sehingga sanggup mengenali nilai capaian/predikat dengan cepat/tepat, menyediakan saran hal/aspek apa yang mesti diperbaiki oleh Kepala Madrasah.
Output Aplikasi:
1. Hasil PKKM Tahun 1, 2, 3 dan ke-4
2. Rekomendasi PKKM Tahun1, 2 dan ke-3
3. Rekap PKKM Tahun 1, 2 dan ke-3
4. Hasil penilaian per tahun, Tahun 1, 2 dan ke-3 unduh)

4. Aplikasi Nilai Mapel Pend. Agama Hindu (
Pemikiran ini sejalan dengan prinsip dasar pendidikan yang pada dasarnya ingin menolong anak menjadi merdeka, bisa berdikari dan tidak tergantung orang lain.  Tentu tetap mesti dikenang bahwa berdikari dan merdeka itu tetap dalam koridor bahwa insan itu bab dari komunitas dimana dia berada.  Juga selaku makhluk Sang Pencipta (Al Khaliq), sehingga mesti mengikuti koridor keyakinannya yang bersumber dari Sang Pencipta.  Keharmonisan penerapan antara insan merdeka, bab dari komunitas dan makhluk Sang Pencipa itulah yang ingin ditumbuhkan dalam pendidikan.


Kedua, fokus pada output dan bahkan outcome dan bukan sekedar proses.  
Pak Iwan menggunakan perumpamaan yang sering digunakan oleh Pak Jokowi, tidak sekedar sent tapi delivered.  Dalam konteks ini, jujur saya belum mengerti secara baik, alasannya yakni memang saya tidak sempat menanyakan lebih lanjut. Kalau menggunakan metaphor WA, sent itu ditandai oleh satu cawang (v) artinya terkirim, sedangkan delivered ditandai oleh dua cawang berwarna hitam (vv) artinya diterima.  Namun apabila pesan itu dibaca ditandai dua cawang berwarna biru (vv).  Saya menduga yang dimaksud sebenarnya dibaca dan bukan sekedar dikirim atau diterima.

Jika dikaitkan dengan process approach dalam teori pembelajaran yang secara konsep menyerupai dengan scientific approach yang digunakan dalam Kurikulum 2013, saya menduga yang dimaksud merdeka mencar ilmu bukan proses berpikir dalam process approach maupun K-13, tapi proses pembelajaran.  Artinya pembelajaran dihentikan berhenti pada apa yang dilakukan guru tapi mesti hingga apa yang diperoleh siswa.  Kaprikornus yang dimaksud bergeser dari proses ke hasil, sama dengan prinsip shifting paradigm from teaching to learning. Mengapa demikian?  Karena dalam teori pembelajaran “modern”, justru proses berpikir itulah yang lebih penting. Dan itulah yang ingin dikembangkan dalam pendidikan.  5 M yang dalam K-13, mengamati, mempertanyaan apa yang diamati, menalar mengapa itu terjadi, menjajal mereplikasi dan memodifikasi, dan mengkomikasikan apa yang dilakukan, sejalan dengan pemikiran tersebut.


Ketiga, begeser dari konten ke kompetensi dan karakter
Menurut Pak Iwan yang lebih penting bagi belum dewasa kita yakni menguasai kompetensi critical thinking, creativity, communication, collaboration, compassion, computational logic dan sebagainya, yang sungguh diharapkan di abad disrupsi.  Sedangkan konten itu nomor dua, alasannya yakni sanggup dipelajari sendiri. Untuk karakter, P Iwan tidak sempat menerangkan secara rincian atau saya yang tidak mampu menangkap klarifikasi beliau.


Jika dikaitkan dengan process approach, menurut saya antara konten dan kompetensi tidak sanggup dipisahkan secara total. Bukan mutually exclusive tapi memiliki interseksi. Mengapa?  Ada dua argumentasi. (1) di saat mencar ilmu critical thinking, creativity dan sebagainya, kita membutuhkan wahana dan wahana yang paling sempurna yakni kompetensi.  Misalnya anak SD mencar ilmu berpikir kritis sewaktu mencermati ayam dalam matapelajaran IPA.  Dengan begitu, anak sekaligus mencar ilmu menguasasi kompetensi sekaligus juga konten.  Kaprikornus yang diharapkan bagaimana mendesain pembelajaran topik (konten) tertentu, tapi yang ingin dituju tidak cuma penguasaan kontennya tapi juga kompetensi tertentu.  Kaprikornus menyerupai dengan hasrat agar belum dewasa mencar ilmu untuk meraih HOT (high order thinking) yang menurut Bloom, mulai dari mengerjakan analisis-sintesis, penilaian dan kreativitas.  Dugaan saya hasrat memindah dari konten ke kompetensi itu didorong dari fakta lapangan bahwa belum dewasa kita condong mencar ilmu di level LOT (low order thinking). Dan memang itu menjadi kegelisahan yang mesti secepatnya dicarikan solusinya.

Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar



(2) Ada konten yang sifatnya sekuen, sehingga tidak sanggup melompat.  Matematika ialah salah satu contoh. Anak tidak akan sanggup mencar ilmu perkalian sebelum menguasai konten penjumlahan.  Anak tidak akan sanggup mencar ilmu pembagian sebelum mengusasi pengurangan. Bahwa di saat mencar ilmu penjumlahan anak mesti berpikir kritis sungguh betul, tidak cuma hafal tapi paham mengapa begini dan begitu. 


Dalam menggandengkan konten dan kompetensi mungkin Kurikulum Hong Kong dalam dijadikan materi banding.  Matapelajaran (konten) disebut selaku learning areas, sedangkan konten dan huruf disebut selaku learning goals.  Misalnya, di saat anak Sekolah Menengah Pertama mencar ilmu IPA salah satu maksudnya yakni siswa sanggup menguasai dan mempergunakan wawasan ihwal magnet untuk memencahkan probelma kehidupan sehari-hari secara kreatif.


Ke-empat, sekolah selaku unit inovasi, bukan menyerupai birokrasi. Pak Iwan sempat memberi ilustrasi, jangan hingga statement Mendikbud ihwal RPP 1 lembar lantas mucul templet RPP 1 lembar dan wajib ditiru oleh semua guru.  Guru mesti menggunakan kemerdekaan dalam mengajar untuk mengerjakan penemuan pembelajaran, agar hasil mencar ilmu siswa maksimal.  Prinsip ini sejalan dengan temuan Abu Dohuo bahwa hasil mencar ilmu siswa itu fungsi dari penemuan gampang yang dilakukan guru dalam pembelajaran.


Ketika guru didorong mengerjakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ataupun lesson study maksudnya menyerupai dengan itu, yakni terus menerus mengerjakan continuous improvement dalam pembelajarannya.  PTK tidak perlu menjadi dokumen observasi yang justru menambah beban guru.  Yang lebih penting guru mengerjakan refleksi, “hari ini pembelajaran yang saya laksanakan menyerupai ini, apa yang kurang baik untuk diperbaiki besuk dan seterusnya”.  Bahwa di saat mengerjakan refleksi mesti didasari berpikir analisis-sintesis dan di saat mendesain perbaikan didalam kreativitas itu suatu kewajaran.  Bukankah guru juga mesti mengerjakan HOT sebagaimana yang diajarkan terhadap siswa.


Hasil-hasil penemuan pembelajaran menyerupai itu akan sungguh bagus dijadikan materi membuatkan pengalaman dalam lembaga KKG dan MGMP.  Yang disebut hasil, tidak mesti berupa keberhasilan tapi juga kegagalan dan persoalan di saat mengerjakan suatu inovasi.  Dengan demikian KKG dan MGMP menjadi wilayah saling mencar ilmu bagi para guru.  Kalau menggunakan konsep problem driven iterative adaptation (PDIA), maka KKG/MGMP akan menjadi wilayah membuatkan aneka macam pengalaman memecahkan urusan menurut keadaan real di lapangan.



Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar
Kelima, Dinas Pendidikan dan Kemdikbud selaku unit enabler.  
Bagaimana Dinas Pendidikan dan Kemdikbud tidak bertindak selaku pihak yang memerintah dan mengontrol, tapi justu menolong dan memfasilitasi sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Mungkin menyerupai dengan konsep total quality management (TQM) in education yang diajukan oleh Sallis.  Konsep ini juga yang digunakan dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).   Pada konsep ini, kiprah guru yakni menolong dan menfalitiasi siswa agar sanggup mencar ilmu dengan optimal.  Tugas kepala sekolah yakni menolong dan memfasilitasi guru agar mampu melakukan pekerjaan dengan baik.  Tugas Dinas Pendidikan dan Kemdikbud yakni menolong sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Kaprikornus bergeser dari to govern menjadi to empower and to enable.Jika pengertian saya benar, merdeka  mencar ilmu ialah wahana mengarusutamakan konsep yang selama ini dikehendaki tapi belum berlangsung dengan baik di lapangan. Bukankah berdaya dan mempekerjakan itu memang hakekat dasar pendidikan.  Bukankah kita sedang mengupayakan bergeser dari teaching ke learning yang memprioritaskan hasil mencar ilmu dan bukan cuma proses pembelajaran.  Bukankah kita sedang mendorong hasil mencar ilmu siswa mesti hingga HOT.  Bukankah lewat PTK kita ingin mendorong para guru terus menerus mengerjakan inovasi, sehingga sekolah ialah unit penemuan dan bukan lembaga birokrasi.  Bukankah dalam konsep MBS, pendidikan ialah suatu layanan. Tugas kepala sekolah yakni menolong guru sanggup melakukan pekerjaan dengan baik dan kiprah Dinas Pendidikan serta Kemdikbud yakni menolong sekolah agar bisa melaksanakan.

Sumber: https://muchlassamani.school.blog/2023/01/13/merdeka-belajar-2/  

Semoga bermanfaat

Bacaan Lainnya
Aplikasi Penilaian Kinerja Kepala Madrasah PKKM
 Aplikasi ini menurut Juknis Dirjen Pendais Nomor 1111 Tahun 2023 ihwal Penilaian Kinerja Kepala Madrasah. Aplikasi berformat *.exe dilaksanakan secara ofline, didesain dengan Ms Excel 2010. Aplikasi didesain untuk mempermudah Pengawas Madrasah mengerjakan Penilaian  Kinerja Kepala Madrasah sesuai juknis sehingga sanggup mengenali nilai capaian/predikat dengan cepat/tepat, menyediakan saran hal/aspek apa yang mesti diperbaiki oleh Kepala Madrasah.
Output Aplikasi:
1. Hasil PKKM Tahun 1, 2, 3 dan ke-4
2. Rekomendasi PKKM Tahun1, 2 dan ke-3
3. Rekap PKKM Tahun 1, 2 dan ke-3
4. Hasil penilaian per tahun, Tahun 1, 2 dan ke-3 unduh)

5. Aplikasi Nilai Mapel Pend. Agama Budha (
Pemikiran ini sejalan dengan prinsip dasar pendidikan yang pada dasarnya ingin menolong anak menjadi merdeka, bisa berdikari dan tidak tergantung orang lain.  Tentu tetap mesti dikenang bahwa berdikari dan merdeka itu tetap dalam koridor bahwa insan itu bab dari komunitas dimana dia berada.  Juga selaku makhluk Sang Pencipta (Al Khaliq), sehingga mesti mengikuti koridor keyakinannya yang bersumber dari Sang Pencipta.  Keharmonisan penerapan antara insan merdeka, bab dari komunitas dan makhluk Sang Pencipa itulah yang ingin ditumbuhkan dalam pendidikan.


Kedua, fokus pada output dan bahkan outcome dan bukan sekedar proses.  
Pak Iwan menggunakan perumpamaan yang sering digunakan oleh Pak Jokowi, tidak sekedar sent tapi delivered.  Dalam konteks ini, jujur saya belum mengerti secara baik, alasannya yakni memang saya tidak sempat menanyakan lebih lanjut. Kalau menggunakan metaphor WA, sent itu ditandai oleh satu cawang (v) artinya terkirim, sedangkan delivered ditandai oleh dua cawang berwarna hitam (vv) artinya diterima.  Namun apabila pesan itu dibaca ditandai dua cawang berwarna biru (vv).  Saya menduga yang dimaksud sebenarnya dibaca dan bukan sekedar dikirim atau diterima.

Jika dikaitkan dengan process approach dalam teori pembelajaran yang secara konsep menyerupai dengan scientific approach yang digunakan dalam Kurikulum 2013, saya menduga yang dimaksud merdeka mencar ilmu bukan proses berpikir dalam process approach maupun K-13, tapi proses pembelajaran.  Artinya pembelajaran dihentikan berhenti pada apa yang dilakukan guru tapi mesti hingga apa yang diperoleh siswa.  Kaprikornus yang dimaksud bergeser dari proses ke hasil, sama dengan prinsip shifting paradigm from teaching to learning. Mengapa demikian?  Karena dalam teori pembelajaran “modern”, justru proses berpikir itulah yang lebih penting. Dan itulah yang ingin dikembangkan dalam pendidikan.  5 M yang dalam K-13, mengamati, mempertanyaan apa yang diamati, menalar mengapa itu terjadi, menjajal mereplikasi dan memodifikasi, dan mengkomikasikan apa yang dilakukan, sejalan dengan pemikiran tersebut.


Ketiga, begeser dari konten ke kompetensi dan karakter
Menurut Pak Iwan yang lebih penting bagi belum dewasa kita yakni menguasai kompetensi critical thinking, creativity, communication, collaboration, compassion, computational logic dan sebagainya, yang sungguh diharapkan di abad disrupsi.  Sedangkan konten itu nomor dua, alasannya yakni sanggup dipelajari sendiri. Untuk karakter, P Iwan tidak sempat menerangkan secara rincian atau saya yang tidak mampu menangkap klarifikasi beliau.


Jika dikaitkan dengan process approach, menurut saya antara konten dan kompetensi tidak sanggup dipisahkan secara total. Bukan mutually exclusive tapi memiliki interseksi. Mengapa?  Ada dua argumentasi. (1) di saat mencar ilmu critical thinking, creativity dan sebagainya, kita membutuhkan wahana dan wahana yang paling sempurna yakni kompetensi.  Misalnya anak SD mencar ilmu berpikir kritis sewaktu mencermati ayam dalam matapelajaran IPA.  Dengan begitu, anak sekaligus mencar ilmu menguasasi kompetensi sekaligus juga konten.  Kaprikornus yang diharapkan bagaimana mendesain pembelajaran topik (konten) tertentu, tapi yang ingin dituju tidak cuma penguasaan kontennya tapi juga kompetensi tertentu.  Kaprikornus menyerupai dengan hasrat agar belum dewasa mencar ilmu untuk meraih HOT (high order thinking) yang menurut Bloom, mulai dari mengerjakan analisis-sintesis, penilaian dan kreativitas.  Dugaan saya hasrat memindah dari konten ke kompetensi itu didorong dari fakta lapangan bahwa belum dewasa kita condong mencar ilmu di level LOT (low order thinking). Dan memang itu menjadi kegelisahan yang mesti secepatnya dicarikan solusinya.

Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar



(2) Ada konten yang sifatnya sekuen, sehingga tidak sanggup melompat.  Matematika ialah salah satu contoh. Anak tidak akan sanggup mencar ilmu perkalian sebelum menguasai konten penjumlahan.  Anak tidak akan sanggup mencar ilmu pembagian sebelum mengusasi pengurangan. Bahwa di saat mencar ilmu penjumlahan anak mesti berpikir kritis sungguh betul, tidak cuma hafal tapi paham mengapa begini dan begitu. 


