Saya cuma sanggup memamerkan tenggang rasa terhadap kerbau. Posting saya kemarin berceritera tentang kerbau yang dianggap kurang cerdas dilanjutkan dengan kerbau yang kurang cerdas itu malah menyusu pada anaknya (gudel), kini kerbau dengan nuansa lain yakni “Aja cedhak kebo gupak. Aja: Jangan; Cedhak: Dekat; Gupak: Terkena sesuatu yang kotor.
Sebenarnya masih ada ungkapan dalam bahasa Jawa juga yang artinya sama: “Kebo gupak ajak-ajak”. Saya kurang suka dengan yang terakhir ini alasannya merupakan konotasinya kerbau aktif mengajak kita untuk kena kotoran. Padahal bukan maksud kerbau untuk mengajak kita menjadi kotor.
Kembali terhadap yang pertama, memang sudah menjadi risiko pekerjaan kerbau, untuk gupak kotoran. Dalam kiprah pokok dan fungsi kerbau untuk membajak sawah “so pasti” kerbau akan berlepotan lumpur. Kerbau akan “gupak” lumpur. Orang yang dekat-dekat kerbau “gupak” lumpur tentunya tergolong kalangan “high risk” untuk kecipratan lumpur.
Saya takjub dengan nenek moyang yang begitu cerdas mencari ungkapan sekaligus memberi makna. Kekecewaan saya cuma satu, kenapa cuma kerbau yang dipersonifikasi. Yang satu lambang kebodohan dan ini satu lagi arahnya ke perbuatan tidak baik. Bukankah untuk mewakili kurang cerdas ada hewan lain misalnya keledai? Tapi keledai bukan hewan orisinil Indonesia. Kaprikornus jikalau dikala ini pemerintah dengan sulit payah lewat aneka macam peraturan dan himbauan meminta kita menggunakan produk lokal, dahulu tidak usah diatur-atur kita senantiasa menggunakan produk lokal, paling tidak lewat kerbau. Mungkin juga nenek moyang kita dikala itu kurang menyaksikan dunia. Dalam bait terakhir lagu “Witing klapa” disebutkan: “Kula sampun jajah praja ing Ngayogya Surakarta” (Saya sudah menjelajah negeri di Yogya dan Surakarta).
Ya, cuma disitu-situ saja, seputar "Joglo", antara Yogya dan Solo.
Saya tidak mau melenceng lagi dari judul, makna ungkapan “Aja cedhak kebo gupak” adalah: Dalam pergaulan hidup carilah sobat yang benar. Jangan berteman dengan orang-orang yang berlepotan (gupak) dengan perbuatan yang melanggar hukum dan norma. Misalnya “Ma Lima”, Madat, Main, Maling, Minum dan Madon (Kecanduan, Judi, Mencuri, Mabok-mabokan dan main perempuan). Peluangnya besar untuk kecipratan perbuatan itu.
Ada sobat yang memberi komentar: “Bukankan orang-orang yang gupak ini justru mesti kita dekati, kita coba bersihkan mudah-mudahan kembali ke jalan yang benar?”. Jempol seribu untuk komentar ini. Memang mesti demikian bagi yang imannya kuat. Pesan adab nenek moyang kita lewat kerbau ini merupakan untuk penduduk biasa mudah-mudahan “hati-hati dalam memutuskan teman”. Dalam ilmu pengendalian penyakit kira-kira masuk upaya promotif dan sebagian preventif yang sanggup dijalankan sendiri oleh masyarakat.
EPILOG:
Kebo gupak orisinil yang “bukan” dalam arti kiasan sehabis selesai membajak akan dibawa ke air oleh gembalanya untuk berkubang sekaligus membersihkan diri. Setelah itu si gembala naik ke punggung kerbau (tentusaja sudah tidak gupak lagi) sambil berdendang atau meniup seruling, mengirim ke kandang, menawarkan santap malam dan menyilakan istirahat malam. Kerja keras untuk gupak lagi menunggu esok pagi (IwMM).
Dilanjutkan ke Kebo (4) Kebo Kabotan Sungu
0 Komentar untuk "Kebo (3): Aja Cedhak Kebo Gupak"