Zat pengawet sudah usang digunakan dalam vaksin dan masih digunakan dalam vaksin untuk orang dewasa.
Tapi berdasarkan FDA banyak penelitian dilakukan dan tidak ditemukan kaitan dengan autisme atau efek samping serius.
Mengenai autisme, semenjak kandungan Thimerosal dihilangkan dari vaksin anak-anak, prosentase anak yang terdiagnosis autisme tetap meningkat. Tentu saja ini tidak masuk logika kalau Thimerosal yaitu penyebabnya.
Berikut yaitu beberapa mitos seputar vaksin yang masih dipercaya banyak orangtua dan bagaimana fakta sebenarnya.
1. Mengandung racun
Mitos:
Vaksin mengandung merkuri yang meracuni bawah umur serta menjadikan autis.
Sekitar tahun 1930-an beberapa pembuat vaksin memakai zat pengawet yang berjulukan Thimerosal, yang di dalamnya mengandung sedikit senyawa merkuri, guna mencegah pertumbuhan basil dan jamur.
Fakta:
Pada tahun 2010, Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) menghentikan peredaran vaksin yang mengandung Thimerosal, sehingga bawah umur tidak lagi diberi vaksin yang mengandung materi tersebut.
Selain itu, kebanyakan vaksin untuk anak berusia kurang dari 6 tahun memang tidak mengandung materi itu. Walau berdasarkan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS ada sedikit zat pengawet itu ditemukan dalam vaksin flu bagi anak-anak.
2. Menyebabkan autisme
Mitos:
Anak yang divaksin MMR beresiko autisme.
Ini merupakan mitos yang paling sering disebarkan. Keberadaan mitos ini berkembang dari sebuah studi dalam jurnal medis di The Lancet, Inggris dan dilakukan oleh Dr. Andrew Wakefield yang mengaitkan autisme dengan vaksin.
Penelitian yang dilakukan tahun 1998 itu melibatkan orangtua yang mempunyai anak penyandang autisme dan menggarisbawahi bahwa insiden autisme meningkat, sementara penyakit campak, gondok dan rubela menurun drastis.
Gerakan anti-vaksin terus berkembang sehabis Jenny McCarthy dan selebritis lainnya ikut bergabung. Para ilmuwan mengkritik Wakefield, namun orangtua tetap cemas sehingga jumlah bawah umur di Amerika Serikat yang diberikan vaksin MMR yang mencegah campak, gondok, dan rubela, turun drastis.
Fakta:
Beberapa penulis pendamping dalam studi itu menarik kembali nama mereka pada penelitian yang dilakukan 2004 silam sehabis mengetahui bahwa mereka telah dibayar oleh sebuah firma aturan yang ditujukan untuk menuntut produsen vaksin. Di tahun yang sama pula, sebuah institusi medis dari Amerika Serikat dan Inggris mengkaji ulang, dan tidak menemukan adanya relasi antara vaksin dan autisme.
Pada 2010, jurnal medis di Inggris menyimpulkan bahwa temuan Wakefield salah alasannya mengubah sejarah medis dari semua perkara 12 pasiennya. Penelitian Wakefield ditarik kembali oleh The Lancet di tahun 2010. Ia lantas kehilangan lisensi medisnya.
Seorang ilmuwan dari grup advokasi autisme, Autism Speaks, mendesak biar para orangtua memvaksinasi bawah umur mereka. "Dalam dua dekade terakhir riset telah dilakukan untuk menemukan kaitan antara vaksin pada masa tumbuh kembang anak dan autisme. Hasilnya jelas, vaksin tidak menjadikan autisme," kata Rob Ring,
3. Vaksin digunakan hanya untuk mencari keuntungan.
Mitos:
Dokter dan perusahaan asuransi mempromosikan penggunaan vaksin sebagai cara untuk mendapatkan laba semata.
Fakta:
Kebanyakan perusahaan asuransi menanggung biaya vaksinasi untuk mencegah pengeluaran berlebihan yang harus dibentuk oleh pasien mana kala terkena penyakit.