Dalam menggandengkan konten dan kompetensi mungkin Kurikulum Hong Kong dalam dijadikan materi banding.  Matapelajaran (konten) disebut selaku learning areas, sedangkan konten dan huruf disebut selaku learning goals.  Misalnya, di saat anak Sekolah Menengah Pertama mencar ilmu IPA salah satu maksudnya yakni siswa sanggup menguasai dan mempergunakan wawasan ihwal magnet untuk memencahkan probelma kehidupan sehari-hari secara kreatif.


Ke-empat, sekolah selaku unit inovasi, bukan menyerupai birokrasi. Pak Iwan sempat memberi ilustrasi, jangan hingga statement Mendikbud ihwal RPP 1 lembar lantas mucul templet RPP 1 lembar dan wajib ditiru oleh semua guru.  Guru mesti menggunakan kemerdekaan dalam mengajar untuk mengerjakan penemuan pembelajaran, agar hasil mencar ilmu siswa maksimal.  Prinsip ini sejalan dengan temuan Abu Dohuo bahwa hasil mencar ilmu siswa itu fungsi dari penemuan gampang yang dilakukan guru dalam pembelajaran.


Ketika guru didorong mengerjakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ataupun lesson study maksudnya menyerupai dengan itu, yakni terus menerus mengerjakan continuous improvement dalam pembelajarannya.  PTK tidak perlu menjadi dokumen observasi yang justru menambah beban guru.  Yang lebih penting guru mengerjakan refleksi, “hari ini pembelajaran yang saya laksanakan menyerupai ini, apa yang kurang baik untuk diperbaiki besuk dan seterusnya”.  Bahwa di saat mengerjakan refleksi mesti didasari berpikir analisis-sintesis dan di saat mendesain perbaikan didalam kreativitas itu suatu kewajaran.  Bukankah guru juga mesti mengerjakan HOT sebagaimana yang diajarkan terhadap siswa.


Hasil-hasil penemuan pembelajaran menyerupai itu akan sungguh bagus dijadikan materi membuatkan pengalaman dalam lembaga KKG dan MGMP.  Yang disebut hasil, tidak mesti berupa keberhasilan tapi juga kegagalan dan persoalan di saat mengerjakan suatu inovasi.  Dengan demikian KKG dan MGMP menjadi wilayah saling mencar ilmu bagi para guru.  Kalau menggunakan konsep problem driven iterative adaptation (PDIA), maka KKG/MGMP akan menjadi wilayah membuatkan aneka macam pengalaman memecahkan urusan menurut keadaan real di lapangan.



Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar
Kelima, Dinas Pendidikan dan Kemdikbud selaku unit enabler.  
Bagaimana Dinas Pendidikan dan Kemdikbud tidak bertindak selaku pihak yang memerintah dan mengontrol, tapi justu menolong dan memfasilitasi sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Mungkin menyerupai dengan konsep total quality management (TQM) in education yang diajukan oleh Sallis.  Konsep ini juga yang digunakan dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).   Pada konsep ini, kiprah guru yakni menolong dan menfalitiasi siswa agar sanggup mencar ilmu dengan optimal.  Tugas kepala sekolah yakni menolong dan memfasilitasi guru agar mampu melakukan pekerjaan dengan baik.  Tugas Dinas Pendidikan dan Kemdikbud yakni menolong sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Kaprikornus bergeser dari to govern menjadi to empower and to enable.Jika pengertian saya benar, merdeka  mencar ilmu ialah wahana mengarusutamakan konsep yang selama ini dikehendaki tapi belum berlangsung dengan baik di lapangan. Bukankah berdaya dan mempekerjakan itu memang hakekat dasar pendidikan.  Bukankah kita sedang mengupayakan bergeser dari teaching ke learning yang memprioritaskan hasil mencar ilmu dan bukan cuma proses pembelajaran.  Bukankah kita sedang mendorong hasil mencar ilmu siswa mesti hingga HOT.  Bukankah lewat PTK kita ingin mendorong para guru terus menerus mengerjakan inovasi, sehingga sekolah ialah unit penemuan dan bukan lembaga birokrasi.  Bukankah dalam konsep MBS, pendidikan ialah suatu layanan. Tugas kepala sekolah yakni menolong guru sanggup melakukan pekerjaan dengan baik dan kiprah Dinas Pendidikan serta Kemdikbud yakni menolong sekolah agar bisa melaksanakan.

Sumber: https://muchlassamani.school.blog/2023/01/13/merdeka-belajar-2/  

Semoga bermanfaat

Bacaan Lainnya
Aplikasi Penilaian Kinerja Kepala Madrasah PKKM
 Aplikasi ini menurut Juknis Dirjen Pendais Nomor 1111 Tahun 2023 ihwal Penilaian Kinerja Kepala Madrasah. Aplikasi berformat *.exe dilaksanakan secara ofline, didesain dengan Ms Excel 2010. Aplikasi didesain untuk mempermudah Pengawas Madrasah mengerjakan Penilaian  Kinerja Kepala Madrasah sesuai juknis sehingga sanggup mengenali nilai capaian/predikat dengan cepat/tepat, menyediakan saran hal/aspek apa yang mesti diperbaiki oleh Kepala Madrasah.
Output Aplikasi:
1. Hasil PKKM Tahun 1, 2, 3 dan ke-4
2. Rekomendasi PKKM Tahun1, 2 dan ke-3
3. Rekap PKKM Tahun 1, 2 dan ke-3
4. Hasil penilaian per tahun, Tahun 1, 2 dan ke-3 unduh)

6. Aplikasi Nilai Mapel PPKN (
Pemikiran ini sejalan dengan prinsip dasar pendidikan yang pada dasarnya ingin menolong anak menjadi merdeka, bisa berdikari dan tidak tergantung orang lain.  Tentu tetap mesti dikenang bahwa berdikari dan merdeka itu tetap dalam koridor bahwa insan itu bab dari komunitas dimana dia berada.  Juga selaku makhluk Sang Pencipta (Al Khaliq), sehingga mesti mengikuti koridor keyakinannya yang bersumber dari Sang Pencipta.  Keharmonisan penerapan antara insan merdeka, bab dari komunitas dan makhluk Sang Pencipa itulah yang ingin ditumbuhkan dalam pendidikan.


Kedua, fokus pada output dan bahkan outcome dan bukan sekedar proses.  
Pak Iwan menggunakan perumpamaan yang sering digunakan oleh Pak Jokowi, tidak sekedar sent tapi delivered.  Dalam konteks ini, jujur saya belum mengerti secara baik, alasannya yakni memang saya tidak sempat menanyakan lebih lanjut. Kalau menggunakan metaphor WA, sent itu ditandai oleh satu cawang (v) artinya terkirim, sedangkan delivered ditandai oleh dua cawang berwarna hitam (vv) artinya diterima.  Namun apabila pesan itu dibaca ditandai dua cawang berwarna biru (vv).  Saya menduga yang dimaksud sebenarnya dibaca dan bukan sekedar dikirim atau diterima.

Jika dikaitkan dengan process approach dalam teori pembelajaran yang secara konsep menyerupai dengan scientific approach yang digunakan dalam Kurikulum 2013, saya menduga yang dimaksud merdeka mencar ilmu bukan proses berpikir dalam process approach maupun K-13, tapi proses pembelajaran.  Artinya pembelajaran dihentikan berhenti pada apa yang dilakukan guru tapi mesti hingga apa yang diperoleh siswa.  Kaprikornus yang dimaksud bergeser dari proses ke hasil, sama dengan prinsip shifting paradigm from teaching to learning. Mengapa demikian?  Karena dalam teori pembelajaran “modern”, justru proses berpikir itulah yang lebih penting. Dan itulah yang ingin dikembangkan dalam pendidikan.  5 M yang dalam K-13, mengamati, mempertanyaan apa yang diamati, menalar mengapa itu terjadi, menjajal mereplikasi dan memodifikasi, dan mengkomikasikan apa yang dilakukan, sejalan dengan pemikiran tersebut.


Ketiga, begeser dari konten ke kompetensi dan karakter
Menurut Pak Iwan yang lebih penting bagi belum dewasa kita yakni menguasai kompetensi critical thinking, creativity, communication, collaboration, compassion, computational logic dan sebagainya, yang sungguh diharapkan di abad disrupsi.  Sedangkan konten itu nomor dua, alasannya yakni sanggup dipelajari sendiri. Untuk karakter, P Iwan tidak sempat menerangkan secara rincian atau saya yang tidak mampu menangkap klarifikasi beliau.


Jika dikaitkan dengan process approach, menurut saya antara konten dan kompetensi tidak sanggup dipisahkan secara total. Bukan mutually exclusive tapi memiliki interseksi. Mengapa?  Ada dua argumentasi. (1) di saat mencar ilmu critical thinking, creativity dan sebagainya, kita membutuhkan wahana dan wahana yang paling sempurna yakni kompetensi.  Misalnya anak SD mencar ilmu berpikir kritis sewaktu mencermati ayam dalam matapelajaran IPA.  Dengan begitu, anak sekaligus mencar ilmu menguasasi kompetensi sekaligus juga konten.  Kaprikornus yang diharapkan bagaimana mendesain pembelajaran topik (konten) tertentu, tapi yang ingin dituju tidak cuma penguasaan kontennya tapi juga kompetensi tertentu.  Kaprikornus menyerupai dengan hasrat agar belum dewasa mencar ilmu untuk meraih HOT (high order thinking) yang menurut Bloom, mulai dari mengerjakan analisis-sintesis, penilaian dan kreativitas.  Dugaan saya hasrat memindah dari konten ke kompetensi itu didorong dari fakta lapangan bahwa belum dewasa kita condong mencar ilmu di level LOT (low order thinking). Dan memang itu menjadi kegelisahan yang mesti secepatnya dicarikan solusinya.

Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar



(2) Ada konten yang sifatnya sekuen, sehingga tidak sanggup melompat.  Matematika ialah salah satu contoh. Anak tidak akan sanggup mencar ilmu perkalian sebelum menguasai konten penjumlahan.  Anak tidak akan sanggup mencar ilmu pembagian sebelum mengusasi pengurangan. Bahwa di saat mencar ilmu penjumlahan anak mesti berpikir kritis sungguh betul, tidak cuma hafal tapi paham mengapa begini dan begitu. 


Dalam menggandengkan konten dan kompetensi mungkin Kurikulum Hong Kong dalam dijadikan materi banding.  Matapelajaran (konten) disebut selaku learning areas, sedangkan konten dan huruf disebut selaku learning goals.  Misalnya, di saat anak Sekolah Menengah Pertama mencar ilmu IPA salah satu maksudnya yakni siswa sanggup menguasai dan mempergunakan wawasan ihwal magnet untuk memencahkan probelma kehidupan sehari-hari secara kreatif.


Ke-empat, sekolah selaku unit inovasi, bukan menyerupai birokrasi. Pak Iwan sempat memberi ilustrasi, jangan hingga statement Mendikbud ihwal RPP 1 lembar lantas mucul templet RPP 1 lembar dan wajib ditiru oleh semua guru.  Guru mesti menggunakan kemerdekaan dalam mengajar untuk mengerjakan penemuan pembelajaran, agar hasil mencar ilmu siswa maksimal.  Prinsip ini sejalan dengan temuan Abu Dohuo bahwa hasil mencar ilmu siswa itu fungsi dari penemuan gampang yang dilakukan guru dalam pembelajaran.


Ketika guru didorong mengerjakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ataupun lesson study maksudnya menyerupai dengan itu, yakni terus menerus mengerjakan continuous improvement dalam pembelajarannya.  PTK tidak perlu menjadi dokumen observasi yang justru menambah beban guru.  Yang lebih penting guru mengerjakan refleksi, “hari ini pembelajaran yang saya laksanakan menyerupai ini, apa yang kurang baik untuk diperbaiki besuk dan seterusnya”.  Bahwa di saat mengerjakan refleksi mesti didasari berpikir analisis-sintesis dan di saat mendesain perbaikan didalam kreativitas itu suatu kewajaran.  Bukankah guru juga mesti mengerjakan HOT sebagaimana yang diajarkan terhadap siswa.


Hasil-hasil penemuan pembelajaran menyerupai itu akan sungguh bagus dijadikan materi membuatkan pengalaman dalam lembaga KKG dan MGMP.  Yang disebut hasil, tidak mesti berupa keberhasilan tapi juga kegagalan dan persoalan di saat mengerjakan suatu inovasi.  Dengan demikian KKG dan MGMP menjadi wilayah saling mencar ilmu bagi para guru.  Kalau menggunakan konsep problem driven iterative adaptation (PDIA), maka KKG/MGMP akan menjadi wilayah membuatkan aneka macam pengalaman memecahkan urusan menurut keadaan real di lapangan.



Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar
Kelima, Dinas Pendidikan dan Kemdikbud selaku unit enabler.  
Bagaimana Dinas Pendidikan dan Kemdikbud tidak bertindak selaku pihak yang memerintah dan mengontrol, tapi justu menolong dan memfasilitasi sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Mungkin menyerupai dengan konsep total quality management (TQM) in education yang diajukan oleh Sallis.  Konsep ini juga yang digunakan dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).   Pada konsep ini, kiprah guru yakni menolong dan menfalitiasi siswa agar sanggup mencar ilmu dengan optimal.  Tugas kepala sekolah yakni menolong dan memfasilitasi guru agar mampu melakukan pekerjaan dengan baik.  Tugas Dinas Pendidikan dan Kemdikbud yakni menolong sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Kaprikornus bergeser dari to govern menjadi to empower and to enable.Jika pengertian saya benar, merdeka  mencar ilmu ialah wahana mengarusutamakan konsep yang selama ini dikehendaki tapi belum berlangsung dengan baik di lapangan. Bukankah berdaya dan mempekerjakan itu memang hakekat dasar pendidikan.  Bukankah kita sedang mengupayakan bergeser dari teaching ke learning yang memprioritaskan hasil mencar ilmu dan bukan cuma proses pembelajaran.  Bukankah kita sedang mendorong hasil mencar ilmu siswa mesti hingga HOT.  Bukankah lewat PTK kita ingin mendorong para guru terus menerus mengerjakan inovasi, sehingga sekolah ialah unit penemuan dan bukan lembaga birokrasi.  Bukankah dalam konsep MBS, pendidikan ialah suatu layanan. Tugas kepala sekolah yakni menolong guru sanggup melakukan pekerjaan dengan baik dan kiprah Dinas Pendidikan serta Kemdikbud yakni menolong sekolah agar bisa melaksanakan.

