“Andai hidayah itu menyerupai buah yang dapat kubeli, maka akan kubeli berkeranjang-keranjang untuk saya bagi-bagikan terhadap orang-orang yang saya cintai,” (Imam Syafi’i.)
Tentu setiap dari kita mengharapkan semua orang yang kita cintai bisa mendapat hidayah, bukan? Tentu setiap dari kita berharap di alam abadi nanti sanggup berkumpul kembali dengan keluarga dalam Jannah-Nya.
Tentu setiap dari kita akan sungguh sedih, kalau ada orang yang kita sayangi (entah itu ayah, ibu, abang atau adik, dan yang lainnya) belum mendapat hidayah dari Allah. Ya. Itu niscaya berlaku. Dan saya sendiri pun merasakannya.
Karena hidayah tidak sanggup dibeli. Hidayah merupakan mutiara bermanfaat yang tak setiap insan sanggup memilikinya.
Lantas bagaimana kah perilaku kita dalam menghadapi ujian dikala kita merasa di sekeliling kita merupakan orang awam, dikala lingkungan tidak mendukung dalam mengerjakan perintah Allah dan Rasul-Nya. Apakah kita mesti mengutuk takdir? Ataukah kita mesti lari menjauh dari kehidupan ini? Meninggalkan orang-orang yang kita sayangi yang sejatinya hidayah itu belum mereka dapatkan?
Tidak ! jawabannya “tidak” sahabatku.
“Jika kamu merasa bahwa segala disekitarmu gelap, tidakkah kamu curiga bahwa dirimulah yang dikirim Allah untuk jadi cahaya bagi mereka?”
Sahabatku, janganlah kalian berputus asa dalam menegakkan dien ini. Jangan pula kecewa kalau apa yang kita sampaikan itu diabaikan, atau bahkan dilecehkan, apalagi lagi kalau dakwah ditengah keluarga yang seringkali itu lebih berat.
Coba kita lihat, Nabi Nuh ‘alaihissalam yang tak pernah jenuh mengingatkan anaknya yang tersesat, Nuh ‘alaihissalam terus mendo’akan anaknya hingga hasilnya Allah tenggelamkan Kan’an.
Nabi Luth ‘alaihissalam yang tak pernah berhenti mengingatkan istrinya yang membangkang, hingga hasilnya Allah binasakan istrinya bareng kaum Sodom.
Asiah binti Muzahim, tertatih-tatih mengingatkan suaminya Fir’aun hingga hasilnya ia sendiripun dibunuh oleh Fir’aun.
Habil yang tak pernah letih untuk terus menasehati kakaknya Qabil, hingga hasilnya Habil pun dibunuh oleh Qabil.
Dan dongeng para sobat Rasulullah lainnya, yang menyodorkan bahwa sejatinya dakwah itu memanglah mesti menuntut pengorbanan sekalipun itu nyawa yang menjadi taruhan.
Tak peduli seberapa jauh ku mesti melangkah.
Yang saya tahu, saya mesti melangkah seberapapun yang saya bisa.
Tak peduli seberapa mempunyai pengaruh lagi saya mesti bertahan.
Yang saya tahu, saya mesti bertahan hingga tetes darah penghabisan.
Tak perduli seberapa banyak lagi air mata yang mesti saya tumpahkan.
Yang saya tahu, saya mesti bersabar. Dengan ketekunan yang indah.
Karena saya tahu bahwa kini Allah sedang menggendongku.
Allah memberiku ujian, untuk meninggikan derajatku.
Allah memberiku ujian ini, alasannya merupakan Allah tahu bahwa saya niscaya bisa menempuhnya..
“Bayti Jannati”
Tekad yang mempunyai pengaruh untuk menyebabkan rumahku selaku nirwana bagiku itu senantiasa saya usahakan segenap kemampuanku. Tidak bisa dengan cara yang ini, saya kerjakan dengan cara yang itu, dan saya percaya niscaya ada beribu-ribu cara biar sanggup menenteng cahaya Islam masuk kedalam rumahku.
Sekarang, yang diperlukan merupakan bermain anggun dalam menyampaikan. Jangan bersikap keras dan kaku dalam berdakwah. Karena sejatinya dakwah itu memberi pemikiran bukan menghakimi.
Hati yang sudah dipenuhi besarnya rasa cinta terhadap Allah, maka takkan lagi mudah merasa merana kalau sekadar terluka. Takkan mudah murung meski mesti mencicipi hal yang pedih..
