Ajining Raga Dumunung Ana Ing Pakaian Dan Ajining Diri Dumunung Ana Ing Lathi

Aji: bernilai, berharga; Dumunung ana: terletak di; Busana: pakaian; Lati: bibir. Ringkasnya, tubuh kita dinilai dari busana yang kita kenakan dan pribadi kita dinilai dari ucapan kita.

Dua sebutan ini senantiasa saya “two in one” kan. Karena jika cuma disebut “ajining raga” saja orang sering lupa “ajining diri” yang justru lebih penting. Sebaliknya jika disebut “ajining diri” saja, ada yang kemudian melalaikan “ajining raga”. Padahal hidup jaman kini ini gebyar fisik bangun di depan. Contohnya jika kita kedatangan tamu berdasi terlebih pakai jas, bagaimanapun kita niscaya akan lebih segan dan lebih hormat terhadap tamu kita itu. Paling tidak pada permulaan kedatangannya.


Ajining diri dumunung ana ing lati” tidak banyak saya kupas disini alasannya merupakan sudah terbahas pada posting-posting terdahulu, umpamanya “aja omong waton nanging ngomonga nganggo watonkemudian “kakehan gludhug kurang udandan masih ada lagi, tergolong dalam “kumpulan pitutur”. Masalah “bicara” ternyata penting sekali dalam kehidupan manusia.

Orang akan lebih gampang menangkap dan menindaklanjuti pitutur “ajining raga dumunung ana busana” sekaligus melalaikan pitutur-pitutur terkait lainnya. Bahwa hidup mesti “prasaja” (sederhana), “ngerti empan papan” dan lain-lain. Maka jadilah ia orang yang berpenampilan burung merak dimana saja dan kapan saja tanpa menyaksikan situasinya. Buntutnya ia menjadi sumber “rasan-rasan”. Orang “ngrasani” bergotong-royong tidak baik, namun orang menyerupai ini tampaknya memang layak “dirasani”.

Saya teringat tahun 1987 di atas KM Umsini perjalanan maritim dari Ternate menuju Surabaya. Pagi-pagi di dek ketemu seorang pria yang lebih bau tanah dari saya. Laki-laki ini ramah dan sikapnya kebapak-bapakan. Karena membawa gitar, maka saya sapa: “Bapak ini kegemaran musik atau memang pemusik?”

Dia tertawa: “Saya pastor”.

Kaget juga saya: “Wah, darimana saya dapat tahu, terlebih ngewer-ewer gitar di dek kapal. Kok tidak pakai busana pastor, Romo?”

Lha saya tidak sedang dinas, terlebih duduk-duduk disini pakai busana pastor apa nggak kelihatan aneh?” Lalu dilanjutkan lagi: “Adik sendiri profesinya apa?”

Dokter”, saya jawab dengan segan alasannya merupakan sudah meraba pertanyaan dia berikutnya.

Kenapa tidak pakai baju putih dan berkalung stetoskop?”

Kurang asem, saya jawab dalam hati.


Selanjutnya kita berdiskusi banyak mengenai pakaian. Intinya “ajining raga” memang “dumunung ana busana” sepanjang sesuai dengan suasana dan kondisinya.. Perhatikan “Time, person dan place” nya. Masa bertakziah macak gajah menyerupai mau pesta, atau sebaliknya, ke bak renang pakai formal dress padahal bukan program resmi di pinggir bak renang. Kalau menghasilkan undangan, akan amat membantu seandainya disebut sekalian pakaiannya apa. Casual kah? Batik lengan panjang? Formal Dress black and white? Dan jika kita bimbang sementara dalam seruan tidak disebut, jangan aib bertanya, kan tinggal telepon, ketimbang salah malah kisinan (merasa malu).

Nasihat pastor itu memang meresap di hati saya. Di kemudian hari kendaraan beroda empat senantiasa siap dengan aneka macam jenis pakaian. Kalau mesti penyajian di depan orang banyak, sepatu selalu disemir dulu. rambut dirapikan, busana prasaja tetapi rapi. Tidak pakai minyak wangi tetapi dijaga biar kedaluwarsa tubuh tidak muncul. tentusaja antisipasi untuk presentasinya mesti prima. Tidak ada gunanya rapi jika bego di atas podium. Raga dan diri dua-duanya malah jadi tidak aji. Itu ceritera dulu, sebelum pensiun.

Kita kembali ke dek kapal Umsini.

Dok, jika ingin beli mobil, pribadi beli atau merencanakan garasinya dulu?

Saya berpikir sejenak. Romo ini niscaya tidak asal tanya. “Seharusnya garasi dahulu Romo, gres kendaraan beroda empat masuk”.

Lalu jika ingin jadi pejabat, apa mesti siap jas dulu?”

Saya tidak berani cepat-cepat menjawab. “Ya, Romo. Harus siap busana agar tidak nabrak-nabrak. Hanya saja busana insan itu ada dua. Yang satu merupakan yang dikenakan untuk membungkus tubuhnya waktu dilantik dan yang satu lagi merupakan Iman untuk membungkus jiwanya selama melaksanakan tugas”.

Romo tertawa hingga batuk-batuk. Setelah berhenti batuknya dia melanjutkan: “Jangan lupa mesti punya jas, saya doakan sebuah di saat jadi somebody, syaratnya jangan lewati Sholat (Beliau tahu jika agama saya Islam)

Saya tidak ketemu Romo itu lagi hingga di saat malam terakhir, di ruang makan sebelum esok pagi kapal sandar di Surabaya. Beliau yang menyaksikan saya lebih dahulu, kemudian saya hampiri.

Kalau saya kemarin berpakaian pastor, kita tidak akan bicara mengenai busana menurut pituduh dan pitutur Jawa”. Romo itu memandang saya sejenak. “Ngomong-omong adik tidak menyaksikan sesuatu yang tidak beres dalam tubuh saya?”

Saya dokter, Romo. Walau bukan spesialis. Tapi niscaya akan luput dari perhatian orang awam”. (Tentu saja saya melihat, entah kapan Romo pernah kena stroke, walau sudah nyaris pulih namun jejak stroke masih terlihat di mata seorang dokter).

Kenapa kemarin dahulu tidak menanyakan?”

Bukankah Romo ingin melalaikan penyakit itu?” Jawab saya. “Dan Romo berani naik kapal sendirian. Kalau saya tanyakan hal ini, Romo akan merasa belum sembuh”.

Romo itu menawan napas panjang. “Saya berlatih dengan kemauan keras. Gitar ini saya gunakan untuk melatih jari-jari tangan saya. Orang yang tidak tahu, menduga saya menuntut ilmu gitar. Main di dek itu bagus, alasannya merupakan bunyi sumbangnya tidak kedengaran. Anda anak muda yang bijak”. Romo itu memuji saya dengan tatapan sungguh-sungguh.

Tidak juga Romo, Kalau kita bicara penyakit, pasti ada ongkos konsultasi”. (IwMM).

Related : Ajining Raga Dumunung Ana Ing Pakaian Dan Ajining Diri Dumunung Ana Ing Lathi

0 Komentar untuk "Ajining Raga Dumunung Ana Ing Pakaian Dan Ajining Diri Dumunung Ana Ing Lathi"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)