Sumber: https://muchlassamani.school.blog/2023/01/13/merdeka-belajar-2/  

Semoga bermanfaat

Bacaan Lainnya
Aplikasi Penilaian Kinerja Kepala Madrasah PKKM
 Aplikasi ini menurut Juknis Dirjen Pendais Nomor 1111 Tahun 2023 ihwal Penilaian Kinerja Kepala Madrasah. Aplikasi berformat *.exe dilaksanakan secara ofline, didesain dengan Ms Excel 2010. Aplikasi didesain untuk mempermudah Pengawas Madrasah mengerjakan Penilaian  Kinerja Kepala Madrasah sesuai juknis sehingga sanggup mengenali nilai capaian/predikat dengan cepat/tepat, menyediakan saran hal/aspek apa yang mesti diperbaiki oleh Kepala Madrasah.
Output Aplikasi:
1. Hasil PKKM Tahun 1, 2, 3 dan ke-4
2. Rekomendasi PKKM Tahun1, 2 dan ke-3
3. Rekap PKKM Tahun 1, 2 dan ke-3
4. Hasil penilaian per tahun, Tahun 1, 2 dan ke-3 unduh)

7. Aplikasi Nilai Mapel Bahasa Indonesia (
Pemikiran ini sejalan dengan prinsip dasar pendidikan yang pada dasarnya ingin menolong anak menjadi merdeka, bisa berdikari dan tidak tergantung orang lain.  Tentu tetap mesti dikenang bahwa berdikari dan merdeka itu tetap dalam koridor bahwa insan itu bab dari komunitas dimana dia berada.  Juga selaku makhluk Sang Pencipta (Al Khaliq), sehingga mesti mengikuti koridor keyakinannya yang bersumber dari Sang Pencipta.  Keharmonisan penerapan antara insan merdeka, bab dari komunitas dan makhluk Sang Pencipa itulah yang ingin ditumbuhkan dalam pendidikan.


Kedua, fokus pada output dan bahkan outcome dan bukan sekedar proses.  
Pak Iwan menggunakan perumpamaan yang sering digunakan oleh Pak Jokowi, tidak sekedar sent tapi delivered.  Dalam konteks ini, jujur saya belum mengerti secara baik, alasannya yakni memang saya tidak sempat menanyakan lebih lanjut. Kalau menggunakan metaphor WA, sent itu ditandai oleh satu cawang (v) artinya terkirim, sedangkan delivered ditandai oleh dua cawang berwarna hitam (vv) artinya diterima.  Namun apabila pesan itu dibaca ditandai dua cawang berwarna biru (vv).  Saya menduga yang dimaksud sebenarnya dibaca dan bukan sekedar dikirim atau diterima.

Jika dikaitkan dengan process approach dalam teori pembelajaran yang secara konsep menyerupai dengan scientific approach yang digunakan dalam Kurikulum 2013, saya menduga yang dimaksud merdeka mencar ilmu bukan proses berpikir dalam process approach maupun K-13, tapi proses pembelajaran.  Artinya pembelajaran dihentikan berhenti pada apa yang dilakukan guru tapi mesti hingga apa yang diperoleh siswa.  Kaprikornus yang dimaksud bergeser dari proses ke hasil, sama dengan prinsip shifting paradigm from teaching to learning. Mengapa demikian?  Karena dalam teori pembelajaran “modern”, justru proses berpikir itulah yang lebih penting. Dan itulah yang ingin dikembangkan dalam pendidikan.  5 M yang dalam K-13, mengamati, mempertanyaan apa yang diamati, menalar mengapa itu terjadi, menjajal mereplikasi dan memodifikasi, dan mengkomikasikan apa yang dilakukan, sejalan dengan pemikiran tersebut.


Ketiga, begeser dari konten ke kompetensi dan karakter
Menurut Pak Iwan yang lebih penting bagi belum dewasa kita yakni menguasai kompetensi critical thinking, creativity, communication, collaboration, compassion, computational logic dan sebagainya, yang sungguh diharapkan di abad disrupsi.  Sedangkan konten itu nomor dua, alasannya yakni sanggup dipelajari sendiri. Untuk karakter, P Iwan tidak sempat menerangkan secara rincian atau saya yang tidak mampu menangkap klarifikasi beliau.


Jika dikaitkan dengan process approach, menurut saya antara konten dan kompetensi tidak sanggup dipisahkan secara total. Bukan mutually exclusive tapi memiliki interseksi. Mengapa?  Ada dua argumentasi. (1) di saat mencar ilmu critical thinking, creativity dan sebagainya, kita membutuhkan wahana dan wahana yang paling sempurna yakni kompetensi.  Misalnya anak SD mencar ilmu berpikir kritis sewaktu mencermati ayam dalam matapelajaran IPA.  Dengan begitu, anak sekaligus mencar ilmu menguasasi kompetensi sekaligus juga konten.  Kaprikornus yang diharapkan bagaimana mendesain pembelajaran topik (konten) tertentu, tapi yang ingin dituju tidak cuma penguasaan kontennya tapi juga kompetensi tertentu.  Kaprikornus menyerupai dengan hasrat agar belum dewasa mencar ilmu untuk meraih HOT (high order thinking) yang menurut Bloom, mulai dari mengerjakan analisis-sintesis, penilaian dan kreativitas.  Dugaan saya hasrat memindah dari konten ke kompetensi itu didorong dari fakta lapangan bahwa belum dewasa kita condong mencar ilmu di level LOT (low order thinking). Dan memang itu menjadi kegelisahan yang mesti secepatnya dicarikan solusinya.

Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar



(2) Ada konten yang sifatnya sekuen, sehingga tidak sanggup melompat.  Matematika ialah salah satu contoh. Anak tidak akan sanggup mencar ilmu perkalian sebelum menguasai konten penjumlahan.  Anak tidak akan sanggup mencar ilmu pembagian sebelum mengusasi pengurangan. Bahwa di saat mencar ilmu penjumlahan anak mesti berpikir kritis sungguh betul, tidak cuma hafal tapi paham mengapa begini dan begitu. 


Dalam menggandengkan konten dan kompetensi mungkin Kurikulum Hong Kong dalam dijadikan materi banding.  Matapelajaran (konten) disebut selaku learning areas, sedangkan konten dan huruf disebut selaku learning goals.  Misalnya, di saat anak Sekolah Menengah Pertama mencar ilmu IPA salah satu maksudnya yakni siswa sanggup menguasai dan mempergunakan wawasan ihwal magnet untuk memencahkan probelma kehidupan sehari-hari secara kreatif.


Ke-empat, sekolah selaku unit inovasi, bukan menyerupai birokrasi. Pak Iwan sempat memberi ilustrasi, jangan hingga statement Mendikbud ihwal RPP 1 lembar lantas mucul templet RPP 1 lembar dan wajib ditiru oleh semua guru.  Guru mesti menggunakan kemerdekaan dalam mengajar untuk mengerjakan penemuan pembelajaran, agar hasil mencar ilmu siswa maksimal.  Prinsip ini sejalan dengan temuan Abu Dohuo bahwa hasil mencar ilmu siswa itu fungsi dari penemuan gampang yang dilakukan guru dalam pembelajaran.


Ketika guru didorong mengerjakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ataupun lesson study maksudnya menyerupai dengan itu, yakni terus menerus mengerjakan continuous improvement dalam pembelajarannya.  PTK tidak perlu menjadi dokumen observasi yang justru menambah beban guru.  Yang lebih penting guru mengerjakan refleksi, “hari ini pembelajaran yang saya laksanakan menyerupai ini, apa yang kurang baik untuk diperbaiki besuk dan seterusnya”.  Bahwa di saat mengerjakan refleksi mesti didasari berpikir analisis-sintesis dan di saat mendesain perbaikan didalam kreativitas itu suatu kewajaran.  Bukankah guru juga mesti mengerjakan HOT sebagaimana yang diajarkan terhadap siswa.


Hasil-hasil penemuan pembelajaran menyerupai itu akan sungguh bagus dijadikan materi membuatkan pengalaman dalam lembaga KKG dan MGMP.  Yang disebut hasil, tidak mesti berupa keberhasilan tapi juga kegagalan dan persoalan di saat mengerjakan suatu inovasi.  Dengan demikian KKG dan MGMP menjadi wilayah saling mencar ilmu bagi para guru.  Kalau menggunakan konsep problem driven iterative adaptation (PDIA), maka KKG/MGMP akan menjadi wilayah membuatkan aneka macam pengalaman memecahkan urusan menurut keadaan real di lapangan.



Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar
Kelima, Dinas Pendidikan dan Kemdikbud selaku unit enabler.  
Bagaimana Dinas Pendidikan dan Kemdikbud tidak bertindak selaku pihak yang memerintah dan mengontrol, tapi justu menolong dan memfasilitasi sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Mungkin menyerupai dengan konsep total quality management (TQM) in education yang diajukan oleh Sallis.  Konsep ini juga yang digunakan dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).   Pada konsep ini, kiprah guru yakni menolong dan menfalitiasi siswa agar sanggup mencar ilmu dengan optimal.  Tugas kepala sekolah yakni menolong dan memfasilitasi guru agar mampu melakukan pekerjaan dengan baik.  Tugas Dinas Pendidikan dan Kemdikbud yakni menolong sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Kaprikornus bergeser dari to govern menjadi to empower and to enable.Jika pengertian saya benar, merdeka  mencar ilmu ialah wahana mengarusutamakan konsep yang selama ini dikehendaki tapi belum berlangsung dengan baik di lapangan. Bukankah berdaya dan mempekerjakan itu memang hakekat dasar pendidikan.  Bukankah kita sedang mengupayakan bergeser dari teaching ke learning yang memprioritaskan hasil mencar ilmu dan bukan cuma proses pembelajaran.  Bukankah kita sedang mendorong hasil mencar ilmu siswa mesti hingga HOT.  Bukankah lewat PTK kita ingin mendorong para guru terus menerus mengerjakan inovasi, sehingga sekolah ialah unit penemuan dan bukan lembaga birokrasi.  Bukankah dalam konsep MBS, pendidikan ialah suatu layanan. Tugas kepala sekolah yakni menolong guru sanggup melakukan pekerjaan dengan baik dan kiprah Dinas Pendidikan serta Kemdikbud yakni menolong sekolah agar bisa melaksanakan.

Sumber: https://muchlassamani.school.blog/2023/01/13/merdeka-belajar-2/  

Semoga bermanfaat

Bacaan Lainnya
Aplikasi Penilaian Kinerja Kepala Madrasah PKKM
 Aplikasi ini menurut Juknis Dirjen Pendais Nomor 1111 Tahun 2023 ihwal Penilaian Kinerja Kepala Madrasah. Aplikasi berformat *.exe dilaksanakan secara ofline, didesain dengan Ms Excel 2010. Aplikasi didesain untuk mempermudah Pengawas Madrasah mengerjakan Penilaian  Kinerja Kepala Madrasah sesuai juknis sehingga sanggup mengenali nilai capaian/predikat dengan cepat/tepat, menyediakan saran hal/aspek apa yang mesti diperbaiki oleh Kepala Madrasah.
Output Aplikasi:
1. Hasil PKKM Tahun 1, 2, 3 dan ke-4
2. Rekomendasi PKKM Tahun1, 2 dan ke-3
3. Rekap PKKM Tahun 1, 2 dan ke-3
4. Hasil penilaian per tahun, Tahun 1, 2 dan ke-3 unduh)

8. Aplikasi Nilai Mapel Matematika (
Pemikiran ini sejalan dengan prinsip dasar pendidikan yang pada dasarnya ingin menolong anak menjadi merdeka, bisa berdikari dan tidak tergantung orang lain.  Tentu tetap mesti dikenang bahwa berdikari dan merdeka itu tetap dalam koridor bahwa insan itu bab dari komunitas dimana dia berada.  Juga selaku makhluk Sang Pencipta (Al Khaliq), sehingga mesti mengikuti koridor keyakinannya yang bersumber dari Sang Pencipta.  Keharmonisan penerapan antara insan merdeka, bab dari komunitas dan makhluk Sang Pencipa itulah yang ingin ditumbuhkan dalam pendidikan.


Kedua, fokus pada output dan bahkan outcome dan bukan sekedar proses.  
Pak Iwan menggunakan perumpamaan yang sering digunakan oleh Pak Jokowi, tidak sekedar sent tapi delivered.  Dalam konteks ini, jujur saya belum mengerti secara baik, alasannya yakni memang saya tidak sempat menanyakan lebih lanjut. Kalau menggunakan metaphor WA, sent itu ditandai oleh satu cawang (v) artinya terkirim, sedangkan delivered ditandai oleh dua cawang berwarna hitam (vv) artinya diterima.  Namun apabila pesan itu dibaca ditandai dua cawang berwarna biru (vv).  Saya menduga yang dimaksud sebenarnya dibaca dan bukan sekedar dikirim atau diterima.

Jika dikaitkan dengan process approach dalam teori pembelajaran yang secara konsep menyerupai dengan scientific approach yang digunakan dalam Kurikulum 2013, saya menduga yang dimaksud merdeka mencar ilmu bukan proses berpikir dalam process approach maupun K-13, tapi proses pembelajaran.  Artinya pembelajaran dihentikan berhenti pada apa yang dilakukan guru tapi mesti hingga apa yang diperoleh siswa.  Kaprikornus yang dimaksud bergeser dari proses ke hasil, sama dengan prinsip shifting paradigm from teaching to learning. Mengapa demikian?  Karena dalam teori pembelajaran “modern”, justru proses berpikir itulah yang lebih penting. Dan itulah yang ingin dikembangkan dalam pendidikan.  5 M yang dalam K-13, mengamati, mempertanyaan apa yang diamati, menalar mengapa itu terjadi, menjajal mereplikasi dan memodifikasi, dan mengkomikasikan apa yang dilakukan, sejalan dengan pemikiran tersebut.


Ketiga, begeser dari konten ke kompetensi dan karakter
Menurut Pak Iwan yang lebih penting bagi belum dewasa kita yakni menguasai kompetensi critical thinking, creativity, communication, collaboration, compassion, computational logic dan sebagainya, yang sungguh diharapkan di abad disrupsi.  Sedangkan konten itu nomor dua, alasannya yakni sanggup dipelajari sendiri. Untuk karakter, P Iwan tidak sempat menerangkan secara rincian atau saya yang tidak mampu menangkap klarifikasi beliau.


Jika dikaitkan dengan process approach, menurut saya antara konten dan kompetensi tidak sanggup dipisahkan secara total. Bukan mutually exclusive tapi memiliki interseksi. Mengapa?  Ada dua argumentasi. (1) di saat mencar ilmu critical thinking, creativity dan sebagainya, kita membutuhkan wahana dan wahana yang paling sempurna yakni kompetensi.  Misalnya anak SD mencar ilmu berpikir kritis sewaktu mencermati ayam dalam matapelajaran IPA.  Dengan begitu, anak sekaligus mencar ilmu menguasasi kompetensi sekaligus juga konten.  Kaprikornus yang diharapkan bagaimana mendesain pembelajaran topik (konten) tertentu, tapi yang ingin dituju tidak cuma penguasaan kontennya tapi juga kompetensi tertentu.  Kaprikornus menyerupai dengan hasrat agar belum dewasa mencar ilmu untuk meraih HOT (high order thinking) yang menurut Bloom, mulai dari mengerjakan analisis-sintesis, penilaian dan kreativitas.  Dugaan saya hasrat memindah dari konten ke kompetensi itu didorong dari fakta lapangan bahwa belum dewasa kita condong mencar ilmu di level LOT (low order thinking). Dan memang itu menjadi kegelisahan yang mesti secepatnya dicarikan solusinya.

Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar



(2) Ada konten yang sifatnya sekuen, sehingga tidak sanggup melompat.  Matematika ialah salah satu contoh. Anak tidak akan sanggup mencar ilmu perkalian sebelum menguasai konten penjumlahan.  Anak tidak akan sanggup mencar ilmu pembagian sebelum mengusasi pengurangan. Bahwa di saat mencar ilmu penjumlahan anak mesti berpikir kritis sungguh betul, tidak cuma hafal tapi paham mengapa begini dan begitu. 


