“Gombal” menurut Bausastra Jawa, Poerwadarminta, 1939, merupakan busana yang sudah lama. Pasti warnanya pudar dan robek-robek lantaran lapuk.
Terkait dengan kata “gombal” dalam pemahaman yang nyaris sama merupakan kata “amoh” yakni kain yang sudah robek-robek lantaran tua.
“Gombal amoh” merupakan kata beraneka ragam menyangatkan. Yang namanya gombal niscaya amoh. Pakaian yang sudah gombal jelas tidak layak pakai.
Kita sering dengar seruan pinjaman “pakaian layak pakai” artinya busana bekas namun masih layak dipakai.
Rupanya banyak orang mempergunakan potensi seruan pinjaman untuk butuhe dhewe yakni “cuci almari”: mencampakkan dengan alasan menyumbangkan gombal-gombal amohnya.
GOMBAL DAN GOMBAL AMOH
Menyumbangkan busana yang sudah gombal plus amoh, sama saja dengan tidak menberikan sesuatu. Sama saja dengan bohong. Demikian pula mengucapkan kata-kata yang tidak layak diucapkan, umpamanya berbohong, tidak menepati janji, membual, dll merupakan kata-kata “gombal” atau bila mau lebih tegas lagi, kita katakan: “gombal amoh”.
“Gombal” dan “gombal amoh” termasuk perbendaharaan kata bahasa Jawa. Sebagai kalimat aktif merupakan umpatan atau makian. Bukan makian halus, bukan pula makian kasar. Tetapi makian dengan canda diantara orang-orang yang sudah bersahabat dalam situasi informal.
Kalau kemudian kita kenal kata “rayuan gombal”, ini sih bahasa Indonesia dan merupakan kata kerja, yang memang nggombal, seumpama sudah disebutkan di atas. Bapak-bapak tergolong saya niscaya dahulu pernah melakukannya.
Kalau kemudian kita kenal kata “rayuan gombal”, ini sih bahasa Indonesia dan merupakan kata kerja, yang memang nggombal, seumpama sudah disebutkan di atas. Bapak-bapak tergolong saya niscaya dahulu pernah melakukannya.
Ceritera ini sudah lama berselang kejadiannya: Ketika itu boss saya menagih naskah sambutan yang dia minta. Saya katakan: “Sudah di meja Bapak dari tadi pagi (saya amat percaya lantaran sekretaris dia sudah saya wanti-wanti)”. Beliau melotot ke saya: “Gombal, kamu. Mana?” Sekretaris pun dipanggil. Akhirnya ketemu juga, tertindih berkas-berkas yang dia bawa dari rumah. Setelah sekretaris keluar, dia mengatakan: “Kalau begitu yang gombal amoh saya, ya”. Saya iyakan dan dia tertawa. Dalam hati saya memuji dia selaku pimpinan yang sportif.
GOMBAL MUKIYO
Kata-kata ini bareng “ora patheken” pertama saya dengar saat pindah kiprah ke Jawa Timur. (Keduanya mungkin sebutan orisinil Jawa-timuran yang memang lebih lugas). Baru beberapa hari bertugas saya sudah berkali-kali dengar temab mengatakan saling menggombal-mukiyokan. Kelihatannya saling menghujat namun kok sambil ketawa-ketawa.
Pada jadinya saya menyadari bahwa sebutan Gombal Mukiyo yang dilontarkan seseorang mengandung elemen kesal, elemen menyindir dan pernyataan bahwa “aku tahu itu bohong-bohongan” dilandasi selera humor tinggi.
Sebagai teladan Ketika seorang kawan menyampaikan bahwa ada sumur tiban yang timbul di bawah tempat tidur tetangganya, maka ada yang komentar: “Ah gombale Mukiya maneh”. Teman yang digombalkan juga cuma cengar-cengir namun tidak marah. Hanya saja kawan yang namanya Muktiyo bila sudah ada kata “Mukiyo” timbul ia akan raib belakang layar sebelum Mukiyo bergeser menjadi Muktiyo (ini saya tidak nggombal Mukiyo lho).
MENGAPA HARUS GOMBALNYA MUKIYO?
Kata “gombal” dengan atau tanpa pakai “amoh” sudah jelas. Yang masih jadi misteri merupakan “Mukiyo” yang niscaya nama orang, dan niscaya orang Jawa banget. Ada hubungan apa antara Mukiyo dengan Gombal?
Kurang lebih setahun lalu, kawan dari golongan Facebook MamaConga (Mantan Mahasiswa Complex Ngasem), Dr. Soemartono Samadikoen, SpM dalam postingnya menulis yang intinya: Tahun 1963-1964 waktu itu dia sekolah Sekolah Menengah Pertama di Nganjuk (Jawa Timur) ada orang gila yang kemana-mana menyeret gombal dan makin lama gombalnya makin banyak. Orang gila ini namanya Mukiyo.
Hal ini dikonfirmasi dr. Basuki Sutantoro, SpS yang masa kecilnya (1960an) di Kediri (sekitar 30 Km dari Nganjuk). Beliau juga memperoleh ceritera bahwa ada orang gila berjulukan Mukiyo yang tidak pernah berganti pakaian. Makara niscaya kotor dan baunya juga bukan main-main.
Mengapa Mukiyo gila, salah satu versinya adalah: Dulu Mukiyo orang kaya di Nganjuk. Demikian ditulis Ruth Wijaya dalam blognya pada tahun 2007. Ia menjadi gila pada jaman duit Rp. 1000 diturunkan nilainya menjadi Rp 1. Kejadian ini kira-kira juga pada tahun 1960an. jadi cocok dengan klarifikasi dua dokter spesialis di atas.
