Ada sobat dari golongan FB orang-orang setengah umur hingga bau tanah dari FKUGM yang doeloe kuliahnya di Dalem Mangkubumen mengirim message: “Catur Wedha itu bagaimana dan dimana saya bisa mendapat referensinya?”
Pertanyaannya tidak secepatnya saya jawab. Teman saya ini orang yang mengetahui susila Jawa dan ia niscaya telah browsing di Internet. Banyak teladan yang cantik di internet. Tinggal tulis “Catur Wedha” dan kirim ke Google, Yahoo atau yang lain. Mungkin yang ia perlukan yakni “maknanya” atau barangkali ia mau mengarang sendiri kata-katanya, atau minta semacam second opinion dari teman. Akhirnya saya jawab: “Nanti saya email saja, semoga cocok”.
Mungkin juga diantara Bapak-bapak pembaca blog saya ada yang punya pertanyaan seumpama sobat saya ini, maka di bawah yakni ulasan dan teladan yang saya kirimkan ke sobat saya tadi. Siapa tahu cocok juga.
SEKILAS TENTANG CATUR WEDHA
Catur (empat) dan Wedha (ilmu) bisa diterjemahkan dengan empat ilmu atau empat pitutur. Secara khusus “Catur Wedha” yakni empat hikmah utama dari kandidat bapak mertua terhadap kandidat menantu laki-lakinya pada malam midadareni (nyantrik/nyantri), disaksikan tamu yang datang pada malam itu. Catur Wedha dibacakan menjelang sang kandidat mantu kembali ke daerah podokannya, sebelum program penyerahan kancing gelung (pakaian yang hendak dikenakan waktu pernikahan esok harinya).
Ada banyak model Catur Wedha, tetapi muatannya tetap sama. Yang beda cuma penggunaan bahasa Jawanya. Ada yang simple ada yang agak complicated karena disisipi kalimat-kalimat semacam “basa rinengga” (bahasa berbusana). Memang menjadi lebih indah, tetapi lebih panjang. Secara pribadi saya lebih menegaskan yang sederhana saja. Jaman telah berubah, kandidat mantu kita meskipun Jawa belum tentu paham.
Intisari empat pitutur utama dalam Catur Wedha tersebut adalah:
1. Laki-laki yang telah berkeluarga (demikian pula wanita), sikap dan perilakunya mesti berubah. Tidak sama lagi dengan polah-tingkah waktu masih belum berkeluarga.
2. Bakti terhadap mertua mesti sama dengan bakti terhadap orang bau tanah sendiri.
3. Hidup di penduduk dihentikan melanggar peraturan negara. Hasilnya adalah: Disayangi pimpinan dan masyarakat.
4. Menjalankan perintah dan tidak melanggar larangan Allah SWT. Kewajiban sehari-hari dalam kehidupan beragama mesti dijalankan.
BOLEHKAH DISAMPAIKAN DALAM BAHASA INDONESIA? MENGAPA BAHASANYA NGOKO?
Kebetulan ada sobat lain pernah menanyakan hal ini. Saya jawab dengan agak berdiplomasi. Indonesia ini dari Sabang hingga Merauke. Kalau kandidat menantu kita kebetulan bukan Jawa? Kecuali ia sekolahnya di Yogyakarta atau Surakarta akan banyak tidak pahamnya.
Demikian pula dunia telah mengglobal, banyak diantara bangsa kita punya menantu Bule. Tidak ada salahnya apabila kita bacakan dalam bahasa Indonesia bahkan bahasa Inggris atau yang lain.
Hanya satu yang hilang: Raos Jawinipun. Rasa Jawanya menjadi berkurang. Mengapa tidak kita bacakan dalam bahasa Jawa saja, dengan melampirkan terjemahannya. Bisa juga Pranata Adicara (MC) menyesuaikan dengan situasi, dia bisa menyodorkan terjemahan bahasa Indonesianya, untuk sang kandidat mantu dan para rawuh yang datang malam itu.
Ada juga yang tanya. “Kok penyampaiannya tidak menggunakan bahasa Jawa Krama (bahasa halus)?” Kalau yang satu ini memang ngoko saja. Lebih tepatnya “ngoko halus”. Sederhana reasoningnya: Yang ngomong kan kandidat mertua terhadap kandidat mantu. Ngoko, tetapi ngoko yang pantes.
DIMANA MEMPEROLEH REFERENSI CATUR WEDHA YANG BAGUS?
Pertanyaan ini yang menyibukkan dijawab. Yang diposting para blogger umumnya bagus. Catur Wedha juga bisa kita peroleh di buku-buku tentang tatacara pernikahan susila Jawa. Saya pernah menyaksikan di Yogya. Ibu perias juga niscaya punya naskah Catur Wedha. Demikian pula Pak MC kita (Pranata Adicara) pasti punya. Saya sendiri waktu mantu, menggunakan punya Pak MC. Beliau punya beberapa contoh, tinggal pilih yang paling pas dengan selera dan kesanggupan bahasa kita. Malah telah dicetak dalam kertas bagus, tinggal tandatangan dan masukkan pigura atau map sesuai impian kita.
Oh ya, ada satu lagi: Jangan lupa latihan membaca, jangan hingga kagok pada dikala kita menjadi bintang film utama pada malam itu.
