Mikul Dhuwur Mendhem Jero

Mikul: memikul; Dhuwur: tinggi; Mendhem: mengubur; Jero: dalam. Kalau diterjemahkan menjadi “Memikul yang tinggi dan mengubur yang dalam”. Ungkapan ini mengandung pitutur cara bersikap seseorang terhadap leluhurnya, terhadap pimpinannya dan satu lagi terhadap “tanah air”.

Mikul dhuwur”, pikullah yang tinggi tujuannya mudah-mudahan seseorang selalu menjunjung tinggi nama leluhur atau pimpinan. Sebaliknya “mendhem jero”, mengandung maksud mudah-mudahan kita melewatkan hal-hal kurang baik leluhur kita, pimpinan kita. Kuburlah yang dalam tak usah diungkap-ungkap lagi.
 

Pitutur ini mengandung pro dan kontra. Kalau bicara leluhur, mungkin kita akan setuju. Andaikan bapak dahulu penipu dan embah kala itu maling maka kita akan berusaha mudah-mudahan hal-hal buruk yang terjadi pada mereka tidak kita ekspose dan tidak akan pernah membahas, syukur bisa melewatkan samasekali. Sebaliknya hal-hal kecil terkait dengan kedahsyatan leluhur niscaya akan kita sosialisasikan kemana-mana. Misalnya bahwa embah saya dahulu berjuang keras siang malam mudah-mudahan anak-anaknya bisa sekolah, kesudahannya semua anaknya menjadi orang. Kalau kita mampu, kita bisa buat buku ihwal leluhur kita. Kalau kerja kerasnya menjadi maling, pastinya tidak kita ceriterakan. Andaikan terpaksa ceritera, mungkin yang kita ceriterakan bahwa embah kita dahulu maling budiman. Beliau cuma menyateroni rumah Belanda dan pegawai-pegawai Belanda saja.

Ceriteranya menjadi lain di saat kita mesti “mikul dhuwur mendhem jero” terhadap pimpinan. Bagi yang beropini bahwa pimpinan yakni pengganti orang tua, atau menyadari bahwa kita kini dapat menjadi seumpama ini tak lain yakni atas kebaikan pimpinan, maka kita akan beropini seumpama di atas. Tetapi bagi yang beropini buat apa “mikul dhuwur mendhem jero” kalau yang dipikul tidak kualitas dan banyak kelakuan yang tidak patut dicontoh, pastinya yang terjadi akan bertolak belakang. Pada potensi kita ngrumpi bareng teman-teman, baik sambil melakukan pekerjaan maupun di kantin, semua akan “ngrasani” tidak baik terhadap pimpinan. Mungkin di seberang sana telinga boss tiba-tiba terasa panas, yang kata orang Jawa ngalamat sedang “dirasani” orang.

Namanya “pitutur” memang tidak mesti diikuti. Pitutur bukan perintah. Makara siapa saja bebas menyeleksi perilaku masing-masing dalam “mikul dan mendhem”.

Satu hal yang jarang dibahas yakni “mikul dhuwur mendhem jero” terkait dengan “Cinta tanah air”. Siapkah kita berpendirian seumpama Kumbakarna (baca “Serat Tripama”) yang dengan tegas menyatakan “Right or wrong my country”. Ia serahkan nyawanya untuk ibu pertiwi. Ada suatu peribahasa dalam bahasa Indonesia “Dimana bumi dipijak disitu moral dijunjung”, ini yakni pernyataan “mikul dhuwur mendhem jero” yang amat mendalam terhadap bumi kawasan kita berpijak yang tak lain yakni tanah air kita.

Tulisan ini saya buat di cabin pesawat GA 609 Palu – Jakarta. Kebetulan saya membaca Koran Kompas 19 Nopember yang dibagikan Pramugari. Pada gunjingan KTT ASEAN dan ASIA TIMUR: Panser RI Amankan Pemimpin Dunia. Sebuah panorama membanggakan ..... cerita ihwal Panser Anoa bikinan RI. Apalagi dikala itu hadir pula presiden Obama. Inilah “mikul dhuwur”. Mudah-mudahan andaikata ada kelemahan-kelemahan panser itu, bukan bangsa kita yang menunjuk-nunjukkannya. Barulah itu yang dinamakan “mendhem jero”. Kalau ada kehabisan ya kita perbaiki tetapi tak usah kita menelanjangi diri. Perlu dicatat: ini berlainan dengan mengakui kehabisan atau kesalahan diri. Rasanya untuk “tanah air” kawasan berlindung di hari tua, kawasan final menutup mata, maka harus kita bela dengan semangat “mikul dhuwur mendhem jero” (IwMM).

Related : Mikul Dhuwur Mendhem Jero

0 Komentar untuk "Mikul Dhuwur Mendhem Jero"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)