Adalah Mas Parmo yang bertanya: “Dik ada enggak ya, orang yang apes bukan lantaran ngundhuh wohing panggawe?” Sebelum aku menanyakan reasoningnya (karena Mas Parmo tidak pernah menanyakan sesuatu tanpa latar belakang) Mas Parmo telah duluan melanjutkan:
“Saya ini merasa tidak berbuat kesalahan pada orang kok apes. Tadi pagi naik becak ke pasar burung. Uang aku limapuluhribuan, pak becak bilang tidak mempunyai kembalian wong dari tadi belum sanggup penumpang. Saya tukarkan ke warung pada bilang tidak punya. Terpaksa aku beli teh kotak, gres sanggup duit kecil”.
Saya terpaksa ngakak: “Lha tidak senantiasa kita berbuat salah kemudian apes, to Mas. Atau Mas Parmo bikin salah tetapi tidak merasa. Bisa juga shodaqohnya kurang. Ada pengemis diusir, atau di dompet ada duit seratus ribu yang dimasukkan kotak proteksi waktu sholat Jum’at kemarin hanya selembar ribuan kumal”
Nasib insan memang bermacam-macam. Ada yang senantiasa mujur mirip Untung Bebek, ada juga yang senantiasa sial mirip Donal Bebek. Di bawah merupakan beberapa rujukan orang sial yang tidak ada alasannya mengapa mesti sial, kiranya sanggup digunakan selaku rujukan:
Tulisan ini lanjutan dari ORANG-ORANG YANG SENGSARA/CELAKA KARENA PERBUATANNYA SENDIRI DALAM PARIBASAN JAWA (2).
1. ADOL LENGA KARI BUSIK
Busik: Kulit kering, tidak halus, banyak yang terkelupas. Dulu salah satu cara untuk menetralisir busik merupakan menggosok dengan minyak. Orang yang memasarkan minyak mestinya tidak busiken kulitnya lantaran punya lumayan banyak stok minyak.
Pengertian peribahasa ini adalah: Ada acara pembagian barang, namun yang membagi tidak kebagian. Ibarat membagi minyak, lantaran yang membagi tidak kebagian, maka ia tidak mempunyai minyak, kemudian kulitnya mau digosok dengan apa? Akibatnya busiken.
Pernah aku tulis dalam Andum amilih, bahwa orang yang membagi, lazimnya milih duluan, sehingga sanggup yang terbesar atau paling bagus. Tapi yang satu ini malah tidak kebagian. Mungkin ia apes atau terlalu lugu.
Ikut sengsaranya (diibaratkan dengan gupak pulute: ikut kena getahnya) namun tidak mencicipi kesudahannya (diibaratkan dengan ora melu mangan nangkane).
Sudah kehilangan (diwakili kata: kebo ilang) masih keluar ongkos (diwakili kata: tombok kandhang). Banyak orang kehilangan kemudian dengan banyak sekali jalan berusaha (tentunya keluar biaya) mencari barangnya yang hilang, namun barangnya tidak kunjung kembali.
4. DHALANG OPAH-OPAH
Seorang dhalang pastinya mendapat honorarium, namun dalam paribasan ini ki Dhalang malah opah-opah (memberi upah).
Pengertiannya: Orang telah capek-capek, tidak diberi imbalan, malah keluar duit (tidak sedikit)
Contoh: Seorang dipanggil untuk menampilkan ceramah. Ia siapkan bahan baik-baik untuk mempertahankan reputasinya. Apalagi yang memanggil juga organisasi yang punya reputasi. Ternyata ongkos transport tidak diganti, honorpun tidak diberi.
Ketika besok paginya ada kawan minta traktir lantaran tahu kemarin habis ceramah di luar, ia menjawab: “Lha wong kemarin aku itu paribasan dhalang opah-opah. Tapi jikalau hanya nraktir pecel ya mari”.
LIDING DONGENG
Ada senior aku dahulu yang menasihati: “Menghadapi hal-hal yang tidak menggembirakan mirip itu, anggap saja untuk buang sial. Yang terang insan tidak pernah sempurna, sering tidak paham perayaan yang diberikan Tuhan. Oleh alasannya itu banyak-banyaklah beristigfar, mohon ampunan terhadap Allah SWT”.
Ia juga menambahkan: “Orang Jawa gotong royong dididik untuk sanggup menertawakan kesialan dirinya. Misal ada kawan habis kerjabakti kemudian kita tanya, tadi sanggup masakan apa? Lalu ia jawab, Wah mas, ora kinang ora udut (tidak dikasih apa-apa). Bukankah kata-kata itu ada unsur lucunya? Bahkan dalam kesialan orang akan menyampaikan untung hanya ...... (misalnya isih beja mung kesrempet, lha nek ketabrak rak ya mati tenan)”.
Saya jadi ingat sebutan kekesalan dengan purwakanti “UN” yang tidak berbau nelangsa: Kapiran Kapirun; Gaga (padi) ora matun (panen); Sapi ora nuntun (Iwan MM)
0 Komentar untuk "Orang-Orang Yang Memang Mesti Apes Dalam Paribasan Jawa"