Bambu Dan Sebutan Jawa (2): Cerita Dan Paribasan

Melanjutkan goresan pena “Bambu dan Ungkapan Jawa (1): Pring dan lagu ayo ngising",  salah satu bukti bahwa orang Jawa dekat dengan “pring” (bambu) yakni penggunaan kata “pring” atau terkait dengan “pring” dalam kisah dan peribahasa.

DONGENG KANCIL DAN HARIMAU

Kancil selaku tokoh fabel Jawa banyak timbul dalam ceritera sebelum tidur. Salah satunya yakni kisah “Kancil dan Harimau”. Rumpun bambu yang ditiup angin membuat bunyi yang konon seumpama alunan seruling. Kancil yang berilmu mempergunakan fenomena alam ini untuk mengibuli harimau.

Alkisah kancil sedang terkantuk-kantuk di bawah rumpun bambu. Datanglah seekor harimau: “Nah ketangkap kali ini kau Cil”. Kancil dengan kalem menjawab: “Apa kau tidak melihat, bahwa saya sedang memainkan seruling Kanjeng Nabi Sulaiman? Dengarlah bunyi musiknya yang indah mendayu-dayu”. Harimau lupa laparnya. Ia pun ingin ikut memainkan alat itu. Tentusaja kancil berdalih. Hanya beliau yang diijinkan memainkan. Setelah bernego cukup lama, kancil pun menyerah: “OK harimau, kau boleh memainkan sehabis saya pergi.” Lalu kancil berbincang caranya. Harimau disuruh menjulurkan lidah, kemudian lidahnya dijepit diantara dua batang bambu. Kancil pun terbirit-birit menyelamatkan diri, meninggalkan macan yang kesakitan alasannya yakni lidahnya terjepit batang bambu. Saya tidak cerdas berceritera, tetapi ceritera sanggup seru dan menegangkan bergantung kepiawaian si juru ceritera bertutur-kata.

PARIBASAN

Beberapa paribasan yang sanggup saya kumpulkan terkait dengan “pring” adalah:


1.    RAI GEDHEG: Gedheg yakni anyaman bambu untuk dinding rumah. Ungkapan “Rai gedheg” digunakan untuk menyebut orang yang tidak mempunyai rasa malu. Dapat dibaca pada goresan pena saya tahun lalu: Rai gedheg

2.    BUNG PRING PETUNG: “Bung” yakni rebung, anakan bambu yang sanggup kita makan selaku sayur atau pengisi lumpia. Bambu petung yakni bambu yang besar. Tentusaja “bung”nya juga besar. Ungkapan ini digunakan untuk menggambarkan anak yang cepat besar (longgor), lebih besar dari teman-teman sebayanya. 

3.    JAKSA PRING SADHAPUR: Menggambarkan pengadilan yang anggotanya dari pimpinan hingga bawahan masih keluarga. Mungkin tragedi seumpama ini ada pada jaman dulu.  

4.    NYERET PRING SAKA PUCUK: Bayangkan kita menebang pohon bambu, kemudian batang bambu yang sudah roboh kita tarik (seret) untuk kita garap lebih lanjut. Menyeretnya dari pucuk atau dari pangkal batangnya? Logikanya akan lebih gampang menawan dari pangkal batangnya yang besar. Ungkapan ini menggambarkan orang yang mengalami kesusahan dalam melaksanakan pekerjaan alasannya yakni cara mengerjakannya salah. Dalam bahasa administrasi sekarang, citra orang yang menyelesaikan duduk kasus bukan pada duduk kasus pokoknya. Atau orang yang menyelesaikan duduk kasus di hilir tanpa melaksanakan langkah-langkah di hulu.
Jangan lupa juga dengan kata-kata “Pring reketeg gunung gamping ambrol” yang sanggup dibaca pada BAMBU DAN UNGKAPAN JAWA (3): NGELMU PRING (A)

Related : Bambu Dan Sebutan Jawa (2): Cerita Dan Paribasan

0 Komentar untuk "Bambu Dan Sebutan Jawa (2): Cerita Dan Paribasan"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)