Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Marwan Jafar mengatakan, pihaknya sudah mengerahkan banyak sekali daya upaya biar UU Desa sanggup terimplementasikan dengan maksimal. Bahakn lima hukum teknis berupa peraturan menteri desa (Permen Desa) sudah diterbitkan selaku tutorial dalam menemani implementasi UU Desa.
Masing-masing Permen Desa No.1/2015 wacana Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa; Permen Desa No.2/2015 wacana Pedoman Tata Tertib dan Mekanisme Pengambilan Keputusan Musyawarah Desa; Permen Desa No.3/2015 wacana Pendampingan Desa; Permen Desa No. 4/2015 wacana Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa; dan Permen Desa No.5/2015 wacana Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2015.
Berbagai upaya ini, kata Menteri Marwan, hanyalah belahan dari proses panjang untuk mengembangkan desa secara hakiki. Butuh kerja bareng dan sinergis antar komponen Pemerintah, akademi tinggi, jajaran Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa, dan organisasi penduduk sipil. Gerakan nasional Desa Membangun sanggup terjebak pada jalan buntu kalau kesibukan untuk desa dilaksanakan dengan pendekatan yang parsial, terlebih kalau semua pihak melakukan pekerjaan sendiri-sendiri dengan mengedepankan ego sektoral masing-masing.
“Kita mesti menyadari bahwa implementasi UU Desa merupakan kesibukan besar yang kompleks dan sarat tantangan. Kita memerlukan kolaborasi yang sinergis antar banyak sekali komponen Pemerintah, akademi tinggi, jajaran Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa, dan organisasi penduduk sipil,” tegas Menteri Marwan.
Kementerian desa, lanjut Menteri Marwan, sudah memetakan banyak sekali problem yang mesti diselesaikan dalam implementasi UU Desa. Sedikitnya ada enam tantangan besar dalam implementasi UU Desa.
Pertama, adanya fragmentasi penafsiran UU Desa di tingkat elit yang berimplikasi pada proses implementasi dan pencapaian mandat yang tidak utuh, bahkan mengarah pada pembelokan kepada mandat UU Desa.
“UU Desa tidak cuma mengamanatkan pengaturan wacana keuangan Desa yang salah satunya diwujudkan dalam bentuk Dana Desa. Tetapi juga termasuk legalisasi kepada kewenangan Desa, kolaborasi antar Desa, penguatan forum kemasyarakatan Desa, penetapan dan pemberdayaan Desa adat, partisipasi penduduk Desa, dan lain-lain. Semua ini mesti diimplementasikan secara utuh, sehingga amanat UU Desa sanggup terlaksana secara komprehensif,” tegasnya.
Kedua, di tingkat pemerintahan Desa terjadi pragmatisme yang mengarah pada hilangnya kreativitas dalam menggali sumber daya setempat di desa. Di satu segi Dana Desa menjadi berkah bagi Desa yang semestinya dimanfaatkan untuk meningkatkan kemandirian dan kemakmuran penduduk Desa. Namun di segi lain Dana Desa belum digunakan secara optimal untuk menggali sumber pendapatan gres lewat investasi produktif yang dilaksanakan oleh masyarakat.
“Akibat itu semua, Dana Desa terkesan menyebabkan ketergantungan baru, sebab belum digunakan untuk kegiatan yang sanggup menopang perekonomian penduduk setempat serta meningkatkan pendapatan orisinil Desa. Dan yang lebih parah lagi merupakan penggunaan Dana Desa masih melakukan replikasi atas “village project” sebelumnya yang bias pembangunan infrastruktur.
Ketiga, demokratisasi Desa masih menghadapi halangan praktek serba administratif. Aparatus Pemerintah Daerah condong melakukan langkah-langkah kepatuhan dari “Pusat” untuk mengendalikan Pemerintah Desa, tergolong dalam hal penggunaan Dana Desa. Padahal UU Desa sudah mengakui kewenangan yang dimiliki oleh Desa dalam mengontrol dan mengorganisir kepentingan penduduk menurut hak asal-usul, susila istiadat, dan nilai sosial budaya secara demokratis dan partisipatif.
“Di segi lain, demokratisasi Desa juga masih terkendala oleh lemahnya tingkat partisipasi yang substantif dan konstruksif dari penduduk Desa. Pada dimensi inilah pemerintah dan pemerintah kawasan semestinya berperan aktif untuk membina dan mempekerjakan penduduk Desa dalam rangka meningkatkan mutu partisipasi mereka.”
Keempat, proses pembangunan dan pemberdayaan penduduk Desa berhadapan dengan realitas penduduk perdesaan yang didominasi oleh penduduk miskin yang salah satu penyebabnya sebab struktur penguasaan dan pemilikan sumber-sumber agraria yang timpang. Masalah penguasaan rakyat atas tanah dan sumber daya alam belum terintegrasi dan menjadi basis dari proses pembangunan dan pemberdayaan desa. Masalah-masalah struktural menyerupai pertentangan agraria, kepastian hak Desa atas daerahnya dan kedaulatan dalam mengontrol ruang Desa belum tercermin dalam kebijakan pembangunan dan pemberdayaan Desa.
Kelima, partisipasi wanita dalam musyawarah Desa belum tersebar luas di Desa. Praktek pelaksanaan Musyawarah Desa condong patriarki, tugas wanita mengalami marjinalisasi saat mereka menyodorkan anjuran yang berhubungan dengan kepentingan tubuh, nalar, dan keberlangsungan hidupnya.
Keenam, tata ruang kawasan perdesaan yang mesti tunduk dengan tata ruang ala “Pemda/Dinas PU” condong tidak sebangun dengan aspirasi Desa-desa. Agregat dari pembangunan Desa skala setempat terkendala dengan contoh kebijakan Tata Ruang Perdesaan yang berpola “top-down”. Hal ini tidak jarang menyebabkan Desa kehilangan saluran sumber daya jawaban kebijakan tata ruang yang belum mengakomodir aspirasi Desa.
“Kompleksitas problem dan tantangan itu mewajibkan kita semua secepatnya berbenah diri dan mengambil langkah-langkah konkrit untuk menyelesaikannya. Dibutuhkan kerjasama dan konsolidasi nasional guna menyatukan banyak sekali aspirasi pihak yang ikut mengimplementasikan UU Desa,” tuntas Menteri Marwan. (Kemendesa)
0 Komentar untuk "Implementasi Uu Desa Butuh Kerja Sinergis"