Sabda Pandita Ratu (4): Tuladha Dari Sri Pakubuwana Vii

Sudah agak usang saya tidak ketemu Darman SABDA PANDITA RATU (4): TULADHA DARI SRI PAKUBUWANA VII
Sudah agak usang saya tidak ketemu Darman. Minggu kemudian ia datang, bawa buah tangan dari luar negeri. Rupanya ia mengikuti short course selama beberapa bulan. “Barang kecil, mudah-mudahan Bapak dan Ibu suka”. Mana ada buah tangan tidak mengasyikkan dan yang ia bawa memang cocok buat kita.
 
Selanjutnya ia berceritera hal-hal lucu yang ia alami di sana (Ia gres satu kali ini keluar negeri sendirian. Beberapa kali ikut rombongan, tergolong Umrah). Selanjutnya dan berikutnya lagi ia mengajukan pertanyaan yang menghasilkan lisan saya yang tadinya ngakak digantikan oleh dahi yang mengkerut, alasannya merupakan pertanyaannya tergolong sulit.
 
Yang ia tanyakan merupakan klausul terakhir dalam surat-surat keputusan yang kurang lebih berbunyi: “Apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan dalam penetapan keputusan ini akan diadakan pergantian sebagaimana mestinya”. Apakah hal ini tidak berseberangan dengan “Sabda Pandhita Ratu: “Yang sudah terucap mesti dilaksanakan”. Darman menambahkan: “Surat keputusan di negara lain kelihatannya tidak menyertakan kata-kata menyerupai itu”.
 
Inilah celakanya. Saya bukan jago hukum, saya sekedar jago othak-athik gathuk amatiran. Tapi jelek-jelek pernah juga tandatangan surat keputusan skala kecil sesuai tingkat kewenangan saya. “Gini, Man”. Saya jawab sehabis berpikir beberapa saat. “Harus diketahui bahwa sabda bukan keputusan. Sabda merupakan ucapan eksklusif dan keputusan merupakan surat penetapan institusional yang pembuatannya disiapkan lewat telaah dan diparaf beberapa staf terkait sesuai urutan hirarkhi”.
 
Jaman kini alasannya merupakan semua mesti ada dasar hukumnya maka “Sabda” mesti dikukuhkan dengan “serat kekancing” atau surat keputusan. Untuk menghasilkan surat keputusan ada tata naskahnya dan tata aturan pembuatannya mudah-mudahan sah secara hukum. Adapun “Sabda Pandita Ratu” mengajarkan kita untuk tidak waton muni sesuai sindiran dari tempe: esuk dhele sore tempe. Disitulah janji eksklusif kita dinilai.
 
Tulisan di bawah, ada dalam Serat Madubasa, anggitan Ki Padmasusastra, Ngabehi Wirapustaka ing Surakarta, 1912. sanggup dibaca di situs web Yayasan Karya Lestari, Surakarta, Sudah saya kutip sebelumnya selaku bab dari goresan pena Pitutur Kumpulan 1: Berbicara. Kiranya sanggup digunakan selaku rujukan.
 
 
SERAT MADUBASA: TULADHA DARI SRI PAKUBUWANA VII
 
Unen-unen: sabda pandhita pangandikaning ratu yen wis tumiba ora kena owah.
 
Ana tetuladane nalika jumeneng dalem, P.B. VII ana onder upsir malarat, wis ora sanggup mara seba, dilalah ing sawiji dina ingkang sinuhun kangjeng susuhunan, ngulawisudha onder opsir, utun dalem nyai tumenggung keliru olehe andhawuhake timbalan dalem, marang kolonel komandhan, onder upsir kang malarat mau kang winisudha, nganti agawe oreging pasewakan, awit sulaya karo panyuwune kolonel komandhan, sanadyan mangkono iya dilestarekake, sarehning onder upsir mau ora seba: banjur didhawuhake marang omahe panuju turu banjur digugah, kalakon didhawuhake dadi upsir, bareng konjuk kauningan ing sampeyan dalem, kacathet sajroning galih yen olehe andhawuhake nyai tumenggung kliru, nanging ora dibatalake sarta ora andadekake deduka dalem, bareng ing dina Senene manèh: misudha marang upsir kang benere disuwunake, sarta mundhut balining arane upsir kleron, diparingake marang upsir anyar, opsir kleron, kaparingan liru kaarana: Radèn Mas Panji Jayasupena, (dening lagi turu winisudha) iki teteping unen-unen ing dhuwur mau: sabda pandhita pangandikaning ratu (Madubasa)
 
 
TERJEMAHAN
 
Ucapan: “Sabda pandhita pangandikaning ratu” jikalau sudah diucapkan tidak sanggup diubah. Ada referensi pada masa pemerintahan Pakubuwana VII, pernah terjadi kekeliruan mengangkat seorang bintara miskin menjadi perwira. Petugas yang ditugasi memberi tahu salah alamat, tidak cocok dengan yang dianjurkan kolonel komandan.
 
Sri Sunan tetap mewisuda menjadi perwira meskipun pisowanan menjadi heboh. Lebih-lebih si kandidat perwira tidak sowan menghadap, dan waktu disusul ke rumahnya, yang bersangkutan masih tidur. Sri Sunan tahu jikalau petugas salah melakukan perintah, tapi tidak murka dan tetap mewisuda si perwira keliru tersebut.
 
Selanjutnya perwira yang semestinya dipromosikan diwisuda ahad depannya. Nama jabatan yang sudah diberikan terhadap perwira keliru tersebut dikembalikan terhadap perwira yang seharusnya, dan si perwira keliru diberi nama jabatan gres yakni Raden Mas Panji Jayasupena (Supena: mimpi, orang mimpi memiliki arti sedang tidur; Diberi nama tersebut alasannya merupakan waktu diundang yang bersangkutan masih tidur).
 
Itulah: Sabda pandhita pangandikaning ratu. Kalau sudah diucapkan mesti dilaksanakan.
 
 
LIDING DONGENG
 
Demikianlah kawicaksanan seorang raja. “Sabda” yang diucapkan tetap “pandita ratu”, Apa yang sudah terucap tetap dilaksanakan. Sri Sunan tidak marah, kesalahan bawahan sanggup manusiawi sehingga diambil alih pimpinan, tapi kekeliruan diperbaiki. Jabatan dikembalikan terhadap yang punya kompetensi, yang tak punya kompetensi alasannya merupakan bukan kesalahannya, tetap dihargai. Mohon diperhatikan: prosesnya.
 
Kata-kata “apabila terdapat kekeliruan akan diadakan perubahan” rasanya memang semestinya ada. Tentusaja ada catatannya. Jangan sering mengubah-ubah keputusan, alasannya merupakan ceriteranya jadi lain. Demikian pula andaikan memang mesti mengubah, prosesnya juga mesti pakai aturan yang serupa dengan waktu membuat.
 
CATATAN: Tulisan ini merupakan lanjutan dari beberapa goresan pena tentang Sabda Pandita Ratu, yang terakhir merupakan  SABDA PANDITA RATU (3): ESUK DHELE SORE TEMPE

Related : Sabda Pandita Ratu (4): Tuladha Dari Sri Pakubuwana Vii

0 Komentar untuk "Sabda Pandita Ratu (4): Tuladha Dari Sri Pakubuwana Vii"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)