Wafatnya Penggelora Perang Jawa Pangeran Diponegoro

Perang Jawa yang mulai bergelora pada 19 Juli1825 dicetuskan oleh Dipanagara atas memburuknya tatanan ekonomi dan sosial masyarakat Jawa.
Dia memberontak untuk merebut kekuasaan politik Sultan Yogyakarta dengan tujuan memulihkan kebesaran Jawa dan menegakkan Islam sebagai tatanan moral.


Perang ini berkonsep perang sabil atau perang suci melawan semua orang kafir dan orang abnormal di Tanah Jawa. Dalam pemberontakan ini, Dipanagara telah dipandang sebagai penyatu kelas aristokrat dan rakyat jelata. Tentu, tidak semua aristokrat mendukungnya karena pemberontakan ini merupakan kelanjutan perang antar kelompok feodal pada masyarakat Jawa kurun ke-19.

Menurut Saleh As’ad Djamhari, seorang pengamat sejarah militer, untuk pertama kalinya militer Belanda menghadapi sistem tempur militer Jawa yang terorganisasi rapi. Dipanagara mengadopsi struktur militer Kerajaan Turki Osmani yang menjadi ideologi banyak sekali kerajaan Islam di Indonesia.

Perang Jawa merupakan awal diterapkannya seni administrasi militer gres yang unik dan bekaitan dengan aspek sosial, politik, sosial, dan kultural. Sebuah seni perang yang belum pernah diterapkan bagi kedua pihak dalam perang kolonial manapun.

Ruangan penjara berdinding lengkung dan lembab di Bastion Bacan, sudut barat daya Kastil Rotterdam di Makassar, telah bersaksi atas perjalanan seorang pangeran Jawa. Penjara itu berpintu lengkung dua, satu pintu setinggi orang dewasa, sedangkan lainnya berukuran separuhnya. Sebuah dipan dari kayu jati berkaki bundar dipercaya warga Makassar sebagai pembaringan terakhirnya. Selama 21 tahun, sang pangeran mendekam di ruangan itu.


Nama kecilnya Bendoro Raden Mas Mustahar. Dia lahir tatkala fajar menjelang di lingkungan Kraton Yogyakarta pada Jumat Wage, 11 November 1785. Lahir dari rahim seorang Ratu Kedaton keturunan aristokrat Madura. Ayahnya merupakan anak sulung Sultan Hamengkubuwana II. Kelak ayahnya melanjutkan takhta sebagai sultan berikutnya di Yogyakarta.

Dalam penanggalan Jawa, kelahiran seseorang yang bertepatan pada bulan Sura itu dianggap memiliki makna keramat. Pun, dalam primbon Jawa, hari itu merupakan penanda bahwa kelak sang bayi memiliki kata-kata yang berpengaruh, berwatak pandita, tetapi menghadapi aneka halangan hidup karena sikapnya yang suka berterus terang.

Tampaknya, kelahiran Mustahar yang kelak saat remaja berjulukan Dipanagara itu telah diramalkan masyarakat sebagai seorang pendobrak final tatanan usang di Jawa. Kenyataan itu dipaparkan dalam buku biografi wacana Dipanagara yang ditulis selama 30 tahun oleh Peter Carey, sejarawan dari Oxford University, berjudul Kuasa Ramalan.
dipanegara,makassar,manado,yogyakarta,perang jawa,batavia,ungaran,rotterdam,magelangSebuah kamar penjara di Kastil Rotterdam, Makassar, Sulawesi Selatan. Dipanagara pernah menjadi tahanan pemerintah kolonial Belanda di sini selama 21 tahun. Dia wafat di kamar ini pula dan dimakamkan di sudut Kota Makassar pada 158 tahun silam (Mahandis Y. Thamrin/NGI)

Keadaan final tatanan usang yang dimaksud yakni munculnya imperealisme gres yang memengaruhi kedaulatan kraton yang bermula semenjak Daendels bertugas pada awal kurun ke-19 di Jawa. Kraton tak lagi dipandang sebagai institusi berdaulat karena banyak nilai-nilai yang meluntur.


