Kisah anak yang menggugat ibu kandungnya ke pengadilan menjadi info santer di media internet. Bagaimana tidak, anak berencana memenjarakan ibunya seakan begitu adanya dan di Indonesia ini termasuk sanggup dimasukkan ke dalam kategori durhaka, apa benar begitu ya. Si ibu sangat sakit hati dan tidak mengakui anak soalnya.
Masya Alloh...
Apapun alasannya jangan hingga kita berbuat demikian terhadap ibu kita. Masih beruntung kalian ibumu masih hidup, sedangkan admin kejawen wetan ini sudah usang tidak mempunyai ibu alias sudah meningga dunia.
Jaga baik-baik ibumu selagi ada kesempatan, doanya dikabulkan Tuhan loh...
Berikut ini ada beberapa artikel mengenai anak yang menggugat ibunya yang saya copot dari merdeka.com, dan dream.co.id
Untuk lebih jelasnya silahkan kunjungi situs tersebut ya.
Dalam somasi yang tengah berlangsung di Pengadilan Negeri Tangerang itu, nenek Fatimah diminta membayar somasi materiil sebesar Rp 1 miliar. Tak hanya itu, dalam gugatan, anak ke empatnya itu juga meminta Hajjah Fatimah diminta angkat kaki dari daerah tinggalnya di Jalan KH Hasyim Asari, RT 02/01 No. 11, Kelurahan Kenanga, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang.
Berdasarkan keterangan anak bungsu Fatimah, Amas (37), tanah seluas 397 meter persegi di Kampung Kenanga yang disengketakan itu awalnya milik Nurhakim. Lalu pada tahun 1987, tanah tersebut dibeli oleh almarhum ayahnya, H Abdurahman senilai Rp 10 juta. Dia juga memperlihatkan Rp 1 juta untuk Nurhana sebagai warisan.
"Pembayaran tanah itu disaksikan juga oleh kakak-kakak saya. Sertifikat tanahnya sudah dikasih oleh Nurhakim ke Bapak. Tapi masih atas nama Nurhakim," kata Amas dikutip Dream.co.id dari merdeka.com, Rabu 24 September 2014.
Menurut Amas, akta tanah tersebut hingga sekarang belum dibalik nama, alasannya ialah Nurhakim tidak pernah mau untuk melaksanakan itu. "Dia nggak mau, dengan alasan masih keluarga, masa sama menantu tidak percaya. Atas dasar kepercayaan itu, ibu ngikutin saja. Padahal beliau sudah pernah buat surat pernyataan siap balik nama sertifikat, kan aneh," terperinci dia.
Namun beberapa tahun kemudian, sesudah Abdurahman meninggal, Nurhakim tiba-tiba menggugat tanah tersebut dengan mengaku tidak pernah dibayar oleh bapak mertuanya. Awalnya beliau meminta Fatimah dan anak-anaknya untuk membayar Rp 10 juta, kemudian naik menjadi Rp 50 juta, Rp 100 juta, hingga Rp 1 miliar. "Keluarga sudah melaksanakan mediasi, tapi beliau tetap meminta keluarga untuk membayar tanah itu. Ya mustahil bisa, jumlahnya mahal sekali," tukas Amas.
Hingga balasannya Nurhakim memasukkan somasi ini ke PN Tangerang pada 2013 silam dengan tudingan penggelapan akta dan menempati lahan orang tanpa izin. "Laporannya masuk ke pengadilan perdata, dengan somasi ganti rugi Rp 1 miliar. Selain ibu, tiga abang saya juga menjadi tergugat, yakni Rohimah, Marhamah dan Marsamah. bila tidak sanggup membayar, ibu akan diusir dari tanah itu. Kita menyerupai diperas, padahal ibu dan abang saya sudah tinggal di sana dari tahun 1988," terperinci Amas.
Sementara, pengacara Nurhakim, M Singarimbun, mengatakan, kliennya mengaku memperlihatkan akta tanah kepada ayah mertuanya, Abdurahman, alasannya ialah dijanjikan akan dibeli pada tahun 1987. Namun hingga mertuanya meninggal, Nurhakim mengaku tidak pernah menerima bayaran atas penjualan tanah itu.
