Pengertian biasa “ngawula” yakni “mengabdi”. Kepada siapa? Ya terhadap siapa pun yang kita akan “suwita” (mengabdi). Merujuk kisah-kisah jaman dulu, sehabis tamat belajar kanuragan maupun kaprajan pada seorang resi di gunung nun jauh di sana, di kawasan yang adoh ratu cedhak kerikil maupun adoh lurung cedhak lutung, maka ksatria muda kita turun gunung untuk ngawula terhadap raja. Jaman kini barangkali ikut test CPNS bila ingin ngawula selaku abdi negara. Pengertian “ngawula” bahu-membahu mengabdi terhadap siapa saja, tidak mesti pemerintah. Yang namanya pembantu rumah tangga juga ngawula terhadap induk semangnya.
Yang terang “Ngawula” itu tidak gampang. Tidak mungkin orang yang tidak mempunyai janji dan kompetensi nol bisa ngawula dengan baik. Atau lebih lengkap lagi tidak mungkin “ngawula” kita diterima bila salah satu dari empat hal ini tidak kita miliki: Kepandaian, Kerajinan, Kesehatan dan Budi luhur (Baca: Empat hal yang dihentikan hilang dari manusia: Kewasisan, taberi, kebijaksanaan rahayu, kasarasan).
Sri Pakubuwana IV dalam Serat Wilangreh lewat pupuh Maskumambang bait ke 21-25 epada mereka yang akan ngawula selaku berikut:
Hal ini diterangkan pada bait ke 21 bahwa siapapun mereka (nora beda putra santana wongcilik) karena namanya abdi (pan kabeh namaning abdi) , jikalau berbuat salah hukumannya sama (yen dosa ukumane padha). Hal ini sekaligus juga mengingatkan para boss yang dikawulani atas pesan-pesan anti kongkalikong dan anti nepotisme Sri Susuhunan. Lengkapnya bait ke 21 selaku berikut:
2. YANG MERASA ANAK ORANG BESAR DILARANG SOMBONG
2. YANG MERASA ANAK ORANG BESAR DILARANG SOMBONG
Pada bait ke 22 dan 23 Sri Pakubuwana IV sekali lagi mengingatkan secara khusus sikap belum dewasa petinggi yang ngawula: Jangan menyombongkan diri dengan beking nama bapaknya (ngungasaken yen putra sentaneng aji) , pada alhasil akan celaka (tan wurung anemu papa). Orang mengabdi mesti tahu apa yang ia laksanakan (wong suwita nora keni kudu weruh ing karyanira).
3. LAKSANAKAN PERINTAH DENGAN PENUH TANGGUNGJAWAB
Merupakan pesan biasa terhadap semua yang mau ngawula. Dapat dibaca pada bait ke 24: Bila diberi kiprah oleh pimpinan (sang maha narpati) semua mesti dilakukan (sabarang tuduhnya iku estokena ugi) dan laksanakan dengan sarat tanggungjawab (karyanira sungkemana).
4, 5, 6, 7. TIDAK TOLAK PERINTAH, RAJIN HADIR, TIDAK BOLOS, TIDAK MALAS
3. LAKSANAKAN PERINTAH DENGAN PENUH TANGGUNGJAWAB
Merupakan pesan biasa terhadap semua yang mau ngawula. Dapat dibaca pada bait ke 24: Bila diberi kiprah oleh pimpinan (sang maha narpati) semua mesti dilakukan (sabarang tuduhnya iku estokena ugi) dan laksanakan dengan sarat tanggungjawab (karyanira sungkemana).
4, 5, 6, 7. TIDAK TOLAK PERINTAH, RAJIN HADIR, TIDAK BOLOS, TIDAK MALAS
Pesan nomor 4-7 terdapat pada bait ke 25 pupuh Maskumambang, adapun penjelasannya: 4. mèngèng ing parentah: Menolak perintah; 5. pêthêl aseba: Rajin hadir; 6. malincur ing kardi: Bolos kerja; 7. ngêpluk asungkanan: Malas kerja
CATATAN: Pengertian “ngepluk” yakni orang yang tidak tahu malu. Dalam hal ini ia tidak merasa aib jikalau ia malas. Sedangkan yang dimaksud dengan “sungkanan” disini bukan orang yang merasa segan atau aib hati, melainkan “ogah” alias malas melakukan (Poerwadarminta).
PENUTUP
Mampukah kita melakukan tujuh pesan itu? Atau bila kita tidak tergolong keluarga petinggi, kira-kira apakah butir 3 s/d 7 sanggup kita laksanakan dengan baik? Kalau kita memang “hangrasa wani” untuk ngawula apakah kita telah “mulat sarira” (introspeksi diri) dengan jujur? Perlu dikenang bahwa butir 3 s/d 7 di atas yakni “input” seorang kawula untuk menciptakan “kinerja” yang baik. (IwMM)
Dilanjutkan ke Serat Wulangreh, Pesan Untuk Ngawula (2): Ngepluk Asungkanan
0 Komentar untuk "Serat Wulangreh, Pesan Untuk Ngawula (1): Ngawula Tidak Gampang"