Kabotan: Abot: berat; Sungu: tanduk. Kalau kita menyaksikan tanduk kerbau dan kita bandingkan dengan tanduk sapi atau banteng, memang berbeda. Tanduk kerbau lebih-lebih kerbau Toraja, jauh lebih besar ketimbang tanduk sapi atau banteng. Posisi tanduk kerbau pun bukan posisi tempur menyerupai tanduk banteng, sementara posisi tanduk sapi lebih netral.
Melihat kerbau jalan yang kepalanya lebih banyak tunduk seperti ia memang menyangga beban (tanduk) terlalu berat. Padahal gaya kerbau memang demikian. Bagaimanapun itu ungkapan yang bagus. Rusa tidak terlampau erat dengan manusia, dan jikalau dijadikan ungkapan dengan tanduk indah yang bercabang-cabang rusa tetap tegak dan larinya tetap kencang.
“Kebo kabotan sungu” melambangkan orang atau keluarga yang terlalu berat menyangga beban hidup. Umumnya dikaitkan dengan anak atau hutang yang terlalu banyak. Dulu jaman gencar-gencarnya kampanye KB, kata-kata “kebo kabotan sungu” ini cukup ampuh untuk membuka pengetahuan penduduk terutama di desa yang menggunakan bahasa Jawa. Bukan sebutan yang ndakik-ndakik dan menggunakan teladan hewan yang erat dalam kehidupan masyarakat.
Masalahnya yakni menampilkan kesadaran bahwa kita “kabotan sungu” Kalau tadi dibilang apakah si kerbau merasa keistimewaan beban? Maka pertanyaan yang serupa juga aku ejekan pada manusia: “Apakah insan merasa kabotan sungu?” Jawabannya sanggup berbelit belit. Di desa yang masih ada kerbaunya potensi kita memperoleh respon “inggih” lebih besar ketimbang di kota yang gambar kerbau saja telah sukar didapatkan.
Ketika Rumah Sakit bermetamorfosis Puskesmas besar dan Puskesmas menggelembung menjadi Rumah Sakit kecil rasanya juga tidak ada yang mengajukan pertanyaan apa lama-lama tidak menjadi “ kebo kabotan sungu?” Demikian pula dahulu dikala jadwal “Basic Seven” di Puskesmas membesar menjadi “Basic Seventeen” padahal jumlah tenaga Puskesmas kala itu lazimnya dibawah 10 orang, juga tidak terdengar keluh-keluh. Semua tetap melakukan pekerjaan menjalankan semua pekerjaan, cuma kinerjanya menyerupai apa perlu dievaluasi.
Orang kini makin pandai, penilaian kinerja pun sanggup dilihat eksklusif dalam satu dashboard di laptop. Bagus dan cepat. Hasil kinerja dinilai dengan angka 0 hingga 100, jikalau raport banyak merahnya memiliki arti kinerja buruk dengan segala resikonya. Apakah kinerja buruk sama dengan tidak sanggup kerja? Jangan-jangan alasannya kabotan sungu. Salah diagnosa sanggup fatal. Ibarat orang yang perutnya perih disuruh pembatasan makanan oleh dokter. Padahal unek-unek lambungnya bukan alasannya sakit maag tetapi alasannya lapar.
EPILOG:
Kerbau tetap berlangsung menunduk dengan tanduk besarnya. “Kabotan sungu” tidak ada kaitannya dengan kinerja. Kinerja kerbau tidak berubah sepanjang namanya masih kerbau. Kalau gajah mati meninggalkan gading, maka kerbau mati juga meninggalkan tanduk. Walaupun tidak semahal gading gajah dan tidak dijadikan peribahasa, tetapi dekorasi dari tanduk kerbau juga ada di toko cenderamata (IwMM).
Dilanjutkan ke Kebo (5) Kebo Bule Mati Setra
0 Komentar untuk "Kebo (4): Kebo Kabotan Sungu"