Dalam menggandengkan konten dan kompetensi mungkin Kurikulum Hong Kong dalam dijadikan materi banding.  Matapelajaran (konten) disebut selaku learning areas, sedangkan konten dan huruf disebut selaku learning goals.  Misalnya, di saat anak Sekolah Menengah Pertama mencar ilmu IPA salah satu maksudnya yakni siswa sanggup menguasai dan mempergunakan wawasan ihwal magnet untuk memencahkan probelma kehidupan sehari-hari secara kreatif.


Ke-empat, sekolah selaku unit inovasi, bukan menyerupai birokrasi. Pak Iwan sempat memberi ilustrasi, jangan hingga statement Mendikbud ihwal RPP 1 lembar lantas mucul templet RPP 1 lembar dan wajib ditiru oleh semua guru.  Guru mesti menggunakan kemerdekaan dalam mengajar untuk mengerjakan penemuan pembelajaran, agar hasil mencar ilmu siswa maksimal.  Prinsip ini sejalan dengan temuan Abu Dohuo bahwa hasil mencar ilmu siswa itu fungsi dari penemuan gampang yang dilakukan guru dalam pembelajaran.


Ketika guru didorong mengerjakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ataupun lesson study maksudnya menyerupai dengan itu, yakni terus menerus mengerjakan continuous improvement dalam pembelajarannya.  PTK tidak perlu menjadi dokumen observasi yang justru menambah beban guru.  Yang lebih penting guru mengerjakan refleksi, “hari ini pembelajaran yang saya laksanakan menyerupai ini, apa yang kurang baik untuk diperbaiki besuk dan seterusnya”.  Bahwa di saat mengerjakan refleksi mesti didasari berpikir analisis-sintesis dan di saat mendesain perbaikan didalam kreativitas itu suatu kewajaran.  Bukankah guru juga mesti mengerjakan HOT sebagaimana yang diajarkan terhadap siswa.


Hasil-hasil penemuan pembelajaran menyerupai itu akan sungguh bagus dijadikan materi membuatkan pengalaman dalam lembaga KKG dan MGMP.  Yang disebut hasil, tidak mesti berupa keberhasilan tapi juga kegagalan dan persoalan di saat mengerjakan suatu inovasi.  Dengan demikian KKG dan MGMP menjadi wilayah saling mencar ilmu bagi para guru.  Kalau menggunakan konsep problem driven iterative adaptation (PDIA), maka KKG/MGMP akan menjadi wilayah membuatkan aneka macam pengalaman memecahkan urusan menurut keadaan real di lapangan.



Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar
Kelima, Dinas Pendidikan dan Kemdikbud selaku unit enabler.  
Bagaimana Dinas Pendidikan dan Kemdikbud tidak bertindak selaku pihak yang memerintah dan mengontrol, tapi justu menolong dan memfasilitasi sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Mungkin menyerupai dengan konsep total quality management (TQM) in education yang diajukan oleh Sallis.  Konsep ini juga yang digunakan dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).   Pada konsep ini, kiprah guru yakni menolong dan menfalitiasi siswa agar sanggup mencar ilmu dengan optimal.  Tugas kepala sekolah yakni menolong dan memfasilitasi guru agar mampu melakukan pekerjaan dengan baik.  Tugas Dinas Pendidikan dan Kemdikbud yakni menolong sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Kaprikornus bergeser dari to govern menjadi to empower and to enable.Jika pengertian saya benar, merdeka  mencar ilmu ialah wahana mengarusutamakan konsep yang selama ini dikehendaki tapi belum berlangsung dengan baik di lapangan. Bukankah berdaya dan mempekerjakan itu memang hakekat dasar pendidikan.  Bukankah kita sedang mengupayakan bergeser dari teaching ke learning yang memprioritaskan hasil mencar ilmu dan bukan cuma proses pembelajaran.  Bukankah kita sedang mendorong hasil mencar ilmu siswa mesti hingga HOT.  Bukankah lewat PTK kita ingin mendorong para guru terus menerus mengerjakan inovasi, sehingga sekolah ialah unit penemuan dan bukan lembaga birokrasi.  Bukankah dalam konsep MBS, pendidikan ialah suatu layanan. Tugas kepala sekolah yakni menolong guru sanggup melakukan pekerjaan dengan baik dan kiprah Dinas Pendidikan serta Kemdikbud yakni menolong sekolah agar bisa melaksanakan.

Sumber: https://muchlassamani.school.blog/2023/01/13/merdeka-belajar-2/  

Semoga bermanfaat

Bacaan Lainnya
Aplikasi Penilaian Kinerja Kepala Madrasah PKKM
 Aplikasi ini menurut Juknis Dirjen Pendais Nomor 1111 Tahun 2023 ihwal Penilaian Kinerja Kepala Madrasah. Aplikasi berformat *.exe dilaksanakan secara ofline, didesain dengan Ms Excel 2010. Aplikasi didesain untuk mempermudah Pengawas Madrasah mengerjakan Penilaian  Kinerja Kepala Madrasah sesuai juknis sehingga sanggup mengenali nilai capaian/predikat dengan cepat/tepat, menyediakan saran hal/aspek apa yang mesti diperbaiki oleh Kepala Madrasah.
Output Aplikasi:
1. Hasil PKKM Tahun 1, 2, 3 dan ke-4
2. Rekomendasi PKKM Tahun1, 2 dan ke-3
3. Rekap PKKM Tahun 1, 2 dan ke-3
4. Hasil penilaian per tahun, Tahun 1, 2 dan ke-3 unduh)

9. Aplikasi Nilai Mapel Ilmu Pengetahuan Alam (
Pemikiran ini sejalan dengan prinsip dasar pendidikan yang pada dasarnya ingin menolong anak menjadi merdeka, bisa berdikari dan tidak tergantung orang lain.  Tentu tetap mesti dikenang bahwa berdikari dan merdeka itu tetap dalam koridor bahwa insan itu bab dari komunitas dimana dia berada.  Juga selaku makhluk Sang Pencipta (Al Khaliq), sehingga mesti mengikuti koridor keyakinannya yang bersumber dari Sang Pencipta.  Keharmonisan penerapan antara insan merdeka, bab dari komunitas dan makhluk Sang Pencipa itulah yang ingin ditumbuhkan dalam pendidikan.


Kedua, fokus pada output dan bahkan outcome dan bukan sekedar proses.  
Pak Iwan menggunakan perumpamaan yang sering digunakan oleh Pak Jokowi, tidak sekedar sent tapi delivered.  Dalam konteks ini, jujur saya belum mengerti secara baik, alasannya yakni memang saya tidak sempat menanyakan lebih lanjut. Kalau menggunakan metaphor WA, sent itu ditandai oleh satu cawang (v) artinya terkirim, sedangkan delivered ditandai oleh dua cawang berwarna hitam (vv) artinya diterima.  Namun apabila pesan itu dibaca ditandai dua cawang berwarna biru (vv).  Saya menduga yang dimaksud sebenarnya dibaca dan bukan sekedar dikirim atau diterima.

Jika dikaitkan dengan process approach dalam teori pembelajaran yang secara konsep menyerupai dengan scientific approach yang digunakan dalam Kurikulum 2013, saya menduga yang dimaksud merdeka mencar ilmu bukan proses berpikir dalam process approach maupun K-13, tapi proses pembelajaran.  Artinya pembelajaran dihentikan berhenti pada apa yang dilakukan guru tapi mesti hingga apa yang diperoleh siswa.  Kaprikornus yang dimaksud bergeser dari proses ke hasil, sama dengan prinsip shifting paradigm from teaching to learning. Mengapa demikian?  Karena dalam teori pembelajaran “modern”, justru proses berpikir itulah yang lebih penting. Dan itulah yang ingin dikembangkan dalam pendidikan.  5 M yang dalam K-13, mengamati, mempertanyaan apa yang diamati, menalar mengapa itu terjadi, menjajal mereplikasi dan memodifikasi, dan mengkomikasikan apa yang dilakukan, sejalan dengan pemikiran tersebut.


Ketiga, begeser dari konten ke kompetensi dan karakter
Menurut Pak Iwan yang lebih penting bagi belum dewasa kita yakni menguasai kompetensi critical thinking, creativity, communication, collaboration, compassion, computational logic dan sebagainya, yang sungguh diharapkan di abad disrupsi.  Sedangkan konten itu nomor dua, alasannya yakni sanggup dipelajari sendiri. Untuk karakter, P Iwan tidak sempat menerangkan secara rincian atau saya yang tidak mampu menangkap klarifikasi beliau.


Jika dikaitkan dengan process approach, menurut saya antara konten dan kompetensi tidak sanggup dipisahkan secara total. Bukan mutually exclusive tapi memiliki interseksi. Mengapa?  Ada dua argumentasi. (1) di saat mencar ilmu critical thinking, creativity dan sebagainya, kita membutuhkan wahana dan wahana yang paling sempurna yakni kompetensi.  Misalnya anak SD mencar ilmu berpikir kritis sewaktu mencermati ayam dalam matapelajaran IPA.  Dengan begitu, anak sekaligus mencar ilmu menguasasi kompetensi sekaligus juga konten.  Kaprikornus yang diharapkan bagaimana mendesain pembelajaran topik (konten) tertentu, tapi yang ingin dituju tidak cuma penguasaan kontennya tapi juga kompetensi tertentu.  Kaprikornus menyerupai dengan hasrat agar belum dewasa mencar ilmu untuk meraih HOT (high order thinking) yang menurut Bloom, mulai dari mengerjakan analisis-sintesis, penilaian dan kreativitas.  Dugaan saya hasrat memindah dari konten ke kompetensi itu didorong dari fakta lapangan bahwa belum dewasa kita condong mencar ilmu di level LOT (low order thinking). Dan memang itu menjadi kegelisahan yang mesti secepatnya dicarikan solusinya.

Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar



(2) Ada konten yang sifatnya sekuen, sehingga tidak sanggup melompat.  Matematika ialah salah satu contoh. Anak tidak akan sanggup mencar ilmu perkalian sebelum menguasai konten penjumlahan.  Anak tidak akan sanggup mencar ilmu pembagian sebelum mengusasi pengurangan. Bahwa di saat mencar ilmu penjumlahan anak mesti berpikir kritis sungguh betul, tidak cuma hafal tapi paham mengapa begini dan begitu. 


Dalam menggandengkan konten dan kompetensi mungkin Kurikulum Hong Kong dalam dijadikan materi banding.  Matapelajaran (konten) disebut selaku learning areas, sedangkan konten dan huruf disebut selaku learning goals.  Misalnya, di saat anak Sekolah Menengah Pertama mencar ilmu IPA salah satu maksudnya yakni siswa sanggup menguasai dan mempergunakan wawasan ihwal magnet untuk memencahkan probelma kehidupan sehari-hari secara kreatif.


Ke-empat, sekolah selaku unit inovasi, bukan menyerupai birokrasi. Pak Iwan sempat memberi ilustrasi, jangan hingga statement Mendikbud ihwal RPP 1 lembar lantas mucul templet RPP 1 lembar dan wajib ditiru oleh semua guru.  Guru mesti menggunakan kemerdekaan dalam mengajar untuk mengerjakan penemuan pembelajaran, agar hasil mencar ilmu siswa maksimal.  Prinsip ini sejalan dengan temuan Abu Dohuo bahwa hasil mencar ilmu siswa itu fungsi dari penemuan gampang yang dilakukan guru dalam pembelajaran.


Ketika guru didorong mengerjakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ataupun lesson study maksudnya menyerupai dengan itu, yakni terus menerus mengerjakan continuous improvement dalam pembelajarannya.  PTK tidak perlu menjadi dokumen observasi yang justru menambah beban guru.  Yang lebih penting guru mengerjakan refleksi, “hari ini pembelajaran yang saya laksanakan menyerupai ini, apa yang kurang baik untuk diperbaiki besuk dan seterusnya”.  Bahwa di saat mengerjakan refleksi mesti didasari berpikir analisis-sintesis dan di saat mendesain perbaikan didalam kreativitas itu suatu kewajaran.  Bukankah guru juga mesti mengerjakan HOT sebagaimana yang diajarkan terhadap siswa.


Hasil-hasil penemuan pembelajaran menyerupai itu akan sungguh bagus dijadikan materi membuatkan pengalaman dalam lembaga KKG dan MGMP.  Yang disebut hasil, tidak mesti berupa keberhasilan tapi juga kegagalan dan persoalan di saat mengerjakan suatu inovasi.  Dengan demikian KKG dan MGMP menjadi wilayah saling mencar ilmu bagi para guru.  Kalau menggunakan konsep problem driven iterative adaptation (PDIA), maka KKG/MGMP akan menjadi wilayah membuatkan aneka macam pengalaman memecahkan urusan menurut keadaan real di lapangan.



Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar
Kelima, Dinas Pendidikan dan Kemdikbud selaku unit enabler.  
Bagaimana Dinas Pendidikan dan Kemdikbud tidak bertindak selaku pihak yang memerintah dan mengontrol, tapi justu menolong dan memfasilitasi sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Mungkin menyerupai dengan konsep total quality management (TQM) in education yang diajukan oleh Sallis.  Konsep ini juga yang digunakan dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).   Pada konsep ini, kiprah guru yakni menolong dan menfalitiasi siswa agar sanggup mencar ilmu dengan optimal.  Tugas kepala sekolah yakni menolong dan memfasilitasi guru agar mampu melakukan pekerjaan dengan baik.  Tugas Dinas Pendidikan dan Kemdikbud yakni menolong sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Kaprikornus bergeser dari to govern menjadi to empower and to enable.Jika pengertian saya benar, merdeka  mencar ilmu ialah wahana mengarusutamakan konsep yang selama ini dikehendaki tapi belum berlangsung dengan baik di lapangan. Bukankah berdaya dan mempekerjakan itu memang hakekat dasar pendidikan.  Bukankah kita sedang mengupayakan bergeser dari teaching ke learning yang memprioritaskan hasil mencar ilmu dan bukan cuma proses pembelajaran.  Bukankah kita sedang mendorong hasil mencar ilmu siswa mesti hingga HOT.  Bukankah lewat PTK kita ingin mendorong para guru terus menerus mengerjakan inovasi, sehingga sekolah ialah unit penemuan dan bukan lembaga birokrasi.  Bukankah dalam konsep MBS, pendidikan ialah suatu layanan. Tugas kepala sekolah yakni menolong guru sanggup melakukan pekerjaan dengan baik dan kiprah Dinas Pendidikan serta Kemdikbud yakni menolong sekolah agar bisa melaksanakan.

Sumber: https://muchlassamani.school.blog/2023/01/13/merdeka-belajar-2/  

Semoga bermanfaat

Bacaan Lainnya
Aplikasi Penilaian Kinerja Kepala Madrasah PKKM
 Aplikasi ini menurut Juknis Dirjen Pendais Nomor 1111 Tahun 2023 ihwal Penilaian Kinerja Kepala Madrasah. Aplikasi berformat *.exe dilaksanakan secara ofline, didesain dengan Ms Excel 2010. Aplikasi didesain untuk mempermudah Pengawas Madrasah mengerjakan Penilaian  Kinerja Kepala Madrasah sesuai juknis sehingga sanggup mengenali nilai capaian/predikat dengan cepat/tepat, menyediakan saran hal/aspek apa yang mesti diperbaiki oleh Kepala Madrasah.
Output Aplikasi:
1. Hasil PKKM Tahun 1, 2, 3 dan ke-4
2. Rekomendasi PKKM Tahun1, 2 dan ke-3
3. Rekap PKKM Tahun 1, 2 dan ke-3
4. Hasil penilaian per tahun, Tahun 1, 2 dan ke-3 unduh)

10. Aplikasi Nilai Mapel Ilmu Pengetahuan Sosial (
Pemikiran ini sejalan dengan prinsip dasar pendidikan yang pada dasarnya ingin menolong anak menjadi merdeka, bisa berdikari dan tidak tergantung orang lain.  Tentu tetap mesti dikenang bahwa berdikari dan merdeka itu tetap dalam koridor bahwa insan itu bab dari komunitas dimana dia berada.  Juga selaku makhluk Sang Pencipta (Al Khaliq), sehingga mesti mengikuti koridor keyakinannya yang bersumber dari Sang Pencipta.  Keharmonisan penerapan antara insan merdeka, bab dari komunitas dan makhluk Sang Pencipa itulah yang ingin ditumbuhkan dalam pendidikan.