4. Mengandung antigen berlebihan
Mitos:
Anak anak mendapatkan vaksinasi jauh lebih banyak dibanding sebelumnya, dan vaksinasi menciptakan antigen di dalam badan anak menjadi bertambah (antigen yaitu kepingan dari vaksinasi yg berfungsi meningkatkan daya tahan badan terhadap penyakit). Apabila berlebihan, maka akan berbahaya bagi kesehatan anak anak.
Fakta:
Walaupun ketika ini lebih banyak vaksinasi yg diberikan, tetapi jumlah antigen yg diberikan kepada pasien jauh lebih sedikit dibandingkan dengan 30 tahun yg lalu.
Menurut Dr.Sanjay Gupta dari CNN, pada tahun 1980 pasien mendapatkan kurang lebih 3000 antigen, sementara ketika ini pasien hanya 150 antigen. Menjauhkan vaksinasi dari anak anak dalam jangka waktu yang lama, dengan didasari ketakutan terhadap jumlah antigen yang berlebihan, hanya akan menciptakan anak anak semakin rentan terkena penyakit.
Kemudian mengenai autisme, sama menyerupai thimerosal, jumlah penderita autisme meningkat ketika jumlah antigen yang digunakan menurun.
5. Penyakitnya sudah hilang
Mitos:
Lebih baik vaksin dihindari alasannya bawah umur tidak terlalu membutuhkan. Penyakit yang dicegah sudah usang tidak ada dan kalau ada, sanggup hilang dengan sendirinya.
Fakta:
Pada tahun 2014 perkara penyakit campak di AS sangat tinggi dengan jumlah perkara 644. Sumber penularan diketahui dari seorang anak yang tidak divaksin kemudian tertular virus ini dan menularkannya ke bawah umur lain.
Campak bukanlah penyakit ringan alasannya sanggup menjadikan kerusakan otak dalam jangka panjang, ketulian, serta kematian. Secara umum, ini yaitu pembunuh utama pada bawah umur berdasarkan data yang dihimpun oleh WHO.
sumber kompas.com
Tapi berdasarkan FDA banyak penelitian dilakukan dan tidak ditemukan kaitan dengan autisme atau efek samping serius.
Mengenai autisme, semenjak kandungan Thimerosal dihilangkan dari vaksin anak-anak, prosentase anak yang terdiagnosis autisme tetap meningkat. Tentu saja ini tidak masuk logika kalau Thimerosal yaitu penyebabnya.
Berikut yaitu beberapa mitos seputar vaksin yang masih dipercaya banyak orangtua dan bagaimana fakta sebenarnya.
1. Mengandung racun
Mitos:
Vaksin mengandung merkuri yang meracuni bawah umur serta menjadikan autis.
Sekitar tahun 1930-an beberapa pembuat vaksin memakai zat pengawet yang berjulukan Thimerosal, yang di dalamnya mengandung sedikit senyawa merkuri, guna mencegah pertumbuhan basil dan jamur.
Fakta:
Pada tahun 2010, Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) menghentikan peredaran vaksin yang mengandung Thimerosal, sehingga bawah umur tidak lagi diberi vaksin yang mengandung materi tersebut.
Selain itu, kebanyakan vaksin untuk anak berusia kurang dari 6 tahun memang tidak mengandung materi itu. Walau berdasarkan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS ada sedikit zat pengawet itu ditemukan dalam vaksin flu bagi anak-anak.
2. Menyebabkan autisme
Mitos:
Anak yang divaksin MMR beresiko autisme.
Ini merupakan mitos yang paling sering disebarkan. Keberadaan mitos ini berkembang dari sebuah studi dalam jurnal medis di The Lancet, Inggris dan dilakukan oleh Dr. Andrew Wakefield yang mengaitkan autisme dengan vaksin.
Penelitian yang dilakukan tahun 1998 itu melibatkan orangtua yang mempunyai anak penyandang autisme dan menggarisbawahi bahwa insiden autisme meningkat, sementara penyakit campak, gondok dan rubela menurun drastis.
