Siapa di Indonesia ini yang tidak kenal “mentimun”. Mulai orang kecil hingga yang paling besar niscaya tahu dan mau melahap mentimun untuk aneka macam hidangan: lalapan, adonan pecel, rujak, acar, minuman, atau dikremus begitu saja. Lalapan minimal kuliner kaki lima biasanya 3K, salah satunya yakni Ketimun disamping Kemangi dan Kubis.
Dongeng Kancil yakni fabel orisinil Jawa. Salah satu judulnya yakni “Kancil nyolong timun”. Kemudian dipopulerkan dalam laris bawah umur “Si kancil anak bandel suka mencuri timun ....” Begitu tenarnya mentimun, dengan aneka macam nama tempat tapi penggunaannya sama semua dimana-mana: Sebagai sayuran atau obat (TOGA: Tanaman Obat keluarga).
Dengan adanya TOGA dan Lomba TOGA maka ibu-ibu PKK di Desa pun amat hapal dengan faedah mentimun ini. Mereka akan bawa kita keliling desa, menyaksikan Taman Toga yang sudah dilengkapi dengan papan kecil yang ada tulisannya. Salah satunya adalah: Mentimun (Cucumis sativus). Manfaat: Obat darah tinggi, obat deman, obat jerawat, pelancar kencing, pembersih kulit, obat bacin mulut, dan masih ada beberapa lagi.
Dalam ungkapan Jawa, mentimun digambarkan selaku sesuatu yang lemah. Kalau orang mengatakan: “Kulit saya ini kulit mentimun”, tujuannya kulitnya amat peka. Digigit nyamuk bentolnya besar, mudah alergi, pokoknya mudah kena ganngguan.
Demikian pula ada beberapa peribahasa Jawa yang mengambil mentimun selaku ungkapan yang menyediakan betapa lemahnya buah yang dinamakan mentimun ini
1. Masih ingat kata-kata “seperti cicak melawan buaya?” Nah disini ada ungkapan “Kaya timun mungsuh duren” Seperti mentimun melawan durian. Tentusaja menang durian. Mentimun kulit buahnya amat tipis sementara durian selain berkulit tebal juga durinya merata dan tebal pula. Peribahasa ini menggambarkan orang lemah melawan orang yang jauh lebih kuat. Kemudian teman-temannya mengomentari “Lha ya kaya timun mungsuh duren”.
2. “Timun jinara”. “Jinara berasal dari kata “Jara” diberi sisipan in yang mengandung arti kata kerja “di”. “Jara” sendiri artinya “bor”. Makara pengertiannya “Seperti mentimun dibor”. Mentimun kok dibor, ya tanpa energi samasekali. Menggambarkan sebuah pekerjaan yang amat mudah dilakukan, menyerupai tinggal membalikkan telapak tangan.
3. Satu lagi peribahasa dengan mentimun adalah: “Timun wungkuk jaga imbuh”. Timun wungkuk yakni mentimun yang bentuknya tidak bagus. “Wungkuk” yakni bongkok. Makara tujuannya mentimun yang bengkok, atau permukaannya tidak rata, dan kira-kira ukurannya lebih kecil dari yang biasa. “Imbuh” yakni “tambah”. Kalau kita ke pasar tradisional, beli mentimun, dapat per biji maupun kiloan, biasanya ibu-ibu akan bilang “Mbok diimbuhi”. Maka si pedagang tanpa berpikir macam-macam akan memperbesar satu. Mereka sudah punya mentimun yang dipakai jaga-jaga untuk imbuh ini. Tapi harap maklum bahwa imbuhnya pasti bukan ketimun besar yang cakep bentuknya. Maksud peribahasa ini sudah jelas. “Timun wungkuk” menggambarkan orang yang prestasinya tidak terlampau tinggi, tapi dimasukkan dalam tim untuk pelengkap. Waktu SD saya juga pernah jadi “timun wungkuk” ini waktu pertarungan kasti. Daripada kurang satu.
“Bapak ini jus mentimun ramuan khusus kami”, demikian ibu-ibu PKK di desa menghidangkan dalam gelas besar, sambil menceriterakan cara membuatnya. Saya lupa campurannya apa, yang terang mentimunnya dua biji. Kalau tidak saya minum dan habiskan mereka niscaya kecewa. Apalagi waktu itu (sudah usang lampau) saya sedang supervisi alasannya yakni desa tersebut masuk nominasi untuk dikunjungi tim penilai tingkat pusat. Rasanya sih enak, cuek dan segar lagi. Tapi di jalan nanti saya niscaya kebelet kencing sesuai dengan salah satu manfaatnya, memperlancar kencing. Apalagi ketimunnya dua biji (IwMM)
0 Komentar untuk "Mentimun (Timun) Dalam Sebutan Jawa"