Liburan di Jogja senantiasa menyenangkan. Tidak cuma kulinernya yang “ngangeni” namun juga kita sanggup mendengar ungkapan-ungkapan yang usang tidak kita dengar. Bagi saya mirip mendengar lagu oldies yang usang tidak diputar.
“Sipil, pakdhe”. Saya menoleh dan senyum sendiri mendengar kata “sipil” yang telah usang tidak saya dengar, dari Pak tambal ban. “Sipil” yakni “gampang sekali, nggak ada masalah”. Ia katakan demikian sehabis seorang pria setengah umur memberikan sepeda yang remnya macet.
Menyelesaikan sesuatu pekerjaan ada yang gampang, ada yang menyibukkan ada pula yang tidak rampung. Sebenarnya semua bergantung kita sendiri. Mau cepat atau lambat, mau selesai atau tidak selesai.
Di bawah yakni beberapa ungkapan Jawa untuk hal-hal yang praktis diselesaikan, yang menyibukkan dan yang berhenti di jalan, kiranta sanggup dijadikan rujukan:
YANG AMAT MUDAH
1. SUWE MIJET WOHING RANTI
Ranti yakni buah mirip tomat namun kecil-kecil, kulit buahnya juga tipis dari tanaman perdu. Menggambarkan pekerjaan yang amat praktis dikerjakan, menyerupai memijat buah ranti yang sanggup dilakukan oleh ibu jari dan jari telunjuk tanpa kesulitan.
Tukang tambal ban tadi jikalau ditanya: “Lama apa tidak?” lantaran ia telah berani menyampaikan “sipil” maka ia sanggup menjawab: “Nggak akan lama, suwe mijet wohing ranti”.
2. TIMUN JINARA
Kulit buah mentimun juga tipis, demikian pula daging buahnya. “Jara” yakni semacam bor. “Timun jinara artinya mentimun dibor”. Apa susahnya mengebor mentimun? Artinya sama dengan yang di atas: Pekerjaan yang amat praktis dilakukan.
3. EMPOL PINECOK
Kalau kita membelah kelapa yang telah tua, maka di bawah lubang kawasan ia akan bertunas akan kita peroleh (lihat gambar di bawah) semacam benjolan lingkaran yang halus dan lunak. Kalau dikonsumsi rasanya juga gurih. “Pecok” yakni memotong (dengan parang). Pasti tidak ada susahnya samasekali untuk memotong empol ini. Maksudnya sama dengan yang di atas: Pekerjaan yang amat praktis dilakukan
YANG AMAT SULIT
1. NUTUTI LAYANGAN PEDHOT
Barangkali banyak diantara kita yang pada masa kecil dahulu suka ikut rame-rame memburu layang-layang putus. Yang terang happy-happy saja walau mesti lari, kerap kali mesti berebut, panjat pohon atau naik atap. Ada juga yang berakhir saling baku pukul.
Pengertian peribahasa ini yakni mengharap kembalinya barang kecil yang hilang; andaikan sanggup ditemukan kembali balasannya tidaik sebanding dengan perjuangan kita. jadi: Tingkat kesusahan tinggi, hasil tidak memadai
2. MECEL MANUK MABUR
“Pecel” menurut Bausastra Jawa, Poerwadarminta, 1939, yakni lauk yang dibentuk dari sayur-mayur dan sambal. “Mecel” yakni menghasilkan pecel, sanggup kita artikan dengan mengolah masakan lauk. “Manuk mabur” yakni burung terbang. Burung yang sedang melayang pastinya mesti ditangkap dulu, dan seterusnya hingga sanggup dimasak. Dalam hal ini kita berhasil “mecel manuk mabur”. Artinya: Kita berhasil melaksanakan pekerjaan yang amat sulit.
3. MBURU KIDANG LUMAYU
Sering juga dibilang NUTUTI KIDANG LUMAYU. Mburu dan Nututi artinya sama: mengejar. Lumayu: lari. Kijang terkenal selaku pelari cepat. Dalam Serat Wulangreh kijang digambarkan selaku makhluk angkuh mewakili sifat Adigang, merasa paling kuat. (Serat Wulangreh: Adigang Adigung Adiguna).
Peribahasa “Mburu kidang lumayu” menggambarkan orang yang melaksanakan sesuatu yang belum terang berhasil atau tidaknya. Yang jelas: “Success Rate” rendah. Andaikan berhasil memiliki arti kita berhasil “Mecel manuk mabur”.
4. NGATURAKE KIDANG LUMAYU
Serupa tetapi tak sama dengan “mburu kidang lumayu”. Bila pada “Mburu kidang lumayu” kita memburu sesuatu yang menyibukkan untuk diri kita sendiri atau mengomentari kelakuan orang lain yang mirip itu, maka pada “Ngaturake” kidang lumayu kita memerintahkan atau membujuk orang lain untuk melaksanakan sesuatu sulit atau nyaris sulit dipercayai untuk diperoleh.
