Selain berhaji, Idul Adha menjadi momentum setiap muslim untuk menyisihkan hartanya buat berkurban. Kebanyakan ibadah itu dilakukan oleh orang yang berkecukupan. Namun, Sahati, 68, tidak perlu menunggu kaya demi berkurban seekor kambing.
Mulvi Mohammad Noor, SUKABUMI
Melihat pekerjaan dan usianya, tidak ada yang menyangka bahwa Sahati, warga Kampung Kuta Lebak, RT 6 RW 5, Kelurahan Sriwidari, Kecamatan Gunung Puyuh, bisa menunaikan niatnya untuk berkurban. Hal tersebut memang beralasan. Mengingat, penghasilannya dari menjual plastik, botol, dan barang-barang bekas yang dikumpulkan tidak seberapa.
"Paling banyak Rp 12 ribu per minggu. Kalau dapet-nya sedikit atau harganya turun, malah cuma Rp 8 ribu," ujar nenek yang erat disapa Ceu Wati tersebut.
Padahal, untuk berkurban, Sahati harus membeli kambing atau sapi. Usia binatang itu pun harus lebih dari setahun untuk kambing dan dua tahun untuk sapi. Di pasaran, harga dua jenis binatang tersebut minimal Rp 1,5 juta hingga Rp 5 juta.
Awalnya, nenek berjulukan lengkap Sahati Wati tersebut tidak mengerti apa itu kurban. Sahati yang semasa mudanya tidak pernah mengenyam sekolah itu lantas bertanya-tanya kepada pemuka agama mengenai aturan kurban dan manfaatnya. Keterangan para kiai tersebut justru menciptakan niatnya semakin besar lengan berkuasa dan nrimo menyisihkan penghasilan demi melakukan kurban.
"Meskipun pemulung, nenek juga pengin masuk nirwana dan punya kendaraan di alam abadi nanti," tutur nenek tidak bercucu tersebut.
Untuk memenuhi cita-citanya itu, setiap pukul 06.00 Sahati berangkat dari rumah. Dengan baju kusam dan sandal jepit tipis, beliau berjalan kaki sekitar 10 kilometer menyusuri setiap sudut Jalan Sudirman di Sukabumi. Dia juga mampir ke bak-bak sampah dekat Terminal Sudirman dengan harapan menemukan botol, kardus, besi, dan plastik bekas yang dibuang orang.
Setiap hari tidak banyak barang bekas yang bisa dibawa pulang. Karena itu, Sahati harus mengumpulkannya lebih dulu selama seminggu sebelum menjualnya ke pengepul.
"Orang lain sih dapet-nya banyak. Sebab, mereka ada yang pakai motor dan gerobak. Kadang-kadang sedih. Orang lain gerobaknya udah penuh, sedangkan saya cuma gres dapet satu atau dua buah," ungkapnya lantas tersenyum.
Hal tersebut, rupanya, tidak menyurutkan upaya Sahati. Nenek yang berpuluh-puluh tahun hidup sebatang kara itu terus berusaha keras supaya bisa membeli binatang kurban yang semenjak usang dicita-citakan.
"Pokoknya saya pengin kurban. Karena itu, saya selalu sisihkan hasil keringat saya, meskipun cuma Rp 500 atau Rp.1.000 atau berapa saja. Baru beberapa bulan ini uang sering saya titipkan ke adiknya Bu RT," jelasnya.
Kerja keras Sahati menyisihkan penghasilan receh demi receh hingga tujuh tahun itu pun kesannya membuahkan hasil. Pada Minggu (13/10) domba yang beliau idam-idamkan pun datang di pekarangan rumahnya. Bahagia bercampur haru menciptakan bibir Sahati tidak henti-henti tersenyum, meskipun kadang matanya berkaca-kaca.
Ribuan barang bekas yang menjadi sumber penghasilannya bertahun-tahun berhasil beliau tukarkan dengan seekor domba hitam bercorak putih seharga Rp 2 juta. "Alhamdulillah," ucap syukur Sahati yang menjadi pemulung semenjak 1987 itu.
Para tetangga pun berdecak kagum. Misalnya, yang disampaikan Yeyet Suherti, 45, ketua RT setempat. Dia menyatakan sempat mewaspadai impian Sahati ketika mendengarnya lima tahun lalu. "Saya sempat bilang kepada dia, kurban itu cuma buat yang mampu. Tapi, beliau tetap bersikukuh. Demi ibadah, katanya," ungkapnya.
Dia menambahkan, Sahati merupakan pekerja keras. "Kalau dipikir-pikir, mana mungkin bisa ngumpulin uang buat beli binatang kurban dengan penghasilan paling banyak Rp 12 ribu seminggu" Tapi Ceu Wati menandakan bahwa dirinya mampu," tuturnya.