Kedua, fokus pada output dan bahkan outcome dan bukan sekedar proses.  
Pak Iwan menggunakan perumpamaan yang sering digunakan oleh Pak Jokowi, tidak sekedar sent tapi delivered.  Dalam konteks ini, jujur saya belum mengerti secara baik, alasannya yakni memang saya tidak sempat menanyakan lebih lanjut. Kalau menggunakan metaphor WA, sent itu ditandai oleh satu cawang (v) artinya terkirim, sedangkan delivered ditandai oleh dua cawang berwarna hitam (vv) artinya diterima.  Namun apabila pesan itu dibaca ditandai dua cawang berwarna biru (vv).  Saya menduga yang dimaksud sebenarnya dibaca dan bukan sekedar dikirim atau diterima.

Jika dikaitkan dengan process approach dalam teori pembelajaran yang secara konsep menyerupai dengan scientific approach yang digunakan dalam Kurikulum 2013, saya menduga yang dimaksud merdeka mencar ilmu bukan proses berpikir dalam process approach maupun K-13, tapi proses pembelajaran.  Artinya pembelajaran dihentikan berhenti pada apa yang dilakukan guru tapi mesti hingga apa yang diperoleh siswa.  Kaprikornus yang dimaksud bergeser dari proses ke hasil, sama dengan prinsip shifting paradigm from teaching to learning. Mengapa demikian?  Karena dalam teori pembelajaran “modern”, justru proses berpikir itulah yang lebih penting. Dan itulah yang ingin dikembangkan dalam pendidikan.  5 M yang dalam K-13, mengamati, mempertanyaan apa yang diamati, menalar mengapa itu terjadi, menjajal mereplikasi dan memodifikasi, dan mengkomikasikan apa yang dilakukan, sejalan dengan pemikiran tersebut.


Ketiga, begeser dari konten ke kompetensi dan karakter
Menurut Pak Iwan yang lebih penting bagi belum dewasa kita yakni menguasai kompetensi critical thinking, creativity, communication, collaboration, compassion, computational logic dan sebagainya, yang sungguh diharapkan di abad disrupsi.  Sedangkan konten itu nomor dua, alasannya yakni sanggup dipelajari sendiri. Untuk karakter, P Iwan tidak sempat menerangkan secara rincian atau saya yang tidak mampu menangkap klarifikasi beliau.


Jika dikaitkan dengan process approach, menurut saya antara konten dan kompetensi tidak sanggup dipisahkan secara total. Bukan mutually exclusive tapi memiliki interseksi. Mengapa?  Ada dua argumentasi. (1) di saat mencar ilmu critical thinking, creativity dan sebagainya, kita membutuhkan wahana dan wahana yang paling sempurna yakni kompetensi.  Misalnya anak SD mencar ilmu berpikir kritis sewaktu mencermati ayam dalam matapelajaran IPA.  Dengan begitu, anak sekaligus mencar ilmu menguasasi kompetensi sekaligus juga konten.  Kaprikornus yang diharapkan bagaimana mendesain pembelajaran topik (konten) tertentu, tapi yang ingin dituju tidak cuma penguasaan kontennya tapi juga kompetensi tertentu.  Kaprikornus menyerupai dengan hasrat agar belum dewasa mencar ilmu untuk meraih HOT (high order thinking) yang menurut Bloom, mulai dari mengerjakan analisis-sintesis, penilaian dan kreativitas.  Dugaan saya hasrat memindah dari konten ke kompetensi itu didorong dari fakta lapangan bahwa belum dewasa kita condong mencar ilmu di level LOT (low order thinking). Dan memang itu menjadi kegelisahan yang mesti secepatnya dicarikan solusinya.

Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar



(2) Ada konten yang sifatnya sekuen, sehingga tidak sanggup melompat.  Matematika ialah salah satu contoh. Anak tidak akan sanggup mencar ilmu perkalian sebelum menguasai konten penjumlahan.  Anak tidak akan sanggup mencar ilmu pembagian sebelum mengusasi pengurangan. Bahwa di saat mencar ilmu penjumlahan anak mesti berpikir kritis sungguh betul, tidak cuma hafal tapi paham mengapa begini dan begitu. 


Dalam menggandengkan konten dan kompetensi mungkin Kurikulum Hong Kong dalam dijadikan materi banding.  Matapelajaran (konten) disebut selaku learning areas, sedangkan konten dan huruf disebut selaku learning goals.  Misalnya, di saat anak Sekolah Menengah Pertama mencar ilmu IPA salah satu maksudnya yakni siswa sanggup menguasai dan mempergunakan wawasan ihwal magnet untuk memencahkan probelma kehidupan sehari-hari secara kreatif.


Ke-empat, sekolah selaku unit inovasi, bukan menyerupai birokrasi. Pak Iwan sempat memberi ilustrasi, jangan hingga statement Mendikbud ihwal RPP 1 lembar lantas mucul templet RPP 1 lembar dan wajib ditiru oleh semua guru.  Guru mesti menggunakan kemerdekaan dalam mengajar untuk mengerjakan penemuan pembelajaran, agar hasil mencar ilmu siswa maksimal.  Prinsip ini sejalan dengan temuan Abu Dohuo bahwa hasil mencar ilmu siswa itu fungsi dari penemuan gampang yang dilakukan guru dalam pembelajaran.


Ketika guru didorong mengerjakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ataupun lesson study maksudnya menyerupai dengan itu, yakni terus menerus mengerjakan continuous improvement dalam pembelajarannya.  PTK tidak perlu menjadi dokumen observasi yang justru menambah beban guru.  Yang lebih penting guru mengerjakan refleksi, “hari ini pembelajaran yang saya laksanakan menyerupai ini, apa yang kurang baik untuk diperbaiki besuk dan seterusnya”.  Bahwa di saat mengerjakan refleksi mesti didasari berpikir analisis-sintesis dan di saat mendesain perbaikan didalam kreativitas itu suatu kewajaran.  Bukankah guru juga mesti mengerjakan HOT sebagaimana yang diajarkan terhadap siswa.


Hasil-hasil penemuan pembelajaran menyerupai itu akan sungguh bagus dijadikan materi membuatkan pengalaman dalam lembaga KKG dan MGMP.  Yang disebut hasil, tidak mesti berupa keberhasilan tapi juga kegagalan dan persoalan di saat mengerjakan suatu inovasi.  Dengan demikian KKG dan MGMP menjadi wilayah saling mencar ilmu bagi para guru.  Kalau menggunakan konsep problem driven iterative adaptation (PDIA), maka KKG/MGMP akan menjadi wilayah membuatkan aneka macam pengalaman memecahkan urusan menurut keadaan real di lapangan.



Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar
Kelima, Dinas Pendidikan dan Kemdikbud selaku unit enabler.  
Bagaimana Dinas Pendidikan dan Kemdikbud tidak bertindak selaku pihak yang memerintah dan mengontrol, tapi justu menolong dan memfasilitasi sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Mungkin menyerupai dengan konsep total quality management (TQM) in education yang diajukan oleh Sallis.  Konsep ini juga yang digunakan dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).   Pada konsep ini, kiprah guru yakni menolong dan menfalitiasi siswa agar sanggup mencar ilmu dengan optimal.  Tugas kepala sekolah yakni menolong dan memfasilitasi guru agar mampu melakukan pekerjaan dengan baik.  Tugas Dinas Pendidikan dan Kemdikbud yakni menolong sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Kaprikornus bergeser dari to govern menjadi to empower and to enable.Jika pengertian saya benar, merdeka  mencar ilmu ialah wahana mengarusutamakan konsep yang selama ini dikehendaki tapi belum berlangsung dengan baik di lapangan. Bukankah berdaya dan mempekerjakan itu memang hakekat dasar pendidikan.  Bukankah kita sedang mengupayakan bergeser dari teaching ke learning yang memprioritaskan hasil mencar ilmu dan bukan cuma proses pembelajaran.  Bukankah kita sedang mendorong hasil mencar ilmu siswa mesti hingga HOT.  Bukankah lewat PTK kita ingin mendorong para guru terus menerus mengerjakan inovasi, sehingga sekolah ialah unit penemuan dan bukan lembaga birokrasi.  Bukankah dalam konsep MBS, pendidikan ialah suatu layanan. Tugas kepala sekolah yakni menolong guru sanggup melakukan pekerjaan dengan baik dan kiprah Dinas Pendidikan serta Kemdikbud yakni menolong sekolah agar bisa melaksanakan.

Sumber: https://muchlassamani.school.blog/2023/01/13/merdeka-belajar-2/  

Semoga bermanfaat

Bacaan Lainnya
Aplikasi Penilaian Kinerja Kepala Madrasah PKKM
 Aplikasi ini menurut Juknis Dirjen Pendais Nomor 1111 Tahun 2023 ihwal Penilaian Kinerja Kepala Madrasah. Aplikasi berformat *.exe dilaksanakan secara ofline, didesain dengan Ms Excel 2010. Aplikasi didesain untuk mempermudah Pengawas Madrasah mengerjakan Penilaian  Kinerja Kepala Madrasah sesuai juknis sehingga sanggup mengenali nilai capaian/predikat dengan cepat/tepat, menyediakan saran hal/aspek apa yang mesti diperbaiki oleh Kepala Madrasah.
Output Aplikasi:
1. Hasil PKKM Tahun 1, 2, 3 dan ke-4
2. Rekomendasi PKKM Tahun1, 2 dan ke-3
3. Rekap PKKM Tahun 1, 2 dan ke-3
4. Hasil penilaian per tahun, Tahun 1, 2 dan ke-3 unduh)

11. Aplikasi Nilai Mapel Bahasa Inggris (
Pemikiran ini sejalan dengan prinsip dasar pendidikan yang pada dasarnya ingin menolong anak menjadi merdeka, bisa berdikari dan tidak tergantung orang lain.  Tentu tetap mesti dikenang bahwa berdikari dan merdeka itu tetap dalam koridor bahwa insan itu bab dari komunitas dimana dia berada.  Juga selaku makhluk Sang Pencipta (Al Khaliq), sehingga mesti mengikuti koridor keyakinannya yang bersumber dari Sang Pencipta.  Keharmonisan penerapan antara insan merdeka, bab dari komunitas dan makhluk Sang Pencipa itulah yang ingin ditumbuhkan dalam pendidikan.


Kedua, fokus pada output dan bahkan outcome dan bukan sekedar proses.  
Pak Iwan menggunakan perumpamaan yang sering digunakan oleh Pak Jokowi, tidak sekedar sent tapi delivered.  Dalam konteks ini, jujur saya belum mengerti secara baik, alasannya yakni memang saya tidak sempat menanyakan lebih lanjut. Kalau menggunakan metaphor WA, sent itu ditandai oleh satu cawang (v) artinya terkirim, sedangkan delivered ditandai oleh dua cawang berwarna hitam (vv) artinya diterima.  Namun apabila pesan itu dibaca ditandai dua cawang berwarna biru (vv).  Saya menduga yang dimaksud sebenarnya dibaca dan bukan sekedar dikirim atau diterima.

Jika dikaitkan dengan process approach dalam teori pembelajaran yang secara konsep menyerupai dengan scientific approach yang digunakan dalam Kurikulum 2013, saya menduga yang dimaksud merdeka mencar ilmu bukan proses berpikir dalam process approach maupun K-13, tapi proses pembelajaran.  Artinya pembelajaran dihentikan berhenti pada apa yang dilakukan guru tapi mesti hingga apa yang diperoleh siswa.  Kaprikornus yang dimaksud bergeser dari proses ke hasil, sama dengan prinsip shifting paradigm from teaching to learning. Mengapa demikian?  Karena dalam teori pembelajaran “modern”, justru proses berpikir itulah yang lebih penting. Dan itulah yang ingin dikembangkan dalam pendidikan.  5 M yang dalam K-13, mengamati, mempertanyaan apa yang diamati, menalar mengapa itu terjadi, menjajal mereplikasi dan memodifikasi, dan mengkomikasikan apa yang dilakukan, sejalan dengan pemikiran tersebut.


Ketiga, begeser dari konten ke kompetensi dan karakter
Menurut Pak Iwan yang lebih penting bagi belum dewasa kita yakni menguasai kompetensi critical thinking, creativity, communication, collaboration, compassion, computational logic dan sebagainya, yang sungguh diharapkan di abad disrupsi.  Sedangkan konten itu nomor dua, alasannya yakni sanggup dipelajari sendiri. Untuk karakter, P Iwan tidak sempat menerangkan secara rincian atau saya yang tidak mampu menangkap klarifikasi beliau.


Jika dikaitkan dengan process approach, menurut saya antara konten dan kompetensi tidak sanggup dipisahkan secara total. Bukan mutually exclusive tapi memiliki interseksi. Mengapa?  Ada dua argumentasi. (1) di saat mencar ilmu critical thinking, creativity dan sebagainya, kita membutuhkan wahana dan wahana yang paling sempurna yakni kompetensi.  Misalnya anak SD mencar ilmu berpikir kritis sewaktu mencermati ayam dalam matapelajaran IPA.  Dengan begitu, anak sekaligus mencar ilmu menguasasi kompetensi sekaligus juga konten.  Kaprikornus yang diharapkan bagaimana mendesain pembelajaran topik (konten) tertentu, tapi yang ingin dituju tidak cuma penguasaan kontennya tapi juga kompetensi tertentu.  Kaprikornus menyerupai dengan hasrat agar belum dewasa mencar ilmu untuk meraih HOT (high order thinking) yang menurut Bloom, mulai dari mengerjakan analisis-sintesis, penilaian dan kreativitas.  Dugaan saya hasrat memindah dari konten ke kompetensi itu didorong dari fakta lapangan bahwa belum dewasa kita condong mencar ilmu di level LOT (low order thinking). Dan memang itu menjadi kegelisahan yang mesti secepatnya dicarikan solusinya.

Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar



(2) Ada konten yang sifatnya sekuen, sehingga tidak sanggup melompat.  Matematika ialah salah satu contoh. Anak tidak akan sanggup mencar ilmu perkalian sebelum menguasai konten penjumlahan.  Anak tidak akan sanggup mencar ilmu pembagian sebelum mengusasi pengurangan. Bahwa di saat mencar ilmu penjumlahan anak mesti berpikir kritis sungguh betul, tidak cuma hafal tapi paham mengapa begini dan begitu. 


Dalam menggandengkan konten dan kompetensi mungkin Kurikulum Hong Kong dalam dijadikan materi banding.  Matapelajaran (konten) disebut selaku learning areas, sedangkan konten dan huruf disebut selaku learning goals.  Misalnya, di saat anak Sekolah Menengah Pertama mencar ilmu IPA salah satu maksudnya yakni siswa sanggup menguasai dan mempergunakan wawasan ihwal magnet untuk memencahkan probelma kehidupan sehari-hari secara kreatif.