"Nurhakim sempat pindah ke Palangkaraya, Kalimantan, bersama Nurhana. Saat mengetahui mertuanya meninggal, beliau pulang ke Tangerang untuk minta semoga tanah itu dibayar. Tapi pihak keluarga menolak alasannya ialah merasa sudah membayar. Akhirnya beliau meminta akta tanahnya dikembalikan, tapi tidak diberikan juga. Karena itu beliau layangkan somasi ke pengadilan," ujar Singarimbun.
Menurut Singarimbun, Nurhakim tidak menggugat sebesar Rp 1 miliar. Hanya ganti rugi sebesar Rp 2 juta per meter luas lahan. Ganti rugi itu menurut hitungan harga tanah ketika ini. "Tidak hingga Rp 1 miliar, hanya sekitar Rp 800 jutaan," terperinci dia.
Sebenarnya, tambah Singarimbun, duduk kasus tersebut telah diupayakan diselesaikan secara kekeluargaan dengan beberapa kali mediasi. Namun pihak keluarga Fatimah bersikeras tidak mau menyepakati seruan Nurhakim. "Harapan kami sih ingin diselesaikan baik-baik, tanahnya dibayar atau sertifikatnya dikembalikan saja. Tapi mereka tetap bersikukuh," tukas Singarimbun.
"Sakit banget hati saya, hancur banget. Saya sudah dikata-katain susah. Sekarang beliau tega menggugat saya Rp 1 miliar, gara-gara tanah. Udah lah, saya udah enggak nganggep beliau anak," ujar Fatimah sebagaimana dikutip Dream dari Merdeka, Rabu 24 September 2014.
Fatimah juga kecewa dengan perilaku anak keempatnya itu. Sebab, setiap kali tiba ke rumahnya, Nurhana selalu meributkan duduk kasus tanah setiap tiba ke rumahnya. "Tiap tiba ribut tanah, tiap tiba ribut tanah, saya sudah usir dia, semoga jangan balik-balik lagi," ujar Fatimah.
Saat dikonfirmasi, ketika sidang di Pengadilan Negeri Tangerang Selasa kemarin, Nurhana enggan menjawab. Dia eksklusif pergi meninggalkan ruang sidang bersama anak-anaknya. "Enggak, enggak usah wawancara, saya enggak mau," ujar Nurhana dengan nada kesal.
Kasus ini bermula dari jual beli tanah seluas 397 meter persegi di Jalan KH Hasyim Asari, RT 02/01 No. 11, Kelurahan Kenanga, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang. Tanah itu mulanya milik Nurhakim, namun pada 1987 dibeli oleh Abdurrahman, suami Fatimah yang tak lain ialah bapak Nurhana sekaligus mertua Nurhakim.
Kala itu, sesuai keterangan keluarga Fatimah, Abdurrahman sudah membayar Rp 10 juta kepada Nurhakim dan Rp 1 juta sebagai warisan kepada Nurhana. Namun, sesudah Abdurrahman meninggal, Nurhakim mengajukan somasi Rp 1 miliar dengan alasan belum mendapatkan uang pembayaran.
Yang lebih miris lagi, penggugat itu tak lain dan tak bukan ialah anak kandung dan menantunya, Nurhana dan Nurhakim.
Pangkal duduk kasus somasi itu ialah tanah seluas 397 meter persegi yang terletak di Jalan KH Hasyim Asari, RT 02/01 No. 11, Kelurahan Kenanga, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang. Anak dan menantunya meminta Fatimah membayar Rp 1 miliar atas tanah tersebut. Selain itu, Fatmah harus angkat kaki dari sana.
Kini ibu delapan anak itu harus wara-wiri ke pengadilan alasannya ialah somasi itu. Padahal, dalam usia serenta itu, seharusnya sanggup menikmati hidup. Berkumpul bersama anak, cucu, bahkan buyut dan kerabat lainya.
Ujung pangkal sengketa itu ialah transaksi jual beli lahan seluas 397 meter persegi oleh Nurhakim dan Haji Abdurrahman, mertua sekaligus suami Fatimah. Tanah yang terletak di Jalan KH Hasyim Asari, RT 02/01 No 11, Kelurahan Kenanga, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang, itu mulanya milik Nurhakim. Pada 1987, tanah itu dibeli almarhum Abdurrahman seharga Rp 10 juta.
