Mrangkani Kudhi Dan Administrasi Stakeholders

“Kudhi” yakni senjata semacam golok khas Banyumas. Ciri utamanya yakni bab perut yang membulat. Kegunaannya serbaguna. Silakan coba, mulai dari membelah, menghaluskan, mencungkil, memukul, semua bisa. Menurut Poerwadarminta, 1939, Kudhi dikatakan selaku semacam sabit yang bab tengahnya membulat. Dalam dunia pewayangan, maka “kudhi” yakni senjata yang dibawa oleh Bagong. Dalam bayang-bayang silhouette dengan sedikit imajinasi, maka terlihat samping bayang-bayang perempuan hamil yakni mirip “kudhi”
 
Tanpa gambar, bagi yang tidak kenal “kudhi: tetap akan sulit membayangkannya. Melalui goresan pena ini saya  mohon ijin memasang gambar kudhi dari goresan pena FILOSOFI KUDHI:  Senjata Khas Banyumas dari Wong Ndeso Blog.  isinya bagus. Membaca itu, kita akan paham filosofi “Kudhi” bagi rakyat Banyumas.
 
“Mrangkani” yakni memberi rangka atau sarung. Melihat bentuk “kudhi” yang mirip gambar sebelah pastinya tidak segampang itu berbagi sarung untuk “kudhi”. Terkait dengan “mrangkani kudhi” selaku peribahasa, maka “kudhi” diumpamakan selaku insan yang mesti kita “manage” sehingga ia mendukung kegiatan kita. Dalam bahasa administrasi sehari-hari proses “manajemen stakeholders”, demikian pula “negosiasi” boleh disamakan dengan “mrangkani kudhi”.

Melihat bentuk "kudhi" mirip pada gambar sebelah, pastinya untuk "mrangkani kudhi" tidak semudah "mrangkani keris".


MRANGKANI KUDHI
 
“Wrangka” yakni sarung (khususnya senjata) “Mrangkani” yakni memberi sarung. Dalam bahasa kiasan “mrangkani” ditujukan untuk “momong” orang lain. Padmasukaca, Sarine Basa Jawa, 1967, menerangkan arti “mrangkani kudhi” yakni bisa “momong orang yang sulit”. Sedangkan Padmasusastra, dalam Serat Madubasa, 1912 menyebutkan bahwa orang yang dapat “mrangkani kudhi” yakni orang cerdas yang dapat “momong” dalam hal bicara dengan orang lain. Tidak mesti momong pimpinan. “Mrangkani kudhi” juga disebut dalam hikmah kancil terhadap Srenggi dalam Serat Kancil Kridhamartana, karya R Panji Natarata.
 
Ki Padmasusastra, dalam Serat Madubasa, 1912 memberi kiat selaku “entry” untuk “mrangkani kudhi, beberapa umpamanya antara lain:

  1. Dengan Pengrajin: Harus bisa bicara ihwal benda-benda kerajinan yang elok dan yang jelek, yang patut disanjung dan patut dikritik
  2. Dengan Petani: Harus bisa bicara perihal tanah yang subur dan tidak subur, tanaman yang tepat untuk tanah dan demam isu tertentu, pergantian cuaca, dll.
  3. Dengan pedagang: Harus tahu komoditas yang menguntungkan dan maju mundurnya perdagangan
  4. Dengan penegak hukum: mesti bisa membahas ihwal susahnya mengusut suatu perkara
  5. Dengan wanita: Harus mengetahui tatasusila.
Intinya yakni komunikasi, dengan menjajal gali lewat sudut pandang mereka, bukan dari pandangan pribadi kita. Kaprikornus untuk bisa "mrangkani kudi" maka orang mesti bisa "tepa selira", bisa menempatkan diri kita dalam posisi mereka.

 
MANAJEMEN STAKEHOLDERS
 
Secara lazim “stakeholders” yakni individu atau golongan yang berkepentingan dengan hasil kerja kita. Hal ini bukan barang praktis alasannya yang mesti kita kelola yakni manusia, bukan suatu metode yang dalam kontrol kita. Stakeholders bisa mendukung jikalau menyaksikan hasil kerja kita akan menguntungkan mereka.  bisa sebaliknya, malah menentang jikalau yang kita jalankan mengancam keberadaan mereka. Bisa juga hirau alias tidak acuh jikalau merasa tidak ada korelasi dengan mereka. Padahal ternyata ada. Dia bisa menentang atau mendukung.
 
Tujuan kita yakni menciptakan yang tidak acuh dan menentang, pada alhasil mendukung apa yang kita lakukan. Dengan demikian lancarlah jalan kita mulai proses hingga selesai. Tidak ada duduk problem kini maupun di kemudian hari. Caranya yakni komunikasi. Tetapi sebelum komunikasi. Kita kenali dahulu siapa pun para stakeholders itu, karakternya bagaimana, keperluan dan impian mereka mirip apa,  lalu kita persiapkan strateginya bagaimana, sehabis itu barulah kita menjalankan komunikasi dua arah. Dituntut kesanggupan advokasi dan komunikasi yang baik.
 
 
KESIMPULAN
 
“Mrangkani kudhi” yakni peribahasa Jawa yang telah cukup usang uesianya. R Panji Natarata konon hidup pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana yang ke V, VI dan VII. Tulisan Ki Padmasusastra pada tahun 1912 pada dasarnya yakni bagaimana bicara dengan orang lain mudah-mudahan mendukung kita. Saya mengenal teori stakeholders kira-kira tahun 1990 awal. Pengertiannya nyaris sama, bagaimana mengurus orang. Tujuannya kira-kira juga sama: “win win solution”. Intinya, "mrangkani kudhi" yakni memberi sarung pisau. Dalam hal ini kita siap bernegosiasi dengan orang sulit maupun berdiplomasi dengan orang keras.
 
Ada satu lagi peribahasa dengan “kudhi” yakni “kudhi pacul singa landhepa”. Dua-duanya benda tajam, kok diadu. Ya tinggal mana yang lebih cerdas yang mau menang. Tapi ini menjadi “win lose solution”. Ada satu pihak yang dipecundangi. Mengapa mesti ada yang kalah, kalau kita ingin menciptakan sesuatu yang memiliki pengaruh jangka panjang, yakni  "menang tanpa ngasorake"
 
Terakhir, mengapa nenek moyang kita memutuskan “kudhi” dan bukan senjata lain selaku tuladha untuk “diwrangkani”. Kira-kira terkait dengan manfaatnya yang “multipurpose” dan bentuknya lainnya dibandingkan dengan yang lain. (IwMM)

Related : Mrangkani Kudhi Dan Administrasi Stakeholders

0 Komentar untuk "Mrangkani Kudhi Dan Administrasi Stakeholders"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)