Betapa penguasa Eropa turut campur tangan dalam kehidupan istana dan pemilihan raja, penyalahgunaan kekuasaan, aneka pajak yang mencekik rakyat, sampai perselingkuhan putri-putri keraton dengan pejabat-pejabat Eropa.

"Belanda kewalahan secara militer," ungkap Djamhari. "Sudah lelah." Dalam sebuah studinya, Djamhari telah menghitung setidaknya terdapat 258 benteng yang dibangun Belanda dalam waktu dua tahun untuk memadamkan kobaran Perang Jawa itu.

Pertahanan itu dikenal dengan istilah stelsel benteng (1827-1830) yang merupakan segenap seni administrasi dan kegiatan militer Belanda untuk membantu Sultan menumpas para pemberontak, sekaligus memusnahkan penghalang perluasan kolonialisme.

Tentang sebuah insiden di Karesidenan Magelang pada 8 Maret 1830 yang mengakhiri Perang Jawa, Djamhari berkata, "Dipanagara tidak tertangkap, tetapi terperangkap. Itu istilah sebenarnya."

Dia menambahkan bahwa Dipanagara mengunjungi Hendrik Merkus De Kock untuk beraudiensi pada hari raya Idul Fitri. Tidak ada perundingan. Namun, pihak Belanda sudah menyiapkan untuk menangkapnya. "Kesalahan Dipanagara yakni mengandalkan kebaikan hati orang Jawa."

Perang itu memang telah mengakibatkan penderitaan dan keletihan luar biasa di kedua pihak. Sebanyak dua juta penduduk Jawa menderita akhir perang, seperempat seluruh luas pertanian rusak berat, dan sekitar 200 ribu orang Jawa menjadi korban. Sementara itu di pihak Belanda menelan kegetiran: sejumlah 7.000 orang Indonesia yang merupakan serdadu pembantu tewas bersama 8.000 serdadu Belanda.

Belakangan perang itu juga telah membangkrutkan kas pemerintah kolonial sehingga untuk memulihkannya perlu penerapan Cultuurstelsel (sejarawan Indonesia menyebutnya dengan tanam paksa) di Jawa pada 1830-1870. Namun, di tempat kerajaan Tanah Jawa tidak terjamah tanam paksa. "Belanda tidak melaksanakan tanam paksa di tempat Vorstenlanden," ujar Djamhari. "Belanda sudah kapok."

Demikianlah final Perang Jawa. Setelah insiden penjebakan di Karesidenan Magelang, Dipanagara dan pengikutnya dibawa ke Fort Ontmoeting di Ungaran. Kemudian, mereka berlayar lewat pelabuhan Semarang menuju Sunda Kelapa, Batavia. Setelah menjadi tahanan Balai Kota Batavia, kemudian menuju pengasingannya di Fort Amsterdam di Manado. Pada 1834 beliau dipindahkan ke Kastil Rotterdam di Makassar.

Perang itu juga telah melahirkan tatanan baru. Peter Carey dalam bukunya menjelaskan, bahwa Perang Jawa mengakhiri sistem saat kekerabatan Batavia dan kerajaan-kerajaan di Jawa masih bersifat diplomatik, menuju ke tatanan gres masa kolonial kala kerajaan-kerajaan itu tunduk pada kekuasaan Eropa.

Lalu, apakah Dipanagara ini seorang pemberontak atau pahlawan? "Dia yakni pahlawan" ungkap Djamhari, "Karena intinya melawan Belanda." Sang Pangeran telah wafat 158 tahun kemudian dalam derita kamar penjara sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas Perang Jawa.

Namun, sebuah surat yang ditemukan dalam arsip H.M. de Kock telah mengutip pernyataan panglima Perang Jawa itu. Kutipan dalam bahasa Jawa yang patut kita renungkan itu bermakna: "Jangan menjelekkan orang baik, dan jangan membaikkan orang jahat, dan jangan aniaya terhadap orang banyak."

Related : Wafatnya Penggelora Perang Jawa Pangeran Diponegoro

0 Komentar untuk "Wafatnya Penggelora Perang Jawa Pangeran Diponegoro"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)