5. KEKREK AREN
“Kekrek” artinya menyobek dengan pisau. Kata “kekrek” biasanya digunakan untuk sesuatu yang sanggup “dikekrek” misalnya daun, kulit batang pohon, dll. Tapi disini yang “dikekrek” bukan batang atau daun pohon pisang melainkan pohon aren yang keras dan mungkin berduri. Pengertiannya: Seorang yang melaksanakan pekerjaan sulit dengan rasa was-was melakukannya (karena tangan sanggup terluka). Jadi: Sukses dengan was-was lantaran tingkat keselamatan yang rendah.
6. NYERET PRING SAKA PUCUK
Pengertiannya: Pekerjaan praktis jadi sulit lantaran salah cara mengerjakannya. Bila kita menebang bambu kemudian mau menariknya, pasti lebih praktis ditarik dari pangkal batangnya ketimbang dari pucuknya. Dapat dibaca pada posting Bambu dan ungkapan Jawa (2): Dongeng dan Paribasan.
YANG TIDAK DISELESAIKAN
1. NGLANGI ING TENGAH MATI ING PINGGIR
Nglangi: berenang. Dalam hal ini kita berenang hingga di tengah kemudian berhenti. Tentu akan karam dan terbawa lagi oleh air ke tepian dalam kondisi mati. Proyek yang mangkrak yakni rujukan paling praktis untuk paribasan ini. Sudah setengah jadi kemudian berhenti. Pengelolanya sanggup diusut. Oleh lantaran itu hati-hati bila menjalankan proyek yang “multiyears”, misalnya 3 tahun. Tahap pertama selesai tanpa problem kemudian tahap ke dua budget tidak disetujui.
2. TINGGAL KOKOH
Meninggalkan (tinggal) “kokoh”. Pengertian kuat yakni makan nasi dengan lauknya, sayur-sayuran berkuah. Dalam hal ini “kokoh” ditinggal pergi. Arti harfiahnya: Makan tidak diselesaikan, ditinggal pergi begitu saja. Makna peribahasa ini: meninggalkan pekerjaan yang belum selesai.
Perilaku ini banyak dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Kalau yang ditinggalkan pekerjaan untuk urusan eksklusif pastinya tidak mengusik orang lain. Tetapi jikalau untuk kepentingan bareng atau kepentingan orang lain, akan amat menghambat.
Bayangkan bila dua orang menyelesaikan dekor untuk tujuhbelasan kemudian yang satu “tinggal kokoh”. Maka solusi jadi beban yang ditinggalkan. Tapi jangan berani-berani “tinggal kokoh” untuk proyek resmi yang mesti ia selesaikan. Bisa masuk DPO.
3. MERANGI TATAL
Merangi (dari kata dasar “perang”) artinya “membacok Adapun “tatal adalah cuilan kayu kecil-kecil dari hasil orang membelah kayu. Dalam hal ini kayunya telah selesai dibelah atau dikerjakan, tatalnya masih dibacoki. Menggambarkan pekerjaan yang tidak teratasi sekali jadi. Dalam bahasa Jawa juga disebut: Mindho-gaweni (kerja dua kali).
“Merangi tatal” memang tidak jelek-jelek amat. Masih efektif namun tidak efisien. Sebagai rujukan saat pembantu rumah tangga pulang, maka seorang suami yang bagus menolong isterinya mengepel lantai, sementara isterinya memasak. Ketika dapur sanggup ditinggalkan sang isteri masuk ruang dalam menyaksikan hasil kerja suaminya: “Pak, yang dibawah meja makan masih kotor”. Sang suami dengan bersungut-sungut mengambil kain pel lagi, memberihkan bawah meja makan yang tadi memang sengaja ia lewatkan. Ketahuan, terpaksa “merangi tatal”.
LIDING DONGENG
Pekerjaan sanggup praktis sanggup sulit. Kalau praktis tidak ada problem asal kita tidak “nggampangake” (menganggap enteng).
Yang sulit sanggup lantaran memang sulit (kekrek aren), sanggup lantaran kita salah tehnik dalam mengerjakannya (nyeret pring saka pucuk), oleh lantaran itu SOP (Standard Operating Procedure) perlu kita kuasai. Jangan LUMPAT KIDANG (mengerjakan pekerjaan tidak cocok urutan yang seharusnya). Jangan mencari-cari pekerjaan yang cuma buang-buang energi (nututi layangan pedhot) atau potensi untuk menyelesaikannya nyaris tidak ada (nututi kidang lumayu).
Manajemen waktu perlu diutamakan (dapat dibaca di: Wektu ora sanggup bali aja kongsi ana wektu liwat tanpa guna). Kalau cuma “merangi tatal” masih selamat. Tetapi jangan hingga “tinggal kokoh” dengan jawaban “nglangi ing tengah mati ing pinggir”.
Manusia mesti punya janji untuk menyelesaikan pekerjaan disokong kompetensi yang cukup. Jangan menghendaki ada “Tunjung tuwuh ing sela” (teratai berkembang di batu) atau “Jamur tuwuh ing waton” (jamur berkembang di bebatuan). Jangan pula “ NGEMPUKAKE WATU ITEM” (menganggap praktis sesuatu yang sulit). Iwan M Muljono
0 Komentar untuk "Yang Mudah, Yang Sulit Dan Yang Tidak Final Dalam Paribasan Jawa"