Tembang Gundhul-Gundhul Pacul

Gundhul: Bisa bermakna kepala, bisa pula bermakna kepala yang dicukur plonthos. Pacul: Alat untuk mencangkul. Lalu apa maksud “Gundhul-gundhul pacul?”. Secara harfiah tidak bermakna apa-apa kecuali adanya sinonim yang pas. Saya punya rumus, bila diterjemahkan tidak pas namun padanan katanya pas, niscaya ada makna filosofisnya. Ternyata maknanya amat dalam dan ceritera saya juga agak panjang. Mohon tidak bosan.
 
 
SEBAGAI TEMBANG DOLANAN

Lirik lagu “Gundhul-gundhul pacul” adalah selaku berikut:

Gundhul-gundhul pacul (cul), gembelengan; nyunggi-nyunggi wakul (kul), gembelengan; wakul ngglimpang segane dadi sak ratan; wakul ngglimpang  segane dadi sak ratan.

Uniknya lagu “Gundhul-gundhul pacul”, bila kita nyanyi sendirian, embel-embel kata “cul” tidak pernah ada. Tetapi begitu kita nyanyi rame-rame, maka kata “cul” niscaya keluar bahkan dikeraskan pengucapannya. Benar-benar terlihat lahirnya merupakan “lagu dolanan”. Tapi mari kita lihat lebih lanjut.

Gembelengan: berlangsung sambil kepalanya bergoyang-goyang, melambangkan orang yang sombong; Nyunggi: menenteng barang dengan menaruh di atas kepala; Wakul: bakul daerah nasi; Ngglimpang: terguling; Sega: nasi, segane: nasinya; Latar: halaman rumah, sak latar: menyanggupi halaman. Saya kira artinya sudah terang sekali, menenteng bakul nasi di atas kepala sambil jalan gembelengan, kesudahannya bakul terguling dan nasinya tumpah menyanggupi halaman rumah. Ya, begitu saja namun tidak sekedar itu.
 
 
PITUTURNYA MENDALAM: PAPAT UCUL

Mohon maaf, kita mesti  kembali lagi ke “gundhul” dan “pacul”. Ada yang menyampaikan “gundhul pacul” adalah anak kecil. Rambut kepalanya digundhul namun gundhulnya tidak licin, pitak seumpama bekas dipacul. Pengertian lain yang lebih mendalam adalah, Gundhul: kepala; kepala melambangkan kehormatan. Pacul: di atas sudah disebutkan selaku alat untuk mencangkul. Pengguna setia pacul merupakan rakyat kecil. Jadi: kehormatan kita (sebagai pemimpin) terletak pada kesanggupan kita mengayomi rakyat kecil. Pacul yang berupa sisi empat juga merupakan ringkasan dari “Papat ucul” (papat: empat; ucul: lepas), empat hal yang lepas. Dengan demikian apabila si Gundhul ingin mempertahankan kehormatannya dengan ngayomi kawula alit, dia mesti betul-betul bisa mempertahankan “empat hal”,yaitu mata, telinga, hidung dan mulut  jangan hingga terlepas.

(1) MATA digunakan untuk menyaksikan kondisi kawulanya. Melihat dengan mata milik kepala sendiri. Dengan demikian bisa menyaksikan eksklusif kondisi rakyat seumpama apa. Bukan bermakna pimpinan sangsi terhadap bawahan, namun rekonfirmasi itu perlu.