Namun, Nurhakim mengaku tak menerima bayaran atas tanah itu hingga Abdurrahman meninggal. "Nurhakim sempat pindah ke Palangkaraya, Kalimantan, bersama Nurhana. Saat mengetahui mertuanya meninggal, beliau pulang ke Tangerang untuk minta semoga tanah itu dibayar," kata pengacara Nurhakim dan Nurhana, M Singarimbun, sebagaimana dikutip Dream dari merdeka.com, Kamis 25 September 2014.
Namun, tambah M Singarimbun, Fatimah menolak alasannya ialah merasa telah membayar tanah itu kepada Nurhakim. "Akhirnya beliau (Nurhakim) meminta akta tanahnya dikembalikan, tapi tidak diberikan juga. Karena itu beliau layangkan somasi ke pengadilan," terperinci dia.
Sebenarnya, duduk kasus itu telah dibicarakan secara kekeluargaan. Namun beberapa kali mediasi yang dilakukan gagal menemukan kata sepakat. Pihak Fatimah bersikeras tidak mau menyepakati seruan Nurhakim.
"Harapan kami sih ingin diselesaikan baik-baik, tanahnya dibayar atau sertifikatnya dikembalikan saja. Tapi mereka tetap bersikukuh," tukas M Singarimbun.
Menurut dia, somasi yang diajukan oleh Nurhana dan Nurhakim tak mencapai Rp 1 miliar menyerupai yang banyak diberitakan. Kliennya hanya meminta ganti rugi sebesar Rp 2 juta permeter luas lahan. Ganti rugi itu menurut hitungan harga tanah ketika ini. "Tidak hingga Rp 1 miliar, hanya sekitar Rp 800 jutaan," terperinci M Singarimbun.
Tanah Sudah Dibayar
Sementara, anak bungsu Fatimah, Amas (37), menyampaikan almarhum ayahnya telah membayar sebesar Rp 10 juta kepada Nurhakim. Bahkan H Abdurrahman juga memperlihatkan uang Rp 1 juta untuk Nurhana sebagai warisan.
"Pembayaran tanah itu disaksikan juga oleh kakak-kakak saya. Sertifikat tanahnya sudah dikasih oleh Nurhakim ke Bapak. Tapi masih atas nama Nurhakim," kata Amas.
Menurut dia, akta tanah itu hingga sekarang belum dibalik nama, alasannya ialah Nurhakim tidak pernah mau untuk melaksanakan proses itu. "Dia nggak mau, dengan alasan masih keluarga, masa sama menantu tidak percaya. Atas dasar kepercayaan itu, ibu ngikutin saja. Padahal beliau sudah pernah buat surat pernyataan siap balik nama sertifikat, kan aneh," terperinci dia.
Namun belakangan Nurhakim menggugat tanah itu dengan mengaku tidak pernah dibayar oleh Abdurrahman. Awalnya, kata Amas, Nurhakim meminta Fatimah dan anak-anaknya membayar Rp 10 juta, kemudian naik menjadi Rp 50 juta, Rp 100 juta, hingga Rp 1 miliar.
"Keluarga sudah melaksanakan mediasi, tapi beliau tetap meminta keluarga untuk membayar tanah itu. Ya mustahil bisa, jumlahnya mahal sekali," tukas dia.
Hingga balasannya Nurhakim memasukkan somasi ini ke PN Tangerang pada 2013 silam dengan tudingan penggelapan akta dan menempati lahan orang tanpa izin.
"Laporannya masuk ke pengadilan perdata, dengan somasi ganti rugi Rp 1 miliar. Selain ibu, tiga abang saya juga menjadi tergugat, yakni Rohimah, Marhamah dan Marsamah. bila tidak sanggup membayar, ibu akan diusir dari tanah itu. Kita menyerupai diperas, padahal ibu dan abang saya sudah tinggal di sana dari tahun 1988," terperinci Amas.
sumber: merdeka, dream
editor: kejawen wetan
Masya Alloh...
Apapun alasannya jangan hingga kita berbuat demikian terhadap ibu kita. Masih beruntung kalian ibumu masih hidup, sedangkan admin kejawen wetan ini sudah usang tidak mempunyai ibu alias sudah meningga dunia.
Jaga baik-baik ibumu selagi ada kesempatan, doanya dikabulkan Tuhan loh...
Berikut ini ada beberapa artikel mengenai anak yang menggugat ibunya yang saya copot dari merdeka.com, dan dream.co.id
Untuk lebih jelasnya silahkan kunjungi situs tersebut ya.