Ke-empat, sekolah selaku unit inovasi, bukan menyerupai birokrasi. Pak Iwan sempat memberi ilustrasi, jangan hingga statement Mendikbud ihwal RPP 1 lembar lantas mucul templet RPP 1 lembar dan wajib ditiru oleh semua guru.  Guru mesti menggunakan kemerdekaan dalam mengajar untuk mengerjakan penemuan pembelajaran, agar hasil mencar ilmu siswa maksimal.  Prinsip ini sejalan dengan temuan Abu Dohuo bahwa hasil mencar ilmu siswa itu fungsi dari penemuan gampang yang dilakukan guru dalam pembelajaran.


Ketika guru didorong mengerjakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ataupun lesson study maksudnya menyerupai dengan itu, yakni terus menerus mengerjakan continuous improvement dalam pembelajarannya.  PTK tidak perlu menjadi dokumen observasi yang justru menambah beban guru.  Yang lebih penting guru mengerjakan refleksi, “hari ini pembelajaran yang saya laksanakan menyerupai ini, apa yang kurang baik untuk diperbaiki besuk dan seterusnya”.  Bahwa di saat mengerjakan refleksi mesti didasari berpikir analisis-sintesis dan di saat mendesain perbaikan didalam kreativitas itu suatu kewajaran.  Bukankah guru juga mesti mengerjakan HOT sebagaimana yang diajarkan terhadap siswa.


Hasil-hasil penemuan pembelajaran menyerupai itu akan sungguh bagus dijadikan materi membuatkan pengalaman dalam lembaga KKG dan MGMP.  Yang disebut hasil, tidak mesti berupa keberhasilan tapi juga kegagalan dan persoalan di saat mengerjakan suatu inovasi.  Dengan demikian KKG dan MGMP menjadi wilayah saling mencar ilmu bagi para guru.  Kalau menggunakan konsep problem driven iterative adaptation (PDIA), maka KKG/MGMP akan menjadi wilayah membuatkan aneka macam pengalaman memecahkan urusan menurut keadaan real di lapangan.



Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar
Kelima, Dinas Pendidikan dan Kemdikbud selaku unit enabler.  
Bagaimana Dinas Pendidikan dan Kemdikbud tidak bertindak selaku pihak yang memerintah dan mengontrol, tapi justu menolong dan memfasilitasi sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Mungkin menyerupai dengan konsep total quality management (TQM) in education yang diajukan oleh Sallis.  Konsep ini juga yang digunakan dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).   Pada konsep ini, kiprah guru yakni menolong dan menfalitiasi siswa agar sanggup mencar ilmu dengan optimal.  Tugas kepala sekolah yakni menolong dan memfasilitasi guru agar mampu melakukan pekerjaan dengan baik.  Tugas Dinas Pendidikan dan Kemdikbud yakni menolong sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Kaprikornus bergeser dari to govern menjadi to empower and to enable.Jika pengertian saya benar, merdeka  mencar ilmu ialah wahana mengarusutamakan konsep yang selama ini dikehendaki tapi belum berlangsung dengan baik di lapangan. Bukankah berdaya dan mempekerjakan itu memang hakekat dasar pendidikan.  Bukankah kita sedang mengupayakan bergeser dari teaching ke learning yang memprioritaskan hasil mencar ilmu dan bukan cuma proses pembelajaran.  Bukankah kita sedang mendorong hasil mencar ilmu siswa mesti hingga HOT.  Bukankah lewat PTK kita ingin mendorong para guru terus menerus mengerjakan inovasi, sehingga sekolah ialah unit penemuan dan bukan lembaga birokrasi.  Bukankah dalam konsep MBS, pendidikan ialah suatu layanan. Tugas kepala sekolah yakni menolong guru sanggup melakukan pekerjaan dengan baik dan kiprah Dinas Pendidikan serta Kemdikbud yakni menolong sekolah agar bisa melaksanakan.

Sumber: https://muchlassamani.school.blog/2023/01/13/merdeka-belajar-2/  

Semoga bermanfaat

Bacaan Lainnya
Aplikasi Penilaian Kinerja Kepala Madrasah PKKM
 Aplikasi ini menurut Juknis Dirjen Pendais Nomor 1111 Tahun 2023 ihwal Penilaian Kinerja Kepala Madrasah. Aplikasi berformat *.exe dilaksanakan secara ofline, didesain dengan Ms Excel 2010. Aplikasi didesain untuk mempermudah Pengawas Madrasah mengerjakan Penilaian  Kinerja Kepala Madrasah sesuai juknis sehingga sanggup mengenali nilai capaian/predikat dengan cepat/tepat, menyediakan saran hal/aspek apa yang mesti diperbaiki oleh Kepala Madrasah.
Output Aplikasi:
1. Hasil PKKM Tahun 1, 2, 3 dan ke-4
2. Rekomendasi PKKM Tahun1, 2 dan ke-3
3. Rekap PKKM Tahun 1, 2 dan ke-3
4. Hasil penilaian per tahun, Tahun 1, 2 dan ke-3 unduh)
 

12. Aplikasi Nilai Mapel Pend. Jasmani Olah Raga (
Pemikiran ini sejalan dengan prinsip dasar pendidikan yang pada dasarnya ingin menolong anak menjadi merdeka, bisa berdikari dan tidak tergantung orang lain.  Tentu tetap mesti dikenang bahwa berdikari dan merdeka itu tetap dalam koridor bahwa insan itu bab dari komunitas dimana dia berada.  Juga selaku makhluk Sang Pencipta (Al Khaliq), sehingga mesti mengikuti koridor keyakinannya yang bersumber dari Sang Pencipta.  Keharmonisan penerapan antara insan merdeka, bab dari komunitas dan makhluk Sang Pencipa itulah yang ingin ditumbuhkan dalam pendidikan.


Kedua, fokus pada output dan bahkan outcome dan bukan sekedar proses.  
Pak Iwan menggunakan perumpamaan yang sering digunakan oleh Pak Jokowi, tidak sekedar sent tapi delivered.  Dalam konteks ini, jujur saya belum mengerti secara baik, alasannya yakni memang saya tidak sempat menanyakan lebih lanjut. Kalau menggunakan metaphor WA, sent itu ditandai oleh satu cawang (v) artinya terkirim, sedangkan delivered ditandai oleh dua cawang berwarna hitam (vv) artinya diterima.  Namun apabila pesan itu dibaca ditandai dua cawang berwarna biru (vv).  Saya menduga yang dimaksud sebenarnya dibaca dan bukan sekedar dikirim atau diterima.

Jika dikaitkan dengan process approach dalam teori pembelajaran yang secara konsep menyerupai dengan scientific approach yang digunakan dalam Kurikulum 2013, saya menduga yang dimaksud merdeka mencar ilmu bukan proses berpikir dalam process approach maupun K-13, tapi proses pembelajaran.  Artinya pembelajaran dihentikan berhenti pada apa yang dilakukan guru tapi mesti hingga apa yang diperoleh siswa.  Kaprikornus yang dimaksud bergeser dari proses ke hasil, sama dengan prinsip shifting paradigm from teaching to learning. Mengapa demikian?  Karena dalam teori pembelajaran “modern”, justru proses berpikir itulah yang lebih penting. Dan itulah yang ingin dikembangkan dalam pendidikan.  5 M yang dalam K-13, mengamati, mempertanyaan apa yang diamati, menalar mengapa itu terjadi, menjajal mereplikasi dan memodifikasi, dan mengkomikasikan apa yang dilakukan, sejalan dengan pemikiran tersebut.


Ketiga, begeser dari konten ke kompetensi dan karakter
Menurut Pak Iwan yang lebih penting bagi belum dewasa kita yakni menguasai kompetensi critical thinking, creativity, communication, collaboration, compassion, computational logic dan sebagainya, yang sungguh diharapkan di abad disrupsi.  Sedangkan konten itu nomor dua, alasannya yakni sanggup dipelajari sendiri. Untuk karakter, P Iwan tidak sempat menerangkan secara rincian atau saya yang tidak mampu menangkap klarifikasi beliau.


Jika dikaitkan dengan process approach, menurut saya antara konten dan kompetensi tidak sanggup dipisahkan secara total. Bukan mutually exclusive tapi memiliki interseksi. Mengapa?  Ada dua argumentasi. (1) di saat mencar ilmu critical thinking, creativity dan sebagainya, kita membutuhkan wahana dan wahana yang paling sempurna yakni kompetensi.  Misalnya anak SD mencar ilmu berpikir kritis sewaktu mencermati ayam dalam matapelajaran IPA.  Dengan begitu, anak sekaligus mencar ilmu menguasasi kompetensi sekaligus juga konten.  Kaprikornus yang diharapkan bagaimana mendesain pembelajaran topik (konten) tertentu, tapi yang ingin dituju tidak cuma penguasaan kontennya tapi juga kompetensi tertentu.  Kaprikornus menyerupai dengan hasrat agar belum dewasa mencar ilmu untuk meraih HOT (high order thinking) yang menurut Bloom, mulai dari mengerjakan analisis-sintesis, penilaian dan kreativitas.  Dugaan saya hasrat memindah dari konten ke kompetensi itu didorong dari fakta lapangan bahwa belum dewasa kita condong mencar ilmu di level LOT (low order thinking). Dan memang itu menjadi kegelisahan yang mesti secepatnya dicarikan solusinya.

Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar



(2) Ada konten yang sifatnya sekuen, sehingga tidak sanggup melompat.  Matematika ialah salah satu contoh. Anak tidak akan sanggup mencar ilmu perkalian sebelum menguasai konten penjumlahan.  Anak tidak akan sanggup mencar ilmu pembagian sebelum mengusasi pengurangan. Bahwa di saat mencar ilmu penjumlahan anak mesti berpikir kritis sungguh betul, tidak cuma hafal tapi paham mengapa begini dan begitu. 


Dalam menggandengkan konten dan kompetensi mungkin Kurikulum Hong Kong dalam dijadikan materi banding.  Matapelajaran (konten) disebut selaku learning areas, sedangkan konten dan huruf disebut selaku learning goals.  Misalnya, di saat anak Sekolah Menengah Pertama mencar ilmu IPA salah satu maksudnya yakni siswa sanggup menguasai dan mempergunakan wawasan ihwal magnet untuk memencahkan probelma kehidupan sehari-hari secara kreatif.


Ke-empat, sekolah selaku unit inovasi, bukan menyerupai birokrasi. Pak Iwan sempat memberi ilustrasi, jangan hingga statement Mendikbud ihwal RPP 1 lembar lantas mucul templet RPP 1 lembar dan wajib ditiru oleh semua guru.  Guru mesti menggunakan kemerdekaan dalam mengajar untuk mengerjakan penemuan pembelajaran, agar hasil mencar ilmu siswa maksimal.  Prinsip ini sejalan dengan temuan Abu Dohuo bahwa hasil mencar ilmu siswa itu fungsi dari penemuan gampang yang dilakukan guru dalam pembelajaran.


Ketika guru didorong mengerjakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ataupun lesson study maksudnya menyerupai dengan itu, yakni terus menerus mengerjakan continuous improvement dalam pembelajarannya.  PTK tidak perlu menjadi dokumen observasi yang justru menambah beban guru.  Yang lebih penting guru mengerjakan refleksi, “hari ini pembelajaran yang saya laksanakan menyerupai ini, apa yang kurang baik untuk diperbaiki besuk dan seterusnya”.  Bahwa di saat mengerjakan refleksi mesti didasari berpikir analisis-sintesis dan di saat mendesain perbaikan didalam kreativitas itu suatu kewajaran.  Bukankah guru juga mesti mengerjakan HOT sebagaimana yang diajarkan terhadap siswa.


Hasil-hasil penemuan pembelajaran menyerupai itu akan sungguh bagus dijadikan materi membuatkan pengalaman dalam lembaga KKG dan MGMP.  Yang disebut hasil, tidak mesti berupa keberhasilan tapi juga kegagalan dan persoalan di saat mengerjakan suatu inovasi.  Dengan demikian KKG dan MGMP menjadi wilayah saling mencar ilmu bagi para guru.  Kalau menggunakan konsep problem driven iterative adaptation (PDIA), maka KKG/MGMP akan menjadi wilayah membuatkan aneka macam pengalaman memecahkan urusan menurut keadaan real di lapangan.



Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar
Kelima, Dinas Pendidikan dan Kemdikbud selaku unit enabler.  
Bagaimana Dinas Pendidikan dan Kemdikbud tidak bertindak selaku pihak yang memerintah dan mengontrol, tapi justu menolong dan memfasilitasi sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Mungkin menyerupai dengan konsep total quality management (TQM) in education yang diajukan oleh Sallis.  Konsep ini juga yang digunakan dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).   Pada konsep ini, kiprah guru yakni menolong dan menfalitiasi siswa agar sanggup mencar ilmu dengan optimal.  Tugas kepala sekolah yakni menolong dan memfasilitasi guru agar mampu melakukan pekerjaan dengan baik.  Tugas Dinas Pendidikan dan Kemdikbud yakni menolong sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Kaprikornus bergeser dari to govern menjadi to empower and to enable.Jika pengertian saya benar, merdeka  mencar ilmu ialah wahana mengarusutamakan konsep yang selama ini dikehendaki tapi belum berlangsung dengan baik di lapangan. Bukankah berdaya dan mempekerjakan itu memang hakekat dasar pendidikan.  Bukankah kita sedang mengupayakan bergeser dari teaching ke learning yang memprioritaskan hasil mencar ilmu dan bukan cuma proses pembelajaran.  Bukankah kita sedang mendorong hasil mencar ilmu siswa mesti hingga HOT.  Bukankah lewat PTK kita ingin mendorong para guru terus menerus mengerjakan inovasi, sehingga sekolah ialah unit penemuan dan bukan lembaga birokrasi.  Bukankah dalam konsep MBS, pendidikan ialah suatu layanan. Tugas kepala sekolah yakni menolong guru sanggup melakukan pekerjaan dengan baik dan kiprah Dinas Pendidikan serta Kemdikbud yakni menolong sekolah agar bisa melaksanakan.

Sumber: https://muchlassamani.school.blog/2023/01/13/merdeka-belajar-2/  

Semoga bermanfaat

Bacaan Lainnya
Aplikasi Penilaian Kinerja Kepala Madrasah PKKM
 Aplikasi ini menurut Juknis Dirjen Pendais Nomor 1111 Tahun 2023 ihwal Penilaian Kinerja Kepala Madrasah. Aplikasi berformat *.exe dilaksanakan secara ofline, didesain dengan Ms Excel 2010. Aplikasi didesain untuk mempermudah Pengawas Madrasah mengerjakan Penilaian  Kinerja Kepala Madrasah sesuai juknis sehingga sanggup mengenali nilai capaian/predikat dengan cepat/tepat, menyediakan saran hal/aspek apa yang mesti diperbaiki oleh Kepala Madrasah.
Output Aplikasi:
1. Hasil PKKM Tahun 1, 2, 3 dan ke-4
2. Rekomendasi PKKM Tahun1, 2 dan ke-3
3. Rekap PKKM Tahun 1, 2 dan ke-3
4. Hasil penilaian per tahun, Tahun 1, 2 dan ke-3 unduh)

13. Aplikasi Nilai Mapel Seni Budaya (
Pemikiran ini sejalan dengan prinsip dasar pendidikan yang pada dasarnya ingin menolong anak menjadi merdeka, bisa berdikari dan tidak tergantung orang lain.  Tentu tetap mesti dikenang bahwa berdikari dan merdeka itu tetap dalam koridor bahwa insan itu bab dari komunitas dimana dia berada.  Juga selaku makhluk Sang Pencipta (Al Khaliq), sehingga mesti mengikuti koridor keyakinannya yang bersumber dari Sang Pencipta.  Keharmonisan penerapan antara insan merdeka, bab dari komunitas dan makhluk Sang Pencipa itulah yang ingin ditumbuhkan dalam pendidikan.