Gerakan anti-vaksin terus berkembang sehabis Jenny McCarthy dan selebritis lainnya ikut bergabung. Para ilmuwan mengkritik Wakefield, namun orangtua tetap cemas sehingga jumlah bawah umur di Amerika Serikat yang diberikan vaksin MMR yang mencegah campak, gondok, dan rubela, turun drastis.
Fakta:
Beberapa penulis pendamping dalam studi itu menarik kembali nama mereka pada penelitian yang dilakukan 2004 silam sehabis mengetahui bahwa mereka telah dibayar oleh sebuah firma aturan yang ditujukan untuk menuntut produsen vaksin. Di tahun yang sama pula, sebuah institusi medis dari Amerika Serikat dan Inggris mengkaji ulang, dan tidak menemukan adanya relasi antara vaksin dan autisme.
Pada 2010, jurnal medis di Inggris menyimpulkan bahwa temuan Wakefield salah alasannya mengubah sejarah medis dari semua perkara 12 pasiennya. Penelitian Wakefield ditarik kembali oleh The Lancet di tahun 2010. Ia lantas kehilangan lisensi medisnya.
Seorang ilmuwan dari grup advokasi autisme, Autism Speaks, mendesak biar para orangtua memvaksinasi bawah umur mereka. "Dalam dua dekade terakhir riset telah dilakukan untuk menemukan kaitan antara vaksin pada masa tumbuh kembang anak dan autisme. Hasilnya jelas, vaksin tidak menjadikan autisme," kata Rob Ring,
3. Vaksin digunakan hanya untuk mencari keuntungan.
Mitos:
Dokter dan perusahaan asuransi mempromosikan penggunaan vaksin sebagai cara untuk mendapatkan laba semata.
Fakta:
Kebanyakan perusahaan asuransi menanggung biaya vaksinasi untuk mencegah pengeluaran berlebihan yang harus dibentuk oleh pasien mana kala terkena penyakit.
4. Mengandung antigen berlebihan
Mitos:
Anak anak mendapatkan vaksinasi jauh lebih banyak dibanding sebelumnya, dan vaksinasi menciptakan antigen di dalam badan anak menjadi bertambah (antigen yaitu kepingan dari vaksinasi yg berfungsi meningkatkan daya tahan badan terhadap penyakit). Apabila berlebihan, maka akan berbahaya bagi kesehatan anak anak.
Fakta:
Walaupun ketika ini lebih banyak vaksinasi yg diberikan, tetapi jumlah antigen yg diberikan kepada pasien jauh lebih sedikit dibandingkan dengan 30 tahun yg lalu.
Menurut Dr.Sanjay Gupta dari CNN, pada tahun 1980 pasien mendapatkan kurang lebih 3000 antigen, sementara ketika ini pasien hanya 150 antigen. Menjauhkan vaksinasi dari anak anak dalam jangka waktu yang lama, dengan didasari ketakutan terhadap jumlah antigen yang berlebihan, hanya akan menciptakan anak anak semakin rentan terkena penyakit.
Kemudian mengenai autisme, sama menyerupai thimerosal, jumlah penderita autisme meningkat ketika jumlah antigen yang digunakan menurun.
5. Penyakitnya sudah hilang
Mitos:
Lebih baik vaksin dihindari alasannya bawah umur tidak terlalu membutuhkan. Penyakit yang dicegah sudah usang tidak ada dan kalau ada, sanggup hilang dengan sendirinya.
Fakta:
Pada tahun 2014 perkara penyakit campak di AS sangat tinggi dengan jumlah perkara 644. Sumber penularan diketahui dari seorang anak yang tidak divaksin kemudian tertular virus ini dan menularkannya ke bawah umur lain.
Campak bukanlah penyakit ringan alasannya sanggup menjadikan kerusakan otak dalam jangka panjang, ketulian, serta kematian. Secara umum, ini yaitu pembunuh utama pada bawah umur berdasarkan data yang dihimpun oleh WHO.
sumber kompas.com
0 Komentar untuk "5 Mitos Dan Fakta Seputar Vaksin"