Sinisme A La Jawa

Mempunyai kalangan FB yang umurnya rata-rata pertengahan hingga bau tanah dan kuliahnya sama-sama di Yogyakarta, banyak untungnya untuk saya, terutama dalam pengayaan blog Pitutur dan Perilaku a la Jawa ini.
 
Di bawah yaitu goresan pena rekan saya dr. Ambarwati Soemono wacana peningkatan harga bawang dewasa ini dikaitkan dengan ingatan masa kecilnya di Salatiga. Judul aslinya Sinisme gaya Jawa. Apa yang dia tulis tidak saya ubah, sanggup dipirsani di bawah ini:
 
 
SINISME GAYA JAWA
 
Dengan peningkatan harga bawang merah dan bawang putih bulan-bulan terakhir ini, saya jadi ingat jaman kecil (saya sdh kelas 3 atau 4 SD) dikala diajak mbah Sukinem, yang momong saya, ke Pasar Jetis (Salatiga, bukan Yogya).
 
Ketika itu dia mengekspresikan betapa mahalnya (menurut ukurannya waktu itu) harga cabai merah dengan menyampaikan (setengah nggrundel): “Lombok kok larange kaya emas….”
 
Kontan dijawab oleh si pedagang : “mBaaah, mbah, yen emas regane kaya lombok, lha rak muriiih, teneh saya tuku sekilo…”
 
Lain hari saya ikut mbah Nem ke pasar lagi, kali ini beda ungkapannya dikala dia berbelanja brambang (bawang merah) : “ Walaaah, tuku brambang selawe rupiah kok kaya njaluk…” selaku ekspresi begitu mahalnya bawang merah sehingga untuk harga duapuluhlima rupiah (waktu itu) cuma sanggup beberapa butir, sungguh jauh lebih minim dari perkiraannya.
 
Kali ini si pedagang menjawab: “ mBaaah, mbah, yen sampeyan mau nembung njaluk, ora bakal tak wenehi…teneh tuna (rugi) aku, mbaaah…”
 
 
 
CATATAN 

Untuk menolong Bapak Ibu yang tidak begitu paham kalimat Jawa yang panjang-panjang dengan ekspresi dialek Jawa, di bawah yaitu terjemahannya:


Gambar dari www.ventanasvoyage.com
Lombok kok larange kaya emas: Lombok kok mahalnya seumpama emas

Yen emas regane kaya lombok, lha rak muriiih, teneh saya tuku sekilo: Kalau emas harganya seumpama lombok, kan murah sekali, saya beli sekilo

“Walaaah, tuku brambang selawe rupiah kok kaya njaluk…” : Walaaah, beli brambang duapuluhlima rupiah kok seumpama minta saja. (Karena niscaya cuma sanggup beberapa butir, maka seolah-olah seumpama minta saja)

“mBaaah, mbah, yen sampeyan mau nembung njaluk, ora bakal tak wenehi…teneh tuna (rugi) aku, mbaaah…” : Mbaaah, mbah. Kalau tadi bilangnya minta, niscaya tidak saya kasih. Kan saya rugi, mbah"


LIDING DONGENG

Dialog di atas kira-kira masih sanggup kita jumpai di pasar-pasar tradisional di Jawa terutama di desa. Terjadi pada transaksi “tawar-menawar” yang dalam bahasa Jawa disebut “anyang-anyangan” atau “nyang-nyangan”

Sama-sama sinis sebenarnya, tetapi tidak memicu trigger untuk tubruk mulut. Yang mendengar pada ketawa, yang pembicaraan risikonya ikut ketawa. Apalagi yang menawar seorang simbah (nenek, atau orang yang telah tua).

Sekarang ini kita berada dalam era serba cepat. Pasar telah mulai sunyi dengan orang-orang yang menikmati seni tawar-menawar, dengan sebutan sesuai mental versi masing-masing. Apakah keadaan ini menggambarkan ungkapan: “Pasar ilang kumandange?” Demikian Pak Dhe Masyhudi yang rumahnya di belakang Sriwedari, Solo, bertanya.

Pasar ilang kumandhange (pasar kehilangan gemanya, dalam pemahaman “gema” dari orang-orang yang asyik bertransaksi) mengandung arti kesejahteraan yang hilang, sehingga pasar pun sepi. Pada masa 21 ini kata pasar ilang kumandhange boleh diartikan secara harfiah: Tidak ada lagi suara-suara orang bertransaksi semua telah ditelan labelisasi. Kalau harga dalam label tidak cocok, silakan pergi; inilah globalisasi. (Iwan MM)

Related : Sinisme A La Jawa

0 Komentar untuk "Sinisme A La Jawa"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)