Pada dongeng pertama orang kaya dan pencari rumput dalam goresan pena “Bungah lan sukar (1): Bungah sukar gumantung sing nglakoni”, diceriterakan wacana orang kaya yang hidupnya tidak bahagia. Hal ini nampaknya sebab ia mempunyai “karep” yang makin mulur diinisiasi permintaan jiwa yang “loba murka” (baca: Badan dan jiwa yang rewel). Ia tersadar dari mimpi buruknya dikala berjumpa dengan tukang “ngarit” rumput yang hidup dalam kesadaran bahwa Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang dan Maha Adil sudah menyediakan “pandum” yang seadil-adilnya terhadap semua makhluk tergolong manusia.
LOBA MURKA KARENA KAREP YANG MULUR
Kembali ke dongeng si pria kaya, ia berkeras untuk mengirim Pak Sadrana (demikian si pencari rumput menyebut namanya waktu ditanya, sekaligus ia menerangkan makna “sabar darana”, yakni “amat sabar”) mengirim rumput ke tempat tinggal juragannya. Pikiran si orang kaya cuma satu: Perolehan rumput niscaya tidak sebanyak biasanya, upah yang sudar rendah pasti dikurangi. Orang mirip Sadrana, niscaya akan memperoleh saja apa kata juragannya. Ia bertekad akan menerangkan terhadap bossnya Sadrana.
Sadrana heran menyaksikan juragannya gopoh-gopoh menyambut si orang kaya dengan basa-basi yang bertabur bunga. Setelah meminta Sadrana menanti di luar, ia mengikuti tuan rumah masuk ke dalam. Tanpa banyak basa-basi, si orang kaya berkata:
“Jayeng, saya sepanjang hari ini bareng Sadrana. Makara perolehan rumputnya tidak sebanyak biasa. Jangan kau minimalisir jatahnya. Disamping itu kau selama beberapa tahun sudah memberi upah terlalu rendah terhadap Sadrana. Harus kau ganti. Upah mingguannya mesti kau naikkan sepantasnya. Kamu jangan otoriter terhadap orang lemah. Ingat masa lalumu, apakah kau pernah memperoleh perlakuan mirip Sadrana ini, dulu?
Jayeng cuma menyampaikan “inggih” berkali-kali. Tangannya gemetar, keringat hambar mengalir. Dulu Jayeng yakni orang miskin yang disejahterakan dan dimandirikan oleh si orang kaya hingga bisa mempunyai “karep” sendiri. Bahkan “karep”nya sudah bisa mulur.
Si orang kaya tersenyum. Ia teruskan pituturnya terhadap Jayeng. “Tidak ada salahnya orang ingin bertambah kaya. Tetapi jangan memeras orang lemah sehingga ia mirip pitik trondhol dibubuti. Bekerjalah lebih keras, lebih pandai dan tetap manusiawi. Sekarang kau panggil Sadrana. Katakan saja sebab kesetiaannya selama bertahun-tahun, upah mingguan dinaikkan ditambah bonus bulanan yang dahulu tidak pernah ada. Ingat jangan sebut namaku. Semua yakni kehendakmu.” Demikian si orang kaya memberi perintah.
"KAREP MULUR" YANG BERMANFAAT UNTUK SEMUA
Sadrana hampir tidak dapat mengucap sepatah kata pun dikala mendengar gunjingan bangga yang disampaikan juragan Jayengnya. Matanya mengambang air mata “Gusti Allah ora sare”, gumannya dalam hati. Ia cium tangan Juragannya. Jayeng yang lazimnya menggunakan jari untuk memilin kumis, kali ini digunakan untuk mengusap air mata.” Maafkan Sadrana, saya terlalu memeras tenagamu tanpa imbalan yang pantas”. Begitulah, atas kehendak Allah jua, orang bisa berubah dalam satu detik.
Si orang kaya tiba-tiba merasa rongga dadanya sesak oleh kegembiraan. Ya, sebab “karep”nya kesampaian. Bahkan “mulur”nya karep pun kesampaian. Semula ia cuma ingin menyelamatkan upah Sadrana. Tetapi begitu ia menyaksikan paras Jayeng, maka “karep”nya pun mulur, meningkat biar upah Sadrana dinaikkan dan sanggup bonus bulanan. Apakah masih mau “mulur” lagi? Biasanya “karep” untuk mengelola orang lain jarang “mulur-mulur”. Mengurus diri-sendirilah yang senantiasa mulur hingga mentok barulah “mungkret”. Makanya jarang ada orang yang berbahagia.
Apakah Jayeng menjadi sukar karenanya? Yang tahu Jayeng sendiri. Bisa-bisa ia malah bungah sebab bisa menampilkan bahwa ia juga bisa berbuat baik terhadap orang kecil mirip yang dijalankan bekas “bendara”nya dulu.
Apakah Sadrana bungah?. Kenaikan upah dan bonus bulanan bukanlah “karep”nya. Ia sudah memperoleh kondisi sesuai pandangannya wacana “pandum” dari Yang Maha Kuasa. Ia lebih mengungkapkan selaku rasa “syukur” ketimbang luapan kegembiraan.
LIDING DONGENG
R Prawirawiwara dalam Pangawikan pribadi, Wejangan Suryametaraman, Yogyakarta, 1932 menyebutkan tiga hal, kurang lebih selaku berikut:
1. “Karep” yang “klakon” tidak cuma sekedar menghasilkan orang “bungah” (gembira), tetapi. “Karep” yang kesampaian juga akan “mulur” (mengembang). Bila sudah mulur masih kesampaian ya akan “mulur” lagi, hingga pada satu titik ia akan “mentok: berhenti mulur. Sekarang orang bermetamorfosis susah.
2. “Karep” yang tidak kesampaian menghasilkan hati “susah”. Akibatnya “karep” menjadi “mungkret” (menyusut). Kalau masih tidak kesampaian ya menjadi makin “mungkret” sampai ke satu titik: ”kesampaian karepnya”. Hati pun kembali “bungah” dan siklus berulang: Mulur lagi
3. Selamanya perjalanan “karep” akan begitu: “Mulur dan mungkret” selaku buah dari “karep”, maka “bungah dan susah” pun akan mengikuti. Sebentar senang, sebentar susah.
Si orang kaya menyadari bahwa selama ini ia sudah diperbudak oleh “karep” yang mulur-mulur dan menyebabkan stress. Melalui Sadrana ia belajar tiga hal:
1. Bahwa bungah dan sukar bisa dimiliki semua orang, “bungah dan sukar gumantung sing nglakoni”
2. Jangan mau dikendalikan “karep” yang berbau “loba murka” dan “angkara murka”
3. Manusia mesti belajar menertibkan batasan mulurnya karep yang sehat, sehingga ia “akan mulur tanpa kalut mungkret”. (IwMM)
0 Komentar untuk "Bungah Lan Sulit (2): Karep: Senantiasa “Mulur” Dan “Mungkret”"