Caci maki dari para pendengki bagai kidung dalam sunyi. Dan bunyi sumbang pun bagai indahnya suatu tembang.
Maka,bersabarlah dan istiqomahlah, alasannya merupakan kejujuran iktikad haruslah dibuktikan dengan ujian.
Demikianlah sunnatullah yang berlaku untuk hamba-Nya, kejujuran imannya mesti dibuktikan dengan ujian yang dihadapinya. Sebagaimana yang tercantum dalam Al Qur’an,
“Apakah insan mengira mereka dibiarkan untuk berkata ‘kami sudah beriman’ padahal mereka belum diuji. Kami sudah menguji orang-orang sebelum mereka maka Allah sudah mengenali semua orang yang jujur dan semua orang yang dusta (dalam imannya),” (QS. Al-Ankabut:2—3).
“Agar Allah menguji sesuatu yang ada dalam dada kalian dan menyaksikan yang ada di hati kalian,” (QS. Ali Imran:154).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membuktikan bahwa ujian sesuai dengan kadar keimanan seseorang. Dalam hadits dari Sa’ad bin Abu Waqqash radhiyallallah ‘anhu, dia bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah insan yang paling keras ujiannya?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “(Orang yang paling keras ujiannya adalah) para Nabi, kemudian yang di bawahnya dan yang di bawahnya. Setiap insan diuji sesuai dengan kadar agamanya. Jika mempunyai pengaruh agamanya maka kian keras ujiannya, kalau lemah agamanya maka diuji sesuai dengan kadar agamanya. Senantiasa seorang hamba diuji oleh Allah sehingga dia bisa berlangsung di atas permukaan bumi tanpa mempunyai satu dosa pun,” (HR. At-Tirmidzi, 4:601–602; dia berkata, “Hadits ini hasan shahih”; Ibnu Majah, 2:1334; Ahmad, 1:172,174,180,185; dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani di Silsilah Shahihah, 1:66 dan Shahih Ibnu Majah, 2:371).
Tulisan ini beredar secara trend di media lazim dan blog. Kami kesusahan menambahkan sumber pertama, tetapi kami mengutipnya dari: Sumber https://www.kabarmakkah.com
Tentu setiap dari kita mengharapkan semua orang yang kita cintai bisa mendapat hidayah, bukan? Tentu setiap dari kita berharap di alam abadi nanti sanggup berkumpul kembali dengan keluarga dalam Jannah-Nya.
Tentu setiap dari kita akan sungguh sedih, kalau ada orang yang kita sayangi (entah itu ayah, ibu, abang atau adik, dan yang lainnya) belum mendapat hidayah dari Allah. Ya. Itu niscaya berlaku. Dan saya sendiri pun merasakannya.
Karena hidayah tidak sanggup dibeli. Hidayah merupakan mutiara bermanfaat yang tak setiap insan sanggup memilikinya.
Lantas bagaimana kah perilaku kita dalam menghadapi ujian dikala kita merasa di sekeliling kita merupakan orang awam, dikala lingkungan tidak mendukung dalam mengerjakan perintah Allah dan Rasul-Nya. Apakah kita mesti mengutuk takdir? Ataukah kita mesti lari menjauh dari kehidupan ini? Meninggalkan orang-orang yang kita sayangi yang sejatinya hidayah itu belum mereka dapatkan?
Tidak ! jawabannya “tidak” sahabatku.
“Jika kamu merasa bahwa segala disekitarmu gelap, tidakkah kamu curiga bahwa dirimulah yang dikirim Allah untuk jadi cahaya bagi mereka?”
Sahabatku, janganlah kalian berputus asa dalam menegakkan dien ini. Jangan pula kecewa kalau apa yang kita sampaikan itu diabaikan, atau bahkan dilecehkan, apalagi lagi kalau dakwah ditengah keluarga yang seringkali itu lebih berat.
Coba kita lihat, Nabi Nuh ‘alaihissalam yang tak pernah jenuh mengingatkan anaknya yang tersesat, Nuh ‘alaihissalam terus mendo’akan anaknya hingga hasilnya Allah tenggelamkan Kan’an.
Nabi Luth ‘alaihissalam yang tak pernah berhenti mengingatkan istrinya yang membangkang, hingga hasilnya Allah binasakan istrinya bareng kaum Sodom.
