Di dunia ini ada saja orang yang hidupnya senantiasa mujur dan bertambah lezat TANPA korupsi atau something like that.
Kepada mereka kita tidak perlu iri; mungkin garis tangannya telah dipathok demikian. Mudah-mudahan mereka masuk dalam kelompok orang-orang yang bersyukur.
Di bawah yaitu beberapa pola paribasan yang terkait dengan orang-orang yang mendapat kabegjan ini.
A. KABEGJAN (KEBERUNTUNGAN) YANG LANGKA
1. CIKAL APUPUS LIMAR
Cikal: Pohon kelapa yang masih muda (tunas kelapa). Pupus: Daun yang masih muda. Limar: Kain halus (sejenis sutera). Arti harfiahnya telah jelas, sesuatu yang langka: Bagaimana sanggup pohon kelapa bahkan masih muda sanggup berdaun kain sutera. Pengertiannya adalah: Keberuntungan yang amat langka. Contoh sederhananya: Saya berbelanja seekor ayam kampung untuk disembelih. Ketika membersihkan ususnya ternyata mendapatkan berlian sebesar biji jagung. Rupanya waktu masih hidup ayam itu sempat mematuk berlian yang barangkali lepas dari cincin pengikatnya.
Varian dari paribasan ini: (a) Cikal atapas limar (Tapas: Bagian pangkal dari daun yang membungkus batang sebenarnya. Silakan menyaksikan pohon jenis palem-paleman). (b) Gedhang apupus cindhe (Cindhe: Kain cindai)
Thenguk-thenguk: Orang yang sedang (duduk) tidak menjalankan apa-apa. Mungkin sambil ngantuk-ngantuk, fikiran terbang dan (barangkali) ada sebatang rokok terselip di jari atau bibirnya. Kethuk: Salah satu dari seperangkat gamelan Jawa, menyerupai kenong kecil.
Menggambarkan orang yang tidak melakukan pekerjaan tetapi banyak rejeki. Pertanyaannya adalah: Apa ya ada orang nganggur yang banyak untukngnya. Bukankah biar sanggup URIP dan MANGAN kita mesti NYAMBUTGAWE? (Baca: Urip,mangan dan nyambutgawe). Ada pemahaman yang lebih moderat untuk paribasan ini: Bekerja tidak ngaya tetapi rejekinya banyak.
Yang operasional mungkin menyerupai ucapan Mas Parmo (yang sedang duduk di teras sambil rokokan dan ngopi) waktu aku tiba bawa durian: “Wah-wah paribasan thenguk-thenguk nemu kethuk. Maturnuwun, maturnuwun Dhik”.
3. TIBA KASUR
Tiba: Jatuh. Sudah terang bahwa jatuh itu niscaya tidak enak. Tapi yang satu ini jatuhnya di atas kasur. Paling tidak kasur masih lunak dan jatuh di atas kasur masih jauh lebih lezat ketimbang jatuh di atas tanah terlebih jatuh di atas bebatuan.
Seorang yang digeser dari jabatan (yang boleh dibilang basah) ke jabatan lain (yang dibilang kering) niscaya dalam hati mengeluh (lupa bahwa jabatan itu amanah). Ternyata jabatan yang semula kering justru menjadi berair (tidak mesti dikaitkan dengan korupsi). Teman-temannya berkomentar: “Kalau dilihat track record-nya, dia itu senantiasa TIBA KASUR”.
4. MENANGI GAJIH
Gajih: Lemak; Rasanya gurih. Orang Jawa kalau makan sate atau gule, niscaya lebih senang yang ada gajihnya (karena niscaya mak nyusss ...) lupa kalau pada biasanya makan gajih sanggup mengakibatkan peningkatan kadar kholesterol, kegemukan, darah tinggi dan sakit jantung. Manusia yang gemuk lemaknya banyak. Semua yang kita makan kalau berlebih akan ditimbun selaku lemak. Misalnya keistimewaan makan dan kurang acara fisik.
Dalam paribasan ini pengertiannya: Orang yang mendapat enaknya (saja) tanpa mencicipi susah-payahnya. Sebagai catatan: Saat itu orang Jawa belum paham kalau “gajih” atau “lemak” sanggup mengakibatkan penyakit. Tahunya gajih itu enak. Sampai kini pun walau kholesterol tinggi, saat tertangkap tangan makan lemak banyak komentarnya ringan saja: “Kholesterol cuma di laboratorium”.
5. LEDHANG NEMU PEDHANG
Ledhang, leledhang: Terkait dengan orang yang sedang berlangsung ( Santai, tidak sedang dalam keadaan tergesa-gesa). Pedhang: pedang (sejenis senjata tajam). Mengapa diseleksi kata “pedhang” pastinya biar purwakanthi-nya pas: DHANG.
Dalam paribasan ini pengertiannya: Orang yang sedang tidak menjalankan apa-apa (sedang jalan lontang-lantung) mendapatkan keberuntungan besar (digambarkan dengan “pedang”).
6. NGLUNGGUHI KLASA GUMELAR
Nglungguhi: Menduduki (lungguh: duduk); Klasa: Tikar; Gumelar: Sudah dihamparkan (gelar: hampar).
Pengertiannya: Semua telah tersedia, tinggal menikmati dengan nyaman. Pertanyaannya adalah: Apakah “nglungguhi klasa gumelar” ini tergolong langka? Saya ketemu seorang teman dekat yang ahad kemudian dipromosikan. Dialognya kurang lebih menyerupai di bawah:
“Lancar Dik, kiprah barunya?”
“Yaaa .... tanpa hambatan kok Mas”
“Kalau gitu paribasan Nglungguhi klasa gumelar ya”
“Belum menyerupai itu Mas”
“Lho kok ......?”
“Yang aku ganti masih duduk di ruangan yang sebaiknya aku pakai dan kendaraan beroda empat dinas masih dia bawa”
Dilanjutkan ke: ORANG YANG “BEGJA” DAN “TAMBAH KEPENAK” DALAM PARIBASAN JAWA (2)
0 Komentar untuk "Orang Yang “Begja” Dan “Tambah Kepenak” Dalam Paribasan Jawa (1)"