Anak Gugat Ibu Kandung
Di usia senja, beliau seharusnya hidup senang dengan anak dan cucu-cucunya. Namun, wanita berusia 90 tahun ini malah menghadapi masalah hukum. Janda delapan anak itu digugat oleh putri kandungnya, Nurhana, dan menantunya, Nurhakim.Dalam somasi yang tengah berlangsung di Pengadilan Negeri Tangerang itu, nenek Fatimah diminta membayar somasi materiil sebesar Rp 1 miliar. Tak hanya itu, dalam gugatan, anak ke empatnya itu juga meminta Hajjah Fatimah diminta angkat kaki dari daerah tinggalnya di Jalan KH Hasyim Asari, RT 02/01 No. 11, Kelurahan Kenanga, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang.
Berdasarkan keterangan anak bungsu Fatimah, Amas (37), tanah seluas 397 meter persegi di Kampung Kenanga yang disengketakan itu awalnya milik Nurhakim. Lalu pada tahun 1987, tanah tersebut dibeli oleh almarhum ayahnya, H Abdurahman senilai Rp 10 juta. Dia juga memperlihatkan Rp 1 juta untuk Nurhana sebagai warisan.
"Pembayaran tanah itu disaksikan juga oleh kakak-kakak saya. Sertifikat tanahnya sudah dikasih oleh Nurhakim ke Bapak. Tapi masih atas nama Nurhakim," kata Amas dikutip Dream.co.id dari merdeka.com, Rabu 24 September 2014.
Menurut Amas, akta tanah tersebut hingga sekarang belum dibalik nama, alasannya ialah Nurhakim tidak pernah mau untuk melaksanakan itu. "Dia nggak mau, dengan alasan masih keluarga, masa sama menantu tidak percaya. Atas dasar kepercayaan itu, ibu ngikutin saja. Padahal beliau sudah pernah buat surat pernyataan siap balik nama sertifikat, kan aneh," terperinci dia.
Namun beberapa tahun kemudian, sesudah Abdurahman meninggal, Nurhakim tiba-tiba menggugat tanah tersebut dengan mengaku tidak pernah dibayar oleh bapak mertuanya. Awalnya beliau meminta Fatimah dan anak-anaknya untuk membayar Rp 10 juta, kemudian naik menjadi Rp 50 juta, Rp 100 juta, hingga Rp 1 miliar. "Keluarga sudah melaksanakan mediasi, tapi beliau tetap meminta keluarga untuk membayar tanah itu. Ya mustahil bisa, jumlahnya mahal sekali," tukas Amas.
Hingga balasannya Nurhakim memasukkan somasi ini ke PN Tangerang pada 2013 silam dengan tudingan penggelapan akta dan menempati lahan orang tanpa izin. "Laporannya masuk ke pengadilan perdata, dengan somasi ganti rugi Rp 1 miliar. Selain ibu, tiga abang saya juga menjadi tergugat, yakni Rohimah, Marhamah dan Marsamah. bila tidak sanggup membayar, ibu akan diusir dari tanah itu. Kita menyerupai diperas, padahal ibu dan abang saya sudah tinggal di sana dari tahun 1988," terperinci Amas.
Sementara, pengacara Nurhakim, M Singarimbun, mengatakan, kliennya mengaku memperlihatkan akta tanah kepada ayah mertuanya, Abdurahman, alasannya ialah dijanjikan akan dibeli pada tahun 1987. Namun hingga mertuanya meninggal, Nurhakim mengaku tidak pernah menerima bayaran atas penjualan tanah itu.
"Nurhakim sempat pindah ke Palangkaraya, Kalimantan, bersama Nurhana. Saat mengetahui mertuanya meninggal, beliau pulang ke Tangerang untuk minta semoga tanah itu dibayar. Tapi pihak keluarga menolak alasannya ialah merasa sudah membayar. Akhirnya beliau meminta akta tanahnya dikembalikan, tapi tidak diberikan juga. Karena itu beliau layangkan somasi ke pengadilan," ujar Singarimbun.
Menurut Singarimbun, Nurhakim tidak menggugat sebesar Rp 1 miliar. Hanya ganti rugi sebesar Rp 2 juta per meter luas lahan. Ganti rugi itu menurut hitungan harga tanah ketika ini. "Tidak hingga Rp 1 miliar, hanya sekitar Rp 800 jutaan," terperinci dia.
