Kalau ada “cangkriman” (teka-teki): Kecil jadi kawan besar jadi lawan, lazimnya kita akan menjawab dengan segera jawabannya “api” atau kita katakan “geni” jika menjawabnya dalam bahasa Jawa.
Api merupakan sesuatu yang menyala, panas, memperabukan dan bisa merambat kemana-mana jika tidak dikendalikan.
Jaman masih jadi pramuka dulu, jika ada program malam maka kita bikin api unggun sambil berpuisi dan nyanyi. Sebenarnya tidak usah jadi pramuka, di desa dulu, jika kumpul malam-malam omong klobot di luar rumah, kita biasa "bediang" yakni menghangatkan tubuh dengan api, sambil memperabukan jagung atau ketela pohon.
Di bawah merupakan beberapa ungkapan dalam bahasa Jawa yang menggunakan “geni” selaku perumpamaan:
1. “Nggeni”. Berperilaku mirip api dalam sifat menjalarnya. Misalnya puntung rokok menyala kita buang begitu saja di hutan, maka besar alhasil api menyala, memperabukan dan merambat hingga jauh. Demikian pula apabila suatu rumah terbakar, maka satu kampung bisa ikut ludes dikonsumsi si luar biasa merah. Orang yang “nggeni” merupakan orang yang permintaannya merambat kemana-mana. Contoh ekstrimnya, pernah saya ceriterakan waktu saya bertugas di Somalia 20 tahun yang lalu, pemuka penduduk di suatu desa, alasannya merupakan banyak korban luka akhir perang, minta diberikan seperangkat alat bedah minor. Setelah kita setujui, beliau mereka diberi sterilisator listrik, kemudian minta generator untuk menggugah listriknya, kemudian rumah generatornya biar aman. Batin saya waktu itu “wah nggeni ini”.
2. “Geni pinanggang”. Ya, api sudah panas masih dipanggang. Tentunya ini merupakan sesuatu yang panas, ditambahi panasnya. Apalagi jika bukan hati manusia. Penjelasannya sederhana saja. Ada orang moodnya sedang tidak baik, kemudian ada yang tiba mengadukan sesuatu informasi yang tidak menyenangkan. Ya sama saja dengan menuang bensin dalam api. Marah akan kian menyala. Biasanya di kantor jika kita mau menghadap pimpinan, cari info dahulu atau tanya sekretarisnya, “mood bapak di saat ini bagaimana?” Kalau sedang "geni pinanggang" kita cari waktu lain, kecuali memang "cito" pakai "banget".
3. “Idu geni”. Idu merupakan ludah. Orang kok meludahkan api, kan terbakar yang kena percikannya. Perumpamaan ini menggambarkan orang yang omongannya banyak menjadi kenyataan. Ya memang ada orang mirip ini, sehingga keder juga jika kita berhadapan dengan orang yang paribasannya "idu geni ini". Jangan hingga beliau murka dan mengumpat “mampus lu!”
4. “Ora ana geni tanpa kukus”, tidak ada api tanpa asap, dapat juga dibalik “ora ana kukus tanpa geni” rasanya sudah jelas: Tidak ada insiden tanpa informasi dan tidak ada informasi tanpa kejadian. Soal kadar kebenaran informasi dan kejadiannya berapa persen, itu ceritera lain.
5. “Duk sandhing geni”, ijuk bersanding dengan api. Maksudnya memberi pitutur biar perempuan dan lelaki waspada dalam pergaulan. Ada risiko terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, mirip ijuk yang berdekatan dengan api. Ada angin, bisa terbakar.
Ada risiko jika kita mengabaikan “geni” ini. Ia tidak hanya membakar, tapi juga merambat. Saya ingat pepatah bahasa Inggris yang menggunakan "api" selaku perumpamaan: “Jump from the frying pan to the fire”, dari kondisi buruk ke kondisi yang lebih buruk lagi. Makara api perlu dikendalikan. Sekali lagi, hati-hati dengan api. Pada jaman pergantian nilai mirip ini, api juga mengikuti kelakuan manusia. Kata orang-orang yang jauh lebih bau tanah dari saya, pada jaman dahulu tidak ada api makan "ban bekas", terlebih melahapnya siang bolong di jalan raya (IwMM)
0 Komentar untuk "Api (Geni) Dalam Sebutan Jawa"