Asiah binti Muzahim, tertatih-tatih mengingatkan suaminya Fir’aun hingga hasilnya ia sendiripun dibunuh oleh Fir’aun.
Habil yang tak pernah letih untuk terus menasehati kakaknya Qabil, hingga hasilnya Habil pun dibunuh oleh Qabil.
Dan dongeng para sobat Rasulullah lainnya, yang menyodorkan bahwa sejatinya dakwah itu memanglah mesti menuntut pengorbanan sekalipun itu nyawa yang menjadi taruhan.
Tak peduli seberapa jauh ku mesti melangkah.
Yang saya tahu, saya mesti melangkah seberapapun yang saya bisa.
Tak peduli seberapa mempunyai pengaruh lagi saya mesti bertahan.
Yang saya tahu, saya mesti bertahan hingga tetes darah penghabisan.
Tak perduli seberapa banyak lagi air mata yang mesti saya tumpahkan.
Yang saya tahu, saya mesti bersabar. Dengan ketekunan yang indah.
Karena saya tahu bahwa kini Allah sedang menggendongku.
Allah memberiku ujian, untuk meninggikan derajatku.
Allah memberiku ujian ini, alasannya merupakan Allah tahu bahwa saya niscaya bisa menempuhnya..
“Bayti Jannati”
Tekad yang mempunyai pengaruh untuk menyebabkan rumahku selaku nirwana bagiku itu senantiasa saya usahakan segenap kemampuanku. Tidak bisa dengan cara yang ini, saya kerjakan dengan cara yang itu, dan saya percaya niscaya ada beribu-ribu cara biar sanggup menenteng cahaya Islam masuk kedalam rumahku.
Sekarang, yang diperlukan merupakan bermain anggun dalam menyampaikan. Jangan bersikap keras dan kaku dalam berdakwah. Karena sejatinya dakwah itu memberi pemikiran bukan menghakimi.
Hati yang sudah dipenuhi besarnya rasa cinta terhadap Allah, maka takkan lagi mudah merasa merana kalau sekadar terluka. Takkan mudah murung meski mesti mencicipi hal yang pedih..
Caci maki dari para pendengki bagai kidung dalam sunyi. Dan bunyi sumbang pun bagai indahnya suatu tembang.
Maka,bersabarlah dan istiqomahlah, alasannya merupakan kejujuran iktikad haruslah dibuktikan dengan ujian.
Demikianlah sunnatullah yang berlaku untuk hamba-Nya, kejujuran imannya mesti dibuktikan dengan ujian yang dihadapinya. Sebagaimana yang tercantum dalam Al Qur’an,
“Apakah insan mengira mereka dibiarkan untuk berkata ‘kami sudah beriman’ padahal mereka belum diuji. Kami sudah menguji orang-orang sebelum mereka maka Allah sudah mengenali semua orang yang jujur dan semua orang yang dusta (dalam imannya),” (QS. Al-Ankabut:2—3).
“Agar Allah menguji sesuatu yang ada dalam dada kalian dan menyaksikan yang ada di hati kalian,” (QS. Ali Imran:154).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membuktikan bahwa ujian sesuai dengan kadar keimanan seseorang. Dalam hadits dari Sa’ad bin Abu Waqqash radhiyallallah ‘anhu, dia bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah insan yang paling keras ujiannya?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “(Orang yang paling keras ujiannya adalah) para Nabi, kemudian yang di bawahnya dan yang di bawahnya. Setiap insan diuji sesuai dengan kadar agamanya. Jika mempunyai pengaruh agamanya maka kian keras ujiannya, kalau lemah agamanya maka diuji sesuai dengan kadar agamanya. Senantiasa seorang hamba diuji oleh Allah sehingga dia bisa berlangsung di atas permukaan bumi tanpa mempunyai satu dosa pun,” (HR. At-Tirmidzi, 4:601–602; dia berkata, “Hadits ini hasan shahih”; Ibnu Majah, 2:1334; Ahmad, 1:172,174,180,185; dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani di Silsilah Shahihah, 1:66 dan Shahih Ibnu Majah, 2:371).
Tulisan ini beredar secara trend di media lazim dan blog. Kami kesusahan menambahkan sumber pertama, tetapi kami mengutipnya dari: Sumber https://www.kabarmakkah.com
0 Komentar untuk "Andai Hidayah Dapat Dibeli"