Di bawah yakni teladan Catur Wedha selaku rujukan awal, kiranya bermanfaat.
CONTOH CATUR WEDHA SEDERHANA
Dalam hal ini “Catur Wedha” sanggup dibagi menjadi tiga bab, yaitu: (1) Pembukaan, (2) Isi atau Batang Tubuh dan (3) Penutup, selaku berikut:
1. PENDAHULUAN CATUR WEDHA
Pada biasanya diawali dengan ucapan Basmalah dan Salam (sesuai dengan agama yang kita anut) dan dilanjutkan dengan kata-kata pendahuluan selaku berikut:
Bismillahirohmanirrahim,
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh
Catur Wedha tumuju marang angger .............. (Nama Calon Pengantin Pria)
Angger anakmas ........... (nama Calon Pengantin Pria)
Insya Allah sira bakal dadi anak mantuku. Mula ing wanci malem midadareni iki saya sumedya paring pitutur patang prakara kang wus lumrah kasebut “Catur Wedha” kanggo sangu urip ing tengahing bebrayan agung. Pidhangetna kanthi premati ya ngger, putraku.
Catatan: Sira: kamu; Wanci: waktu; Sumedya: berniat; Bebrayan Agung: Hidup bermasyarakat; Pidhangetna: Dengarkanlah; Premati: Saksama; Ngger: Angger, Sebutan terhadap anak.
2. ISI CATUR WEDHA
Kaping pisan
Priya kang wus hangemong wanodya, tandang tanduke kudu wus beneh musuh nalikane isih jejaka. Mangkono uga wanodya kang wus kahemong guru laki, ing tandang lan pakartine, netepana wanodya kang wus ora lamban.
Catatan: Beneh: berbeda; Guru Laki: Suami; Lamban: Belum berkeluarga
Kaping pindho:
Jroning batin sungkema marang maratuwa, kadidene marang wong tuwane dhewe. Awit kang padha hamangun bebesanan, pangrengkuhe marang mantu, uga kaya marang anake dhewe.
Catatan: Jroning: sajeroning, didalam; Kadidene: seperti; Hamangun: membangun; Pangrengkuhe: sikapnya.
Kaping telu:
Urip ing bebrayan agung, wajibe netepi hangger-hanggering praja. Pikolehe: Pinutra ing nata, miwah kinasih ing sesama. Dimen sinuyudan, satemah hanjalari gancar salwiring pambudidaya
Catatan: Bebrayan agung: Kehidupan bermasyarakat; Hangger-hanggering praja: Undang-undang Negara; Pinutra: diangggap anak; Nata: raja/pimpinan; Kinasih: disayangi; Sinuyudan: Disenangi banyak orang; Gancar: lancar; Salwiring: segala, semua
Kaping papat:
Ngestokna dedhawuhane Pangeran lan singkirana wewalere Ingkang Maha Kuwasa. Wewarahing piyandel, utawa agama kang den anut, tindakna ing sadina-dina, dimen ayem, tentrem, miwah rahayu kang pinanggih.
Catatan: Ngestokna: patuhilah; Dhawuh: perintah; Pangeran: salah satu cara dalam bahasa Jawa untuk menyebut Allah SWT; Wewaler: larangan; Wewarahing: pelajaran dari; piyandel: kepercayaan; Ayem: tenang; Tentrem: Tenteram; Miwah: dan; rahayu: selamat; pinanggih: diperoleh.
3. PENUTUP CATUR WEDHA
Estokna ya angger, anakmas .......... (nama Calon Pengantin Pria). Muga-muga Gusti Kang Maha Kuwasa, tansah paring berkah, rahmat, taufik lah hidayah marang sliramu.
Amin, ya Rabbil allamin.
Wassalamu’alaikum warahmatullani wabarokatuh
................, ............. (diisi kota atau alamat dan tanggal daerah Catur Wedha dibacakan)
............................... (diisi tandatangan kandidat bapak mertua yang membaca catur Wedha)
............................... (Diisi nama kandidat Bapak Mertua yang membacakan Catur Wedha)
Catatan: Sudah jelas
LIDING DONGENG
Catur Wedha jaman kini biasanya telah diketik dan diberi pigura bagus. Selesai dibacakan lalu pribadi diserahkan terhadap kandidat menantu (Seperti apabila menyerahkan ijazah kelulusan atau akta selesai mengikuti pelatihan). Bersalaman, selesailah pembacaan Catur Wedha. Pranata Adicara (MC) selanjutnya akan memberi tahu program selanjutnya yakni penyerahan Kancing Gelung (Pakaian yang hendak dikenakan Calon pengantin Pria) pada dikala Ijab Kabul esok harinya.
Kata kunci dalam Catur Wedha adalah: (1) Perubahan perilaku; (2) Berbakti terhadap orang bau tanah dan mertua; (3) Tidak melanggar Undang-Undang Negara; (4) Menjalankan perintah Allah SWT. Tujuannya adalah: Selamat dunia alam abadi dalam kehidupan keluarga yang Sakinah, Mawaddah dan Warohmah. (Iwan MM)
0 Komentar untuk "Catur Wedha: Wejangan Kandidat Bapak Mertua Terhadap Kandidat Menantu Laki-Laki"