Yeyet mengisahkan perjalanan Sahati sesuai yang didengar pribadi dari sang nenek. Saat masih muda, Sahati tinggal di Kota Sukabumi bersama pamannya yang sudah usang meninggal. Setelah itu, beliau hidup sendiri. Berpindah-pindah kontrakan hingga sempat tinggal di bangunan bekas bengkel.
"Dulu beliau tinggal di kontrakan dekat pinggiran Sungai Cibandung, kemudian pindah ke bekas bengkel di depan rumahnya sekarang," paparnya.
Namun, pada 2006, bangunan bekas bengkel itu ambruk diterjang angin. Maklum, kondisinya memang sudah lapuk. "Bahkan, kepala Ceu Wati bocor waktu terkena genting yang jatuh ketika bangunan tersebut ambruk. Setelah itu, masyarakat membantu menyebarkan rumah," jelasnya.
Saat ini Sahati tinggal di sebuah rumah kecil berukuran 2 x 3 meter yang terdiri atas satu ruangan saja. Rumah tersebut merupakan pertolongan pemerintah dan masyarakat yang dibangun sehabis rumah bekas bengkel roboh.
Di dalam rumah tersebut, Sahati hidup sangat sederhana. Tidak ada meja dan kursi. Hanya ada kasur dan bantal lepek serta pakaian yang menggantung di tali yang menjuntai mulai ujung pintu depan hingga tembok cuilan belakang.
Selain itu, barang-barang bekas yang sudah ditata mempersempit ruangan rumah. Di ujung ruangan hanya ada panci-panci dan alat makan serta kompor minyak kecil yang sering dipakai memasak air dan menghangatkan makanan.
"Ceu Wati jarang masak. Masyarakat sekitar kadang kala suka ngasih beliau makanan," ujar Yeyet.
Pada masa tuanya ketika ini, Sahati hidup tanpa keluarga. Setiap malam beliau hanya ditemani redupnya sebuah bohlam berkekuatan 5 watt yang menerangi ruangan kecilnya. Terkadang beliau pun ditemani si Oneng, kucing kesayangan kawannya, Ma" Ikah, yang meninggal enam bulan lalu.
Setelah impiannya untuk berkurban terwujud, Sahati tidak mempunyai banyak keinginan lagi. Dia hanya berharap selalu diberi kesehatan supaya bisa bekerja. "Sing cageur we ameh bisa perjuangan (semoga selalu diberi kesehatan biar bisa kerja)," ujarnya.
sumber:
jawa pos.
Mulvi Mohammad Noor, SUKABUMI
Melihat pekerjaan dan usianya, tidak ada yang menyangka bahwa Sahati, warga Kampung Kuta Lebak, RT 6 RW 5, Kelurahan Sriwidari, Kecamatan Gunung Puyuh, bisa menunaikan niatnya untuk berkurban. Hal tersebut memang beralasan. Mengingat, penghasilannya dari menjual plastik, botol, dan barang-barang bekas yang dikumpulkan tidak seberapa.
"Paling banyak Rp 12 ribu per minggu. Kalau dapet-nya sedikit atau harganya turun, malah cuma Rp 8 ribu," ujar nenek yang erat disapa Ceu Wati tersebut.
Padahal, untuk berkurban, Sahati harus membeli kambing atau sapi. Usia binatang itu pun harus lebih dari setahun untuk kambing dan dua tahun untuk sapi. Di pasaran, harga dua jenis binatang tersebut minimal Rp 1,5 juta hingga Rp 5 juta.
Awalnya, nenek berjulukan lengkap Sahati Wati tersebut tidak mengerti apa itu kurban. Sahati yang semasa mudanya tidak pernah mengenyam sekolah itu lantas bertanya-tanya kepada pemuka agama mengenai aturan kurban dan manfaatnya. Keterangan para kiai tersebut justru menciptakan niatnya semakin besar lengan berkuasa dan nrimo menyisihkan penghasilan demi melakukan kurban.
"Meskipun pemulung, nenek juga pengin masuk nirwana dan punya kendaraan di alam abadi nanti," tutur nenek tidak bercucu tersebut.
Untuk memenuhi cita-citanya itu, setiap pukul 06.00 Sahati berangkat dari rumah. Dengan baju kusam dan sandal jepit tipis, beliau berjalan kaki sekitar 10 kilometer menyusuri setiap sudut Jalan Sudirman di Sukabumi. Dia juga mampir ke bak-bak sampah dekat Terminal Sudirman dengan harapan menemukan botol, kardus, besi, dan plastik bekas yang dibuang orang.
Setiap hari tidak banyak barang bekas yang bisa dibawa pulang. Karena itu, Sahati harus mengumpulkannya lebih dulu selama seminggu sebelum menjualnya ke pengepul.