Kedua, fokus pada output dan bahkan outcome dan bukan sekedar proses.  
Pak Iwan menggunakan perumpamaan yang sering digunakan oleh Pak Jokowi, tidak sekedar sent tapi delivered.  Dalam konteks ini, jujur saya belum mengerti secara baik, alasannya yakni memang saya tidak sempat menanyakan lebih lanjut. Kalau menggunakan metaphor WA, sent itu ditandai oleh satu cawang (v) artinya terkirim, sedangkan delivered ditandai oleh dua cawang berwarna hitam (vv) artinya diterima.  Namun apabila pesan itu dibaca ditandai dua cawang berwarna biru (vv).  Saya menduga yang dimaksud sebenarnya dibaca dan bukan sekedar dikirim atau diterima.

Jika dikaitkan dengan process approach dalam teori pembelajaran yang secara konsep menyerupai dengan scientific approach yang digunakan dalam Kurikulum 2013, saya menduga yang dimaksud merdeka mencar ilmu bukan proses berpikir dalam process approach maupun K-13, tapi proses pembelajaran.  Artinya pembelajaran dihentikan berhenti pada apa yang dilakukan guru tapi mesti hingga apa yang diperoleh siswa.  Kaprikornus yang dimaksud bergeser dari proses ke hasil, sama dengan prinsip shifting paradigm from teaching to learning. Mengapa demikian?  Karena dalam teori pembelajaran “modern”, justru proses berpikir itulah yang lebih penting. Dan itulah yang ingin dikembangkan dalam pendidikan.  5 M yang dalam K-13, mengamati, mempertanyaan apa yang diamati, menalar mengapa itu terjadi, menjajal mereplikasi dan memodifikasi, dan mengkomikasikan apa yang dilakukan, sejalan dengan pemikiran tersebut.


Ketiga, begeser dari konten ke kompetensi dan karakter
Menurut Pak Iwan yang lebih penting bagi belum dewasa kita yakni menguasai kompetensi critical thinking, creativity, communication, collaboration, compassion, computational logic dan sebagainya, yang sungguh diharapkan di abad disrupsi.  Sedangkan konten itu nomor dua, alasannya yakni sanggup dipelajari sendiri. Untuk karakter, P Iwan tidak sempat menerangkan secara rincian atau saya yang tidak mampu menangkap klarifikasi beliau.


Jika dikaitkan dengan process approach, menurut saya antara konten dan kompetensi tidak sanggup dipisahkan secara total. Bukan mutually exclusive tapi memiliki interseksi. Mengapa?  Ada dua argumentasi. (1) di saat mencar ilmu critical thinking, creativity dan sebagainya, kita membutuhkan wahana dan wahana yang paling sempurna yakni kompetensi.  Misalnya anak SD mencar ilmu berpikir kritis sewaktu mencermati ayam dalam matapelajaran IPA.  Dengan begitu, anak sekaligus mencar ilmu menguasasi kompetensi sekaligus juga konten.  Kaprikornus yang diharapkan bagaimana mendesain pembelajaran topik (konten) tertentu, tapi yang ingin dituju tidak cuma penguasaan kontennya tapi juga kompetensi tertentu.  Kaprikornus menyerupai dengan hasrat agar belum dewasa mencar ilmu untuk meraih HOT (high order thinking) yang menurut Bloom, mulai dari mengerjakan analisis-sintesis, penilaian dan kreativitas.  Dugaan saya hasrat memindah dari konten ke kompetensi itu didorong dari fakta lapangan bahwa belum dewasa kita condong mencar ilmu di level LOT (low order thinking). Dan memang itu menjadi kegelisahan yang mesti secepatnya dicarikan solusinya.

Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar



(2) Ada konten yang sifatnya sekuen, sehingga tidak sanggup melompat.  Matematika ialah salah satu contoh. Anak tidak akan sanggup mencar ilmu perkalian sebelum menguasai konten penjumlahan.  Anak tidak akan sanggup mencar ilmu pembagian sebelum mengusasi pengurangan. Bahwa di saat mencar ilmu penjumlahan anak mesti berpikir kritis sungguh betul, tidak cuma hafal tapi paham mengapa begini dan begitu. 


Dalam menggandengkan konten dan kompetensi mungkin Kurikulum Hong Kong dalam dijadikan materi banding.  Matapelajaran (konten) disebut selaku learning areas, sedangkan konten dan huruf disebut selaku learning goals.  Misalnya, di saat anak Sekolah Menengah Pertama mencar ilmu IPA salah satu maksudnya yakni siswa sanggup menguasai dan mempergunakan wawasan ihwal magnet untuk memencahkan probelma kehidupan sehari-hari secara kreatif.


Ke-empat, sekolah selaku unit inovasi, bukan menyerupai birokrasi. Pak Iwan sempat memberi ilustrasi, jangan hingga statement Mendikbud ihwal RPP 1 lembar lantas mucul templet RPP 1 lembar dan wajib ditiru oleh semua guru.  Guru mesti menggunakan kemerdekaan dalam mengajar untuk mengerjakan penemuan pembelajaran, agar hasil mencar ilmu siswa maksimal.  Prinsip ini sejalan dengan temuan Abu Dohuo bahwa hasil mencar ilmu siswa itu fungsi dari penemuan gampang yang dilakukan guru dalam pembelajaran.


Ketika guru didorong mengerjakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ataupun lesson study maksudnya menyerupai dengan itu, yakni terus menerus mengerjakan continuous improvement dalam pembelajarannya.  PTK tidak perlu menjadi dokumen observasi yang justru menambah beban guru.  Yang lebih penting guru mengerjakan refleksi, “hari ini pembelajaran yang saya laksanakan menyerupai ini, apa yang kurang baik untuk diperbaiki besuk dan seterusnya”.  Bahwa di saat mengerjakan refleksi mesti didasari berpikir analisis-sintesis dan di saat mendesain perbaikan didalam kreativitas itu suatu kewajaran.  Bukankah guru juga mesti mengerjakan HOT sebagaimana yang diajarkan terhadap siswa.


Hasil-hasil penemuan pembelajaran menyerupai itu akan sungguh bagus dijadikan materi membuatkan pengalaman dalam lembaga KKG dan MGMP.  Yang disebut hasil, tidak mesti berupa keberhasilan tapi juga kegagalan dan persoalan di saat mengerjakan suatu inovasi.  Dengan demikian KKG dan MGMP menjadi wilayah saling mencar ilmu bagi para guru.  Kalau menggunakan konsep problem driven iterative adaptation (PDIA), maka KKG/MGMP akan menjadi wilayah membuatkan aneka macam pengalaman memecahkan urusan menurut keadaan real di lapangan.



Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar
Kelima, Dinas Pendidikan dan Kemdikbud selaku unit enabler.  
Bagaimana Dinas Pendidikan dan Kemdikbud tidak bertindak selaku pihak yang memerintah dan mengontrol, tapi justu menolong dan memfasilitasi sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Mungkin menyerupai dengan konsep total quality management (TQM) in education yang diajukan oleh Sallis.  Konsep ini juga yang digunakan dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).   Pada konsep ini, kiprah guru yakni menolong dan menfalitiasi siswa agar sanggup mencar ilmu dengan optimal.  Tugas kepala sekolah yakni menolong dan memfasilitasi guru agar mampu melakukan pekerjaan dengan baik.  Tugas Dinas Pendidikan dan Kemdikbud yakni menolong sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Kaprikornus bergeser dari to govern menjadi to empower and to enable.Jika pengertian saya benar, merdeka  mencar ilmu ialah wahana mengarusutamakan konsep yang selama ini dikehendaki tapi belum berlangsung dengan baik di lapangan. Bukankah berdaya dan mempekerjakan itu memang hakekat dasar pendidikan.  Bukankah kita sedang mengupayakan bergeser dari teaching ke learning yang memprioritaskan hasil mencar ilmu dan bukan cuma proses pembelajaran.  Bukankah kita sedang mendorong hasil mencar ilmu siswa mesti hingga HOT.  Bukankah lewat PTK kita ingin mendorong para guru terus menerus mengerjakan inovasi, sehingga sekolah ialah unit penemuan dan bukan lembaga birokrasi.  Bukankah dalam konsep MBS, pendidikan ialah suatu layanan. Tugas kepala sekolah yakni menolong guru sanggup melakukan pekerjaan dengan baik dan kiprah Dinas Pendidikan serta Kemdikbud yakni menolong sekolah agar bisa melaksanakan.

Sumber: https://muchlassamani.school.blog/2023/01/13/merdeka-belajar-2/  

Semoga bermanfaat

Bacaan Lainnya
Aplikasi Penilaian Kinerja Kepala Madrasah PKKM
 Aplikasi ini menurut Juknis Dirjen Pendais Nomor 1111 Tahun 2023 ihwal Penilaian Kinerja Kepala Madrasah. Aplikasi berformat *.exe dilaksanakan secara ofline, didesain dengan Ms Excel 2010. Aplikasi didesain untuk mempermudah Pengawas Madrasah mengerjakan Penilaian  Kinerja Kepala Madrasah sesuai juknis sehingga sanggup mengenali nilai capaian/predikat dengan cepat/tepat, menyediakan saran hal/aspek apa yang mesti diperbaiki oleh Kepala Madrasah.
Output Aplikasi:
1. Hasil PKKM Tahun 1, 2, 3 dan ke-4
2. Rekomendasi PKKM Tahun1, 2 dan ke-3
3. Rekap PKKM Tahun 1, 2 dan ke-3
4. Hasil penilaian per tahun, Tahun 1, 2 dan ke-3 unduh)

14. Aplikasi Nilai Mapel Prakarya (
Pemikiran ini sejalan dengan prinsip dasar pendidikan yang pada dasarnya ingin menolong anak menjadi merdeka, bisa berdikari dan tidak tergantung orang lain.  Tentu tetap mesti dikenang bahwa berdikari dan merdeka itu tetap dalam koridor bahwa insan itu bab dari komunitas dimana dia berada.  Juga selaku makhluk Sang Pencipta (Al Khaliq), sehingga mesti mengikuti koridor keyakinannya yang bersumber dari Sang Pencipta.  Keharmonisan penerapan antara insan merdeka, bab dari komunitas dan makhluk Sang Pencipa itulah yang ingin ditumbuhkan dalam pendidikan.


Kedua, fokus pada output dan bahkan outcome dan bukan sekedar proses.  
Pak Iwan menggunakan perumpamaan yang sering digunakan oleh Pak Jokowi, tidak sekedar sent tapi delivered.  Dalam konteks ini, jujur saya belum mengerti secara baik, alasannya yakni memang saya tidak sempat menanyakan lebih lanjut. Kalau menggunakan metaphor WA, sent itu ditandai oleh satu cawang (v) artinya terkirim, sedangkan delivered ditandai oleh dua cawang berwarna hitam (vv) artinya diterima.  Namun apabila pesan itu dibaca ditandai dua cawang berwarna biru (vv).  Saya menduga yang dimaksud sebenarnya dibaca dan bukan sekedar dikirim atau diterima.

Jika dikaitkan dengan process approach dalam teori pembelajaran yang secara konsep menyerupai dengan scientific approach yang digunakan dalam Kurikulum 2013, saya menduga yang dimaksud merdeka mencar ilmu bukan proses berpikir dalam process approach maupun K-13, tapi proses pembelajaran.  Artinya pembelajaran dihentikan berhenti pada apa yang dilakukan guru tapi mesti hingga apa yang diperoleh siswa.  Kaprikornus yang dimaksud bergeser dari proses ke hasil, sama dengan prinsip shifting paradigm from teaching to learning. Mengapa demikian?  Karena dalam teori pembelajaran “modern”, justru proses berpikir itulah yang lebih penting. Dan itulah yang ingin dikembangkan dalam pendidikan.  5 M yang dalam K-13, mengamati, mempertanyaan apa yang diamati, menalar mengapa itu terjadi, menjajal mereplikasi dan memodifikasi, dan mengkomikasikan apa yang dilakukan, sejalan dengan pemikiran tersebut.


Ketiga, begeser dari konten ke kompetensi dan karakter
Menurut Pak Iwan yang lebih penting bagi belum dewasa kita yakni menguasai kompetensi critical thinking, creativity, communication, collaboration, compassion, computational logic dan sebagainya, yang sungguh diharapkan di abad disrupsi.  Sedangkan konten itu nomor dua, alasannya yakni sanggup dipelajari sendiri. Untuk karakter, P Iwan tidak sempat menerangkan secara rincian atau saya yang tidak mampu menangkap klarifikasi beliau.


Jika dikaitkan dengan process approach, menurut saya antara konten dan kompetensi tidak sanggup dipisahkan secara total. Bukan mutually exclusive tapi memiliki interseksi. Mengapa?  Ada dua argumentasi. (1) di saat mencar ilmu critical thinking, creativity dan sebagainya, kita membutuhkan wahana dan wahana yang paling sempurna yakni kompetensi.  Misalnya anak SD mencar ilmu berpikir kritis sewaktu mencermati ayam dalam matapelajaran IPA.  Dengan begitu, anak sekaligus mencar ilmu menguasasi kompetensi sekaligus juga konten.  Kaprikornus yang diharapkan bagaimana mendesain pembelajaran topik (konten) tertentu, tapi yang ingin dituju tidak cuma penguasaan kontennya tapi juga kompetensi tertentu.  Kaprikornus menyerupai dengan hasrat agar belum dewasa mencar ilmu untuk meraih HOT (high order thinking) yang menurut Bloom, mulai dari mengerjakan analisis-sintesis, penilaian dan kreativitas.  Dugaan saya hasrat memindah dari konten ke kompetensi itu didorong dari fakta lapangan bahwa belum dewasa kita condong mencar ilmu di level LOT (low order thinking). Dan memang itu menjadi kegelisahan yang mesti secepatnya dicarikan solusinya.

Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar



(2) Ada konten yang sifatnya sekuen, sehingga tidak sanggup melompat.  Matematika ialah salah satu contoh. Anak tidak akan sanggup mencar ilmu perkalian sebelum menguasai konten penjumlahan.  Anak tidak akan sanggup mencar ilmu pembagian sebelum mengusasi pengurangan. Bahwa di saat mencar ilmu penjumlahan anak mesti berpikir kritis sungguh betul, tidak cuma hafal tapi paham mengapa begini dan begitu. 


Dalam menggandengkan konten dan kompetensi mungkin Kurikulum Hong Kong dalam dijadikan materi banding.  Matapelajaran (konten) disebut selaku learning areas, sedangkan konten dan huruf disebut selaku learning goals.  Misalnya, di saat anak Sekolah Menengah Pertama mencar ilmu IPA salah satu maksudnya yakni siswa sanggup menguasai dan mempergunakan wawasan ihwal magnet untuk memencahkan probelma kehidupan sehari-hari secara kreatif.


