Melanjutkan dua goresan pena terdahulu: Perilaku lelaki dalam paribasan Jawa dan Nasib dan sikap perempuan dalam paribasan Jawa, maka pada goresan pena ke tiga ini kita coba membahas bagaimana relasi antara keduanya, yang sanggup dipirsani pada beberapa pola di bawah.
A. KENAL, PISAH DAN KUMPUL A LA KERBAU
1. TEPUNG KEBO
Digunakan untuk dua orang (laki-laki dan perempuan yang gres berkenalan tapi belum tahu namanya. Mengapa yang digunakan kok “kerbau” dan bukan “sapi” susah menjelaskannya. Teman saya Mas Parmo yang di saat itu sedang tidak serius, mengatakan: Barangkali kerbau amat ndeso dan lamban, sehingga di saat berkenalan lupa tanya nama. Mungkin perlu menuntut ilmu dari lagu Juwita Malam: Tulislah nama, alamat serta, esok lusa boleh kita jumpa pula”
2. PISAH KEBO
Gambaran Suami Isteri yang sudah berpisah tapi belum cerai. Menjelaskannya sama sulitnya: Mengapa kerbau bukan yang lain? Barangkali ini juga citra rakyat jaman dahulu yang masih banyak dilanda kebutaan tergolong buta hukum, tergolong aturan agama: bahwa perceraian mesti sisahkan secara hukum.
3. KUMPUL KEBO
Sepertinya perumpamaan yang satu ini barang gres alasannya merupakan tidak pernah disebut-sebut dalam goresan pena seabad yang lalu. Istilah kumpul kebo menggambarkan lelaki dan perempuan tinggal serumah, melakukan relasi suami isteri di luar nikah. Berarti melanggar norma dan aturan agama.
B. TERLALU DEKAT: BISA BAHAYA
1. KUCING SANDHING DHENDHENG
Laki-laki diumpamakan kucing dan perempuan digambarkan selaku dendeng. Kucing niscaya suka dendeng dan akan berusaha memakannya. Maksud peribahasa ini jikalau lelaki dan perempuan terlalu berdekatan potensial untuk terjadi hal-hal yang tidak dikehendaki (ditinjau dari norma kesusilaan dan agama).
2. DUK SANDHING GENI
Duk: Ijuk; Geni: Api. Ijuk jikalau bersahabat api risiko terbakar pastinya besar. Maksud peribahasa ini sama dengan “kucing sandhing dhendheng” di atas.
C. TIDAK JADI ATAU MENUNDA NIKAH
Mau nikah terpaksa tidak jadi (atau ditunda) alasannya merupakan kerabat renta yang hendak menikah ada yang belum menikah. Mau melangkahi, tidak berani. Dalam paribasan Jawa disebut CENGKIR KETINDHIHAN KIRING (Cengkir: buah kelapa yang masih amat muda; Kiring: buah kelapa yang sudah amat renta dan kering).
Sebenarnya dalam budpekerti Jawa langkah melangkahi dalam perjanjian nikah merupakan hal biasa. Yang penting selaku kerabat muda kita minta ijin, dan secara budpekerti sebelum program “siraman” dimulai, dijalankan program “langkahan” apalagi dahulu.
D. BEBERAPA ISTILAH TENTANG MANTU
Di luar rangkaian program perjanjian nikah dalam budpekerti Jawa yang cukup panjang dan sarat perlambang, perumpamaan orang mantu pun juga banyak, mirip pola di bawah:
1. BALUNG TINUMPUK
Sering kita dibuat gelisah jikalau ada ajakan resepsi pernikahan, pengantinnya dua pasang. Kadonya satu-satu atau jadi satu? Dalam perumpamaan Jawa, menikahkan dua anak barengan dalam satu hari disebut “balung tinumpuk”. (balung: tulang; tinumpuk: ditumpuk).
2. MANTU MBATA RUBUH
Tumpukan bata jikalau roboh niscaya banyak dan suaranya heboh. Mantu mbata rubuh digunakan untuk menggambarkan orang mantu sekaligus lebih dari satu orang dinikahkan barengan. Balung tinumpuk tergolong mantu mbata rubuh, jikalau tiga dimantu barengan, inilah yang mbata rubuh beneran.
3. MANTU MBANYU MILI
Mantu yang diumpamakan air mengalir. Menggambarkan orang yang tiap tahun mantu. Tentunya ini cerita jaman dahulu dimana lazimnya orang punya banyak anak. Setelah bawah umur cukup umur maka manunya pun lumintu.
4. TUMPLAK PONJEN
Mantu yang terakhir. Tumplak: menumpahkan; Ponjen: kantong wadah jamu. Menggambarkan bahwa upacara mantu itu butuh ongkos banyak. Diibaratkan semua duit yang di kantong ditumpahkan habis untuk membiayainya.
5. NGLUMAHAKE NGUREBAKE
Pengertian harfiahnya: menelentangkan dan menelungkupkan. Maksudnya dua pasutri yang saling berbesanan dua kali: Yang satu anak perempuan, satunya lagi anak laki-laki.
LIDING DONGENG
Hubungan lelaki dan perempuan yang cukup bersahabat dan bukan saudara, sanggup saja diawali dengan tepung kebo, dan biar tidak menjadi kucing sandhing dhendheng seharusnyalah dituntaskan dengan perjanjian nikah yang sah sesuai dengan aturan agama. (Iwan MM)
0 Komentar untuk "Hubungan Pria Dan Wanita Dalam Paribasan Jawa"