"Orang lain sih dapet-nya banyak. Sebab, mereka ada yang pakai motor dan gerobak. Kadang-kadang sedih. Orang lain gerobaknya udah penuh, sedangkan saya cuma gres dapet satu atau dua buah," ungkapnya lantas tersenyum.
Hal tersebut, rupanya, tidak menyurutkan upaya Sahati. Nenek yang berpuluh-puluh tahun hidup sebatang kara itu terus berusaha keras supaya bisa membeli binatang kurban yang semenjak usang dicita-citakan.
"Pokoknya saya pengin kurban. Karena itu, saya selalu sisihkan hasil keringat saya, meskipun cuma Rp 500 atau Rp.1.000 atau berapa saja. Baru beberapa bulan ini uang sering saya titipkan ke adiknya Bu RT," jelasnya.
Kerja keras Sahati menyisihkan penghasilan receh demi receh hingga tujuh tahun itu pun kesannya membuahkan hasil. Pada Minggu (13/10) domba yang beliau idam-idamkan pun datang di pekarangan rumahnya. Bahagia bercampur haru menciptakan bibir Sahati tidak henti-henti tersenyum, meskipun kadang matanya berkaca-kaca.
Ribuan barang bekas yang menjadi sumber penghasilannya bertahun-tahun berhasil beliau tukarkan dengan seekor domba hitam bercorak putih seharga Rp 2 juta. "Alhamdulillah," ucap syukur Sahati yang menjadi pemulung semenjak 1987 itu.
Para tetangga pun berdecak kagum. Misalnya, yang disampaikan Yeyet Suherti, 45, ketua RT setempat. Dia menyatakan sempat mewaspadai impian Sahati ketika mendengarnya lima tahun lalu. "Saya sempat bilang kepada dia, kurban itu cuma buat yang mampu. Tapi, beliau tetap bersikukuh. Demi ibadah, katanya," ungkapnya.
Dia menambahkan, Sahati merupakan pekerja keras. "Kalau dipikir-pikir, mana mungkin bisa ngumpulin uang buat beli binatang kurban dengan penghasilan paling banyak Rp 12 ribu seminggu" Tapi Ceu Wati menandakan bahwa dirinya mampu," tuturnya.
Yeyet mengisahkan perjalanan Sahati sesuai yang didengar pribadi dari sang nenek. Saat masih muda, Sahati tinggal di Kota Sukabumi bersama pamannya yang sudah usang meninggal. Setelah itu, beliau hidup sendiri. Berpindah-pindah kontrakan hingga sempat tinggal di bangunan bekas bengkel.
"Dulu beliau tinggal di kontrakan dekat pinggiran Sungai Cibandung, kemudian pindah ke bekas bengkel di depan rumahnya sekarang," paparnya.
Namun, pada 2006, bangunan bekas bengkel itu ambruk diterjang angin. Maklum, kondisinya memang sudah lapuk. "Bahkan, kepala Ceu Wati bocor waktu terkena genting yang jatuh ketika bangunan tersebut ambruk. Setelah itu, masyarakat membantu menyebarkan rumah," jelasnya.
Saat ini Sahati tinggal di sebuah rumah kecil berukuran 2 x 3 meter yang terdiri atas satu ruangan saja. Rumah tersebut merupakan pertolongan pemerintah dan masyarakat yang dibangun sehabis rumah bekas bengkel roboh.
Di dalam rumah tersebut, Sahati hidup sangat sederhana. Tidak ada meja dan kursi. Hanya ada kasur dan bantal lepek serta pakaian yang menggantung di tali yang menjuntai mulai ujung pintu depan hingga tembok cuilan belakang.
Selain itu, barang-barang bekas yang sudah ditata mempersempit ruangan rumah. Di ujung ruangan hanya ada panci-panci dan alat makan serta kompor minyak kecil yang sering dipakai memasak air dan menghangatkan makanan.
"Ceu Wati jarang masak. Masyarakat sekitar kadang kala suka ngasih beliau makanan," ujar Yeyet.
Pada masa tuanya ketika ini, Sahati hidup tanpa keluarga. Setiap malam beliau hanya ditemani redupnya sebuah bohlam berkekuatan 5 watt yang menerangi ruangan kecilnya. Terkadang beliau pun ditemani si Oneng, kucing kesayangan kawannya, Ma" Ikah, yang meninggal enam bulan lalu.
Setelah impiannya untuk berkurban terwujud, Sahati tidak mempunyai banyak keinginan lagi. Dia hanya berharap selalu diberi kesehatan supaya bisa bekerja. "Sing cageur we ameh bisa perjuangan (semoga selalu diberi kesehatan biar bisa kerja)," ujarnya.
sumber:
jawa pos.
0 Komentar untuk "Kisah Nenek Miskin Menabung Rp 500 Selama 7 Tahun Demi Berkurban"