Dalam kegilaannya semua duit dan busana dimasukkan dalam satu wadah dan diseret-seret kemana-mana. Makin lama makin besar buntalannya lantaran setiap ada gombal ia masukkan. Ada juga yang menambahkan, tidak cuma gombal namun daun-daun kering yang dianggapnya duit pun masuk. Kebenarannya Wallahu’alam.
Orang gila niscaya omongnya ngelantur. Kebetulan orang yang dibilang suka “nggombal”, bila tidak ngelantur ya tidak sanggup dipegang omongannya. Makara cocoklah sudah untuk ungkapannya. Semua yang jelek (belum tentu berarti kejahatan) di-mukiyo-kan. Dalam perjalanan waktu, kini ini orang-orang yang perilakunya merugikan orang lain juga kena "Mukiyo".
LAPORAN DARI BOSTON
Saya dapatkan goresan pena nyaris 4 tahun kemudian (27 September 2009) yang ditulis Budiono Darsono di DetikNews, dengan judul SBY: Dalam Bahasa Inggris Itu Namanya Gombal Mukiyo.
Kutipannya selaku berikut:
Jargon bila sanggup dipersulit kenapa mesti dipermudah, mesti dibuang. Jargon itu jelas-jelas menghalangi majunya Indonesia.
"Harusnya permasalahan selesai sehari, gres sepekan selesai. Dalam bahasa Inggrisnya, itu namanya gombal mukiyo," kata Presiden SBY.
Gombal mukiyo yang dilontarkan SBY disambut dengan ger geran dari pelajar dan penduduk Indonesia yang menyanggupi ruangan di lantai 2 Hotel Four Seasons, Boston, Amerika Serikat, Sabtu (26/9/2009) pukul 20.30 waktu lokal atau Minggu (27/9/2009) pukul 07.30 pagi waktu Jakarta.
Gombal mukiyo itu merupakan sebutan dalam bahasa Jawa untuk menyebutkan kelakukan yang tidak baik. Nah, budaya gombal mukiyo alias sikap birokrasi yang justru tidak melayani namun malah menghalangi pelayanan, akan dibersihkan.
Selengkapnya sanggup dibaca pada link di bawah ini:
http://news.detik.com/read/2009/09/27/074838/1209629/10/sby-dalam-bahasa-inggris-itu-namanya-gombal-mukiyo?991101605
CATATAN
Disini Budiono Darsono mendefinisikan Gombal Mukiyo selaku kelakuan yang tidak baik, dengan mengambil teladan teguran Presiden SBY atas sikap birokrasi yang menghambat. Mengapa Gombal Mukiyo sanggup bergaung di Boston lewat Bapak Presiden SBY, menurut nasehat saya tahun 1960an bapak Sby yang masih remaja berada di Pacitan, Jawa Timur dan tidak terlampau jauh dari Nganjuk.
Gombal Mukiyo bukan sebutan kasar, meskipun ada nada kesal tetapi disampaikan dalam guyon. Di atas sudah saya tulis bahwa Gombalnya Mukiyo ini disampaikan dalam situasi bersahabat dilandasi selera humor yang tinggi. Oleh lantaran itu Budiono Darsono menulis: “Gombal mukiyo yang dilontarkan SBY disambut dengan ger geran dari pelajar dan penduduk Indonesia ......”. Dalam hal ini Bapak kita sudah menempatkan penyampaian kata Gombal Mukiyo secara pas.
LIDING DONGENG
Gombalnya sudah jelas: Secara harfiah merupakan kain atau busana bau tanah yang sudah lama dan kotor. Bila mau disangatkan bisa dilengkapi dengan “amoh” menjadi “gombal amoh”.
Misterinya ada pada “Mukiyo”. Mengapa mesti Mukiyo yang digombalkan? Ada beberapa versi: Asal-usulnya mengarah dari dari Jawa Timur. Dari beberapa informasi, mengerucutnya ke wilayah Nganjuk. Barangkali Bapak Ibu yang berasal dari Nganjuk lebih tahu perihal ini. Kalau dari Jogja rasanya kok tidak. Saya dari lahir hingga selesai pendidikan berada di Jogja kelihatannya tidak bersahabat dengan Mukiyo yang nggombal ini.
Pak Mukiyo yang mestinya sudah meninggal dunia bukanlah sosok yang mesti disalahkan. Gombalnya lah yang jadi subyek lantaran kekhasannya: "Tambah banyak dan tambah bau". Beliau hanyalah perhiasan untuk memfokuskan subyek, namun terpaksa ikut menderita.
Siapapun Mukiyo dan seberapa menyengatkah busuk gombalnya, kata-tata Gombal Mukiyo ini sekali lagi konotasinya tidak kasar. Ada elemen candanya. Kalau ada diantara Bapak dan Ibu ketemu saya, kemudian saya berceritera habis diajak makan Presiden Obama, kira-kira Bapak atau Ibu akan tertawa sambil mengatakan: “Ah Gombal Mukiyo, kamu”. Maka saya dihentikan marah. Hanya mohon maaf kata-kata saya belum selesai: “Kaget saya terbangun lantaran sopir Bis mengerem mendadak”. Mungkin masih ada yang kersa kasih ekstra komentar: “Omongan Bapak ini betul-betul kian Gombal Mukiyo” (Iwan MM).
0 Komentar untuk "Melacak Gombal Amoh Dan Gombal Mukiyo"