Sebenarnya, tambah Singarimbun, duduk kasus tersebut telah diupayakan diselesaikan secara kekeluargaan dengan beberapa kali mediasi. Namun pihak keluarga Fatimah bersikeras tidak mau menyepakati seruan Nurhakim. "Harapan kami sih ingin diselesaikan baik-baik, tanahnya dibayar atau sertifikatnya dikembalikan saja. Tapi mereka tetap bersikukuh," tukas Singarimbun.
Ibunya Sakit Hati
Gugatan Rp 1 miliar yang diajukan oleh anak kandung dan menantu menciptakan nenek Fatimah sakit hati. Karena somasi itu, nenek berusia 90 tahun itu tak lagi mengakui Nurhana sebagai anak kandungnya. Suami Nurhana, Nurhakim, juga sudah tak dianggap lagi sebagai menantu."Sakit banget hati saya, hancur banget. Saya sudah dikata-katain susah. Sekarang beliau tega menggugat saya Rp 1 miliar, gara-gara tanah. Udah lah, saya udah enggak nganggep beliau anak," ujar Fatimah sebagaimana dikutip Dream dari Merdeka, Rabu 24 September 2014.
Fatimah juga kecewa dengan perilaku anak keempatnya itu. Sebab, setiap kali tiba ke rumahnya, Nurhana selalu meributkan duduk kasus tanah setiap tiba ke rumahnya. "Tiap tiba ribut tanah, tiap tiba ribut tanah, saya sudah usir dia, semoga jangan balik-balik lagi," ujar Fatimah.
Saat dikonfirmasi, ketika sidang di Pengadilan Negeri Tangerang Selasa kemarin, Nurhana enggan menjawab. Dia eksklusif pergi meninggalkan ruang sidang bersama anak-anaknya. "Enggak, enggak usah wawancara, saya enggak mau," ujar Nurhana dengan nada kesal.
Kasus ini bermula dari jual beli tanah seluas 397 meter persegi di Jalan KH Hasyim Asari, RT 02/01 No. 11, Kelurahan Kenanga, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang. Tanah itu mulanya milik Nurhakim, namun pada 1987 dibeli oleh Abdurrahman, suami Fatimah yang tak lain ialah bapak Nurhana sekaligus mertua Nurhakim.
Kala itu, sesuai keterangan keluarga Fatimah, Abdurrahman sudah membayar Rp 10 juta kepada Nurhakim dan Rp 1 juta sebagai warisan kepada Nurhana. Namun, sesudah Abdurrahman meninggal, Nurhakim mengajukan somasi Rp 1 miliar dengan alasan belum mendapatkan uang pembayaran.
Kronologi
Kisah pahit harus dijalani Hajjah Fatimah. Nenek berusia 90 tahun asal Kelurahan Kenanga, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang, itu harus terbelit duduk kasus hukum. Dia digugat dalam sengketa tanah.Yang lebih miris lagi, penggugat itu tak lain dan tak bukan ialah anak kandung dan menantunya, Nurhana dan Nurhakim.
Pangkal duduk kasus somasi itu ialah tanah seluas 397 meter persegi yang terletak di Jalan KH Hasyim Asari, RT 02/01 No. 11, Kelurahan Kenanga, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang. Anak dan menantunya meminta Fatimah membayar Rp 1 miliar atas tanah tersebut. Selain itu, Fatmah harus angkat kaki dari sana.
Kini ibu delapan anak itu harus wara-wiri ke pengadilan alasannya ialah somasi itu. Padahal, dalam usia serenta itu, seharusnya sanggup menikmati hidup. Berkumpul bersama anak, cucu, bahkan buyut dan kerabat lainya.
Alasan Menggugat
Kisah nenek Fatimah yang digugat anak kandung dan menantunya, Nurhana dan Nurhakim, menjadi sorotan publik. Banyak yang menyayangkan somasi Rp 1 miliar kepada nenek berusia 90 tahun itu. Apalagi yang melayangkan somasi sengketa lahan itu bukanlah 'orang lain'.Ujung pangkal sengketa itu ialah transaksi jual beli lahan seluas 397 meter persegi oleh Nurhakim dan Haji Abdurrahman, mertua sekaligus suami Fatimah. Tanah yang terletak di Jalan KH Hasyim Asari, RT 02/01 No 11, Kelurahan Kenanga, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang, itu mulanya milik Nurhakim. Pada 1987, tanah itu dibeli almarhum Abdurrahman seharga Rp 10 juta.