Ke-empat, sekolah selaku unit inovasi, bukan menyerupai birokrasi. Pak Iwan sempat memberi ilustrasi, jangan hingga statement Mendikbud ihwal RPP 1 lembar lantas mucul templet RPP 1 lembar dan wajib ditiru oleh semua guru.  Guru mesti menggunakan kemerdekaan dalam mengajar untuk mengerjakan penemuan pembelajaran, agar hasil mencar ilmu siswa maksimal.  Prinsip ini sejalan dengan temuan Abu Dohuo bahwa hasil mencar ilmu siswa itu fungsi dari penemuan gampang yang dilakukan guru dalam pembelajaran.


Ketika guru didorong mengerjakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ataupun lesson study maksudnya menyerupai dengan itu, yakni terus menerus mengerjakan continuous improvement dalam pembelajarannya.  PTK tidak perlu menjadi dokumen observasi yang justru menambah beban guru.  Yang lebih penting guru mengerjakan refleksi, “hari ini pembelajaran yang saya laksanakan menyerupai ini, apa yang kurang baik untuk diperbaiki besuk dan seterusnya”.  Bahwa di saat mengerjakan refleksi mesti didasari berpikir analisis-sintesis dan di saat mendesain perbaikan didalam kreativitas itu suatu kewajaran.  Bukankah guru juga mesti mengerjakan HOT sebagaimana yang diajarkan terhadap siswa.


Hasil-hasil penemuan pembelajaran menyerupai itu akan sungguh bagus dijadikan materi membuatkan pengalaman dalam lembaga KKG dan MGMP.  Yang disebut hasil, tidak mesti berupa keberhasilan tapi juga kegagalan dan persoalan di saat mengerjakan suatu inovasi.  Dengan demikian KKG dan MGMP menjadi wilayah saling mencar ilmu bagi para guru.  Kalau menggunakan konsep problem driven iterative adaptation (PDIA), maka KKG/MGMP akan menjadi wilayah membuatkan aneka macam pengalaman memecahkan urusan menurut keadaan real di lapangan.



Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar
Kelima, Dinas Pendidikan dan Kemdikbud selaku unit enabler.  
Bagaimana Dinas Pendidikan dan Kemdikbud tidak bertindak selaku pihak yang memerintah dan mengontrol, tapi justu menolong dan memfasilitasi sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Mungkin menyerupai dengan konsep total quality management (TQM) in education yang diajukan oleh Sallis.  Konsep ini juga yang digunakan dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).   Pada konsep ini, kiprah guru yakni menolong dan menfalitiasi siswa agar sanggup mencar ilmu dengan optimal.  Tugas kepala sekolah yakni menolong dan memfasilitasi guru agar mampu melakukan pekerjaan dengan baik.  Tugas Dinas Pendidikan dan Kemdikbud yakni menolong sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Kaprikornus bergeser dari to govern menjadi to empower and to enable.Jika pengertian saya benar, merdeka  mencar ilmu ialah wahana mengarusutamakan konsep yang selama ini dikehendaki tapi belum berlangsung dengan baik di lapangan. Bukankah berdaya dan mempekerjakan itu memang hakekat dasar pendidikan.  Bukankah kita sedang mengupayakan bergeser dari teaching ke learning yang memprioritaskan hasil mencar ilmu dan bukan cuma proses pembelajaran.  Bukankah kita sedang mendorong hasil mencar ilmu siswa mesti hingga HOT.  Bukankah lewat PTK kita ingin mendorong para guru terus menerus mengerjakan inovasi, sehingga sekolah ialah unit penemuan dan bukan lembaga birokrasi.  Bukankah dalam konsep MBS, pendidikan ialah suatu layanan. Tugas kepala sekolah yakni menolong guru sanggup melakukan pekerjaan dengan baik dan kiprah Dinas Pendidikan serta Kemdikbud yakni menolong sekolah agar bisa melaksanakan.

Sumber: https://muchlassamani.school.blog/2023/01/13/merdeka-belajar-2/  

Semoga bermanfaat

Bacaan Lainnya
Aplikasi Penilaian Kinerja Kepala Madrasah PKKM
 Aplikasi ini menurut Juknis Dirjen Pendais Nomor 1111 Tahun 2023 ihwal Penilaian Kinerja Kepala Madrasah. Aplikasi berformat *.exe dilaksanakan secara ofline, didesain dengan Ms Excel 2010. Aplikasi didesain untuk mempermudah Pengawas Madrasah mengerjakan Penilaian  Kinerja Kepala Madrasah sesuai juknis sehingga sanggup mengenali nilai capaian/predikat dengan cepat/tepat, menyediakan saran hal/aspek apa yang mesti diperbaiki oleh Kepala Madrasah.
Output Aplikasi:
1. Hasil PKKM Tahun 1, 2, 3 dan ke-4
2. Rekomendasi PKKM Tahun1, 2 dan ke-3
3. Rekap PKKM Tahun 1, 2 dan ke-3
4. Hasil penilaian per tahun, Tahun 1, 2 dan ke-3 unduh)

15. Aplikasi Nilai Mapel Informatika (
Pemikiran ini sejalan dengan prinsip dasar pendidikan yang pada dasarnya ingin menolong anak menjadi merdeka, bisa berdikari dan tidak tergantung orang lain.  Tentu tetap mesti dikenang bahwa berdikari dan merdeka itu tetap dalam koridor bahwa insan itu bab dari komunitas dimana dia berada.  Juga selaku makhluk Sang Pencipta (Al Khaliq), sehingga mesti mengikuti koridor keyakinannya yang bersumber dari Sang Pencipta.  Keharmonisan penerapan antara insan merdeka, bab dari komunitas dan makhluk Sang Pencipa itulah yang ingin ditumbuhkan dalam pendidikan.


Kedua, fokus pada output dan bahkan outcome dan bukan sekedar proses.  
Pak Iwan menggunakan perumpamaan yang sering digunakan oleh Pak Jokowi, tidak sekedar sent tapi delivered.  Dalam konteks ini, jujur saya belum mengerti secara baik, alasannya yakni memang saya tidak sempat menanyakan lebih lanjut. Kalau menggunakan metaphor WA, sent itu ditandai oleh satu cawang (v) artinya terkirim, sedangkan delivered ditandai oleh dua cawang berwarna hitam (vv) artinya diterima.  Namun apabila pesan itu dibaca ditandai dua cawang berwarna biru (vv).  Saya menduga yang dimaksud sebenarnya dibaca dan bukan sekedar dikirim atau diterima.

Jika dikaitkan dengan process approach dalam teori pembelajaran yang secara konsep menyerupai dengan scientific approach yang digunakan dalam Kurikulum 2013, saya menduga yang dimaksud merdeka mencar ilmu bukan proses berpikir dalam process approach maupun K-13, tapi proses pembelajaran.  Artinya pembelajaran dihentikan berhenti pada apa yang dilakukan guru tapi mesti hingga apa yang diperoleh siswa.  Kaprikornus yang dimaksud bergeser dari proses ke hasil, sama dengan prinsip shifting paradigm from teaching to learning. Mengapa demikian?  Karena dalam teori pembelajaran “modern”, justru proses berpikir itulah yang lebih penting. Dan itulah yang ingin dikembangkan dalam pendidikan.  5 M yang dalam K-13, mengamati, mempertanyaan apa yang diamati, menalar mengapa itu terjadi, menjajal mereplikasi dan memodifikasi, dan mengkomikasikan apa yang dilakukan, sejalan dengan pemikiran tersebut.


Ketiga, begeser dari konten ke kompetensi dan karakter
Menurut Pak Iwan yang lebih penting bagi belum dewasa kita yakni menguasai kompetensi critical thinking, creativity, communication, collaboration, compassion, computational logic dan sebagainya, yang sungguh diharapkan di abad disrupsi.  Sedangkan konten itu nomor dua, alasannya yakni sanggup dipelajari sendiri. Untuk karakter, P Iwan tidak sempat menerangkan secara rincian atau saya yang tidak mampu menangkap klarifikasi beliau.


Jika dikaitkan dengan process approach, menurut saya antara konten dan kompetensi tidak sanggup dipisahkan secara total. Bukan mutually exclusive tapi memiliki interseksi. Mengapa?  Ada dua argumentasi. (1) di saat mencar ilmu critical thinking, creativity dan sebagainya, kita membutuhkan wahana dan wahana yang paling sempurna yakni kompetensi.  Misalnya anak SD mencar ilmu berpikir kritis sewaktu mencermati ayam dalam matapelajaran IPA.  Dengan begitu, anak sekaligus mencar ilmu menguasasi kompetensi sekaligus juga konten.  Kaprikornus yang diharapkan bagaimana mendesain pembelajaran topik (konten) tertentu, tapi yang ingin dituju tidak cuma penguasaan kontennya tapi juga kompetensi tertentu.  Kaprikornus menyerupai dengan hasrat agar belum dewasa mencar ilmu untuk meraih HOT (high order thinking) yang menurut Bloom, mulai dari mengerjakan analisis-sintesis, penilaian dan kreativitas.  Dugaan saya hasrat memindah dari konten ke kompetensi itu didorong dari fakta lapangan bahwa belum dewasa kita condong mencar ilmu di level LOT (low order thinking). Dan memang itu menjadi kegelisahan yang mesti secepatnya dicarikan solusinya.

Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar



(2) Ada konten yang sifatnya sekuen, sehingga tidak sanggup melompat.  Matematika ialah salah satu contoh. Anak tidak akan sanggup mencar ilmu perkalian sebelum menguasai konten penjumlahan.  Anak tidak akan sanggup mencar ilmu pembagian sebelum mengusasi pengurangan. Bahwa di saat mencar ilmu penjumlahan anak mesti berpikir kritis sungguh betul, tidak cuma hafal tapi paham mengapa begini dan begitu. 


Dalam menggandengkan konten dan kompetensi mungkin Kurikulum Hong Kong dalam dijadikan materi banding.  Matapelajaran (konten) disebut selaku learning areas, sedangkan konten dan huruf disebut selaku learning goals.  Misalnya, di saat anak Sekolah Menengah Pertama mencar ilmu IPA salah satu maksudnya yakni siswa sanggup menguasai dan mempergunakan wawasan ihwal magnet untuk memencahkan probelma kehidupan sehari-hari secara kreatif.


Ke-empat, sekolah selaku unit inovasi, bukan menyerupai birokrasi. Pak Iwan sempat memberi ilustrasi, jangan hingga statement Mendikbud ihwal RPP 1 lembar lantas mucul templet RPP 1 lembar dan wajib ditiru oleh semua guru.  Guru mesti menggunakan kemerdekaan dalam mengajar untuk mengerjakan penemuan pembelajaran, agar hasil mencar ilmu siswa maksimal.  Prinsip ini sejalan dengan temuan Abu Dohuo bahwa hasil mencar ilmu siswa itu fungsi dari penemuan gampang yang dilakukan guru dalam pembelajaran.


Ketika guru didorong mengerjakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ataupun lesson study maksudnya menyerupai dengan itu, yakni terus menerus mengerjakan continuous improvement dalam pembelajarannya.  PTK tidak perlu menjadi dokumen observasi yang justru menambah beban guru.  Yang lebih penting guru mengerjakan refleksi, “hari ini pembelajaran yang saya laksanakan menyerupai ini, apa yang kurang baik untuk diperbaiki besuk dan seterusnya”.  Bahwa di saat mengerjakan refleksi mesti didasari berpikir analisis-sintesis dan di saat mendesain perbaikan didalam kreativitas itu suatu kewajaran.  Bukankah guru juga mesti mengerjakan HOT sebagaimana yang diajarkan terhadap siswa.


Hasil-hasil penemuan pembelajaran menyerupai itu akan sungguh bagus dijadikan materi membuatkan pengalaman dalam lembaga KKG dan MGMP.  Yang disebut hasil, tidak mesti berupa keberhasilan tapi juga kegagalan dan persoalan di saat mengerjakan suatu inovasi.  Dengan demikian KKG dan MGMP menjadi wilayah saling mencar ilmu bagi para guru.  Kalau menggunakan konsep problem driven iterative adaptation (PDIA), maka KKG/MGMP akan menjadi wilayah membuatkan aneka macam pengalaman memecahkan urusan menurut keadaan real di lapangan.



Tulisan ini dikutip dari blog Bapak Muchlas Samani  Konsep Merdeka Belajar
Kelima, Dinas Pendidikan dan Kemdikbud selaku unit enabler.  
Bagaimana Dinas Pendidikan dan Kemdikbud tidak bertindak selaku pihak yang memerintah dan mengontrol, tapi justu menolong dan memfasilitasi sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Mungkin menyerupai dengan konsep total quality management (TQM) in education yang diajukan oleh Sallis.  Konsep ini juga yang digunakan dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).   Pada konsep ini, kiprah guru yakni menolong dan menfalitiasi siswa agar sanggup mencar ilmu dengan optimal.  Tugas kepala sekolah yakni menolong dan memfasilitasi guru agar mampu melakukan pekerjaan dengan baik.  Tugas Dinas Pendidikan dan Kemdikbud yakni menolong sekolah agar sanggup mengerjakan proses pendidikan dengan baik.  Kaprikornus bergeser dari to govern menjadi to empower and to enable.Jika pengertian saya benar, merdeka  mencar ilmu ialah wahana mengarusutamakan konsep yang selama ini dikehendaki tapi belum berlangsung dengan baik di lapangan. Bukankah berdaya dan mempekerjakan itu memang hakekat dasar pendidikan.  Bukankah kita sedang mengupayakan bergeser dari teaching ke learning yang memprioritaskan hasil mencar ilmu dan bukan cuma proses pembelajaran.  Bukankah kita sedang mendorong hasil mencar ilmu siswa mesti hingga HOT.  Bukankah lewat PTK kita ingin mendorong para guru terus menerus mengerjakan inovasi, sehingga sekolah ialah unit penemuan dan bukan lembaga birokrasi.  Bukankah dalam konsep MBS, pendidikan ialah suatu layanan. Tugas kepala sekolah yakni menolong guru sanggup melakukan pekerjaan dengan baik dan kiprah Dinas Pendidikan serta Kemdikbud yakni menolong sekolah agar bisa melaksanakan.

Sumber: https://muchlassamani.school.blog/2023/01/13/merdeka-belajar-2/  

Semoga bermanfaat

Bacaan Lainnya
Aplikasi Penilaian Kinerja Kepala Madrasah PKKM
 Aplikasi ini menurut Juknis Dirjen Pendais Nomor 1111 Tahun 2023 ihwal Penilaian Kinerja Kepala Madrasah. Aplikasi berformat *.exe dilaksanakan secara ofline, didesain dengan Ms Excel 2010. Aplikasi didesain untuk mempermudah Pengawas Madrasah mengerjakan Penilaian  Kinerja Kepala Madrasah sesuai juknis sehingga sanggup mengenali nilai capaian/predikat dengan cepat/tepat, menyediakan saran hal/aspek apa yang mesti diperbaiki oleh Kepala Madrasah.
Output Aplikasi:
1. Hasil PKKM Tahun 1, 2, 3 dan ke-4
2. Rekomendasi PKKM Tahun1, 2 dan ke-3
3. Rekap PKKM Tahun 1, 2 dan ke-3
4. Hasil penilaian per tahun, Tahun 1, 2 dan ke-3 unduh)
 

Support Aplikasi:
Support Aplikasi: Ms Office Excel Minimal 2010  install Standard.
Aplikasi Berformat *.EXE (Application)


Semoga Bermanfaat

Related : Konsep Merdeka Belajar

0 Komentar untuk "Konsep Merdeka Belajar"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)