(2) TELINGA selaku organ pendengar dipakai untuk mendengar bunyi rakyat. Suara rakyat yang masih asli. Suara yang belum diperindah lewat sentuhan studio.
(3) HIDUNG,  tentusaja dipakai untuk mencium bau. Bau dalam arti sebetulnya maupun dalam arti kiasan. Kita masuk ke sebuah daerah bila tercium amis tidak sedap niscaya disitu lingkungan tidak baik. Lingkungan yang tidak baik tidak sehat untuk rakyat. Bau dalam arti kiasan merupakan hasil reaksi dari menyaksikan plus mendengar. Dengan menyaksikan dan mendengar pemimpin akan mencium amis semerbak kebahagiaan atau amis busuk dukanestapa.
(4) MULUT. Setelah melihat, mendengar dan membaui sendiri, maka verbal tidak akan salah ucap. Ingat bahwa “ajining diri dumunung ana ing lati” Alangkah kasihan seorang pemimpin bila ia salah ucap alasannya merupakan salah informasi. Tetapi bila sudah melihat, mendengar dan mencium baunya dari mata, indera pendengaran dan hidung yang berada di kepala (gundhul) dia sendiri, maka verbal yang tempatnya satu lokasi niscaya bisa bersuara dengan bijak, adil dan benar.
Ini gres “gundhul-gundhul pacul”nya. Ditinjau dari dua sisi, yang pertama merupakan anak kecil dan yang kedua orang remaja tergolong pemimpin. Semua orang pada hakekatnya merupakan pemimpin. Kepala keluarga, Penyuluh pertanian, Lurah, kepala Puskesmas, Guru, dan seterusnya hingga yang paling tinggi.


GEMBELENGAN DAN NYUNGGI WAKUL
Saya lanjut ke “gembelengan” dan “nyunggi wakul”. Orang gembelengan yang jalan dengan kepala bergoyang-goyang, gela-gelo dan tolah-toleh, kadang tengadah, menggambarkan keangkuhan dan semaunya sendiri. Bayangkan orang berlangsung seumpama itu kok “nyunggi wakul”. Kan beresiko numplek. Ini gres bakul nasi yang tidak terlampau besar dan tinggi. Kita lihat sejenak perempuan Bali yang “nyunggi sesaji” di atas kepalanya. Sampai tinggi segitu, tidak jatuh. Tapi lihat jalannya. Tegak dan anggun.
Dalam pemahaman gundhul yang masih bocah, gembelengan  bisa dimaafkan. Anak kecil kan belum punya beban dan tanggung jawab. Kepalanya masih ringan seumpama balon gas. Tapi bila sudah remaja dan jadi orang, tidak boleh keras gembelengan. Dalam hal ini pemahaman “wakul” selaku wadah nasi, merupakan tanggungjawab atas kemakmuran rakyat. Bagaimana seseorang bisa mempertahankan amanah itu bila kelakuannya “gembelengan”.
Risiko “gembelengan” merupakan “wakul ngglimpang” dan “segane dadi sak latar”. Jelas sekali makna pitutur para sesepuh. Nasi yang tumpah di halaman, niscaya kotor dan potensi terkotori bibit penyakit besar sekali. Tercerai-berai tidak dalam satu bakul lagi, kemudian ayam pun berdatangan. Tidak cuma mematuki butir-butir nasi yang berserak, namun juga mengais-ngais dengan cakarnya yang kuat. Semua menjadi semrawut balau. Gagallah kita mengemban amanat rakyat.

KESIMPULAN
Itulah “Gundul-gundul pacul”. Lagu yang sudah usang sekali ada, sederhana namun sarat makna. Konon diciptakan pada jaman para Wali, kemungkinan diciptakan oleh Sunan Kalijaga. Ada juga yang menyampaikan diciptakan oleh RC Hardjosubroto. Waktu kecil saya juga menyanyi itu tanpa tahu maknanya. Bu guru yang mengajarkan juga tidak memberi makna sedalam itu. Walaupun ada sesuatu yang dia ucapkan namun selaku bocah cilik tidak kita resapi, kecuali membayangkan bocah gundhul yang gembelengan. Ibu guru mengatakan: “Hati-hati bila menenteng sesuatu, terlebih nasi. Kalau numplek (tumpah) nanti didukani (dimarahi) ibu, dan "Dewi Sri" menangis.
Lagu “Gundul-gundul pacul”, yang dinyanyikan belum dewasa kecil dengan gembira, bahkan sering kali sambil menari-nari dengan akal-akalan menyunggi sesuatu sambil gembelengan,  ternyata mengandung pitutur yang dalam sekaligus bagi anak kecil dan orang remaja (IwMM)

Related : Tembang Gundhul-Gundhul Pacul

0 Komentar untuk "Tembang Gundhul-Gundhul Pacul"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)