Namun, Nurhakim mengaku tak menerima bayaran atas tanah itu hingga Abdurrahman meninggal. "Nurhakim sempat pindah ke Palangkaraya, Kalimantan, bersama Nurhana. Saat mengetahui mertuanya meninggal, beliau pulang ke Tangerang untuk minta semoga tanah itu dibayar," kata pengacara Nurhakim dan Nurhana, M Singarimbun, sebagaimana dikutip Dream dari merdeka.com, Kamis 25 September 2014.
Namun, tambah M Singarimbun, Fatimah menolak alasannya ialah merasa telah membayar tanah itu kepada Nurhakim. "Akhirnya beliau (Nurhakim) meminta akta tanahnya dikembalikan, tapi tidak diberikan juga. Karena itu beliau layangkan somasi ke pengadilan," terperinci dia.
Sebenarnya, duduk kasus itu telah dibicarakan secara kekeluargaan. Namun beberapa kali mediasi yang dilakukan gagal menemukan kata sepakat. Pihak Fatimah bersikeras tidak mau menyepakati seruan Nurhakim.
"Harapan kami sih ingin diselesaikan baik-baik, tanahnya dibayar atau sertifikatnya dikembalikan saja. Tapi mereka tetap bersikukuh," tukas M Singarimbun.
Menurut dia, somasi yang diajukan oleh Nurhana dan Nurhakim tak mencapai Rp 1 miliar menyerupai yang banyak diberitakan. Kliennya hanya meminta ganti rugi sebesar Rp 2 juta permeter luas lahan. Ganti rugi itu menurut hitungan harga tanah ketika ini. "Tidak hingga Rp 1 miliar, hanya sekitar Rp 800 jutaan," terperinci M Singarimbun.
Tanah Sudah Dibayar
Sementara, anak bungsu Fatimah, Amas (37), menyampaikan almarhum ayahnya telah membayar sebesar Rp 10 juta kepada Nurhakim. Bahkan H Abdurrahman juga memperlihatkan uang Rp 1 juta untuk Nurhana sebagai warisan.
"Pembayaran tanah itu disaksikan juga oleh kakak-kakak saya. Sertifikat tanahnya sudah dikasih oleh Nurhakim ke Bapak. Tapi masih atas nama Nurhakim," kata Amas.
Menurut dia, akta tanah itu hingga sekarang belum dibalik nama, alasannya ialah Nurhakim tidak pernah mau untuk melaksanakan proses itu. "Dia nggak mau, dengan alasan masih keluarga, masa sama menantu tidak percaya. Atas dasar kepercayaan itu, ibu ngikutin saja. Padahal beliau sudah pernah buat surat pernyataan siap balik nama sertifikat, kan aneh," terperinci dia.
Namun belakangan Nurhakim menggugat tanah itu dengan mengaku tidak pernah dibayar oleh Abdurrahman. Awalnya, kata Amas, Nurhakim meminta Fatimah dan anak-anaknya membayar Rp 10 juta, kemudian naik menjadi Rp 50 juta, Rp 100 juta, hingga Rp 1 miliar.
"Keluarga sudah melaksanakan mediasi, tapi beliau tetap meminta keluarga untuk membayar tanah itu. Ya mustahil bisa, jumlahnya mahal sekali," tukas dia.
Hingga balasannya Nurhakim memasukkan somasi ini ke PN Tangerang pada 2013 silam dengan tudingan penggelapan akta dan menempati lahan orang tanpa izin.
"Laporannya masuk ke pengadilan perdata, dengan somasi ganti rugi Rp 1 miliar. Selain ibu, tiga abang saya juga menjadi tergugat, yakni Rohimah, Marhamah dan Marsamah. bila tidak sanggup membayar, ibu akan diusir dari tanah itu. Kita menyerupai diperas, padahal ibu dan abang saya sudah tinggal di sana dari tahun 1988," terperinci Amas.
sumber: merdeka, dream
editor: kejawen wetan
0 Komentar untuk "Kisah Miris Anak Menggugat Ibu Kandung Di Tangerang"