Pada goresan pena “Ngilo githoke dhewe, berguru bisa rumangsa” diterangkan bahwa insan sulit dipercayai menyaksikan tengkuknya sendiri. Dia butuh cermin ke dua. Merupakan kiasan bahwa insan butuh orang lain. Dalam hal ini merupakan untuk menolong menganggap kekurangan-kekurangannya (secara jujur)
Kisah kura-kura dan monyet merupakan cerita belum dewasa yang saya baca di Majalah Kejawen, Balai Pustaka,1940, yg diangkut di Web Yayasan Karya Lestari, Surakarta. Dalam ceritera ini, ternyata insan tidak cuma butuh orang lain untuk menolong menganggap kekurangannya, namun juga menolong melengkapi kekuranganhnya, sesuatu yang ia tidak dapat melakukannya sendiri.
KURA-KURA KEHILANGAN SERULING
Alkisah kura-kura sedang asyik bermain seruling, kemudian datanglah kera. Si kura-kura sebenarnya sudah merasa tidak tenteram alasannya merupakan monyet dipahami selaku hewan nakal. Tetapi mau apa lagi, monyet sudah duduk disampingnya.
“Serulingmu bagus, ya. Aku boleh pinjam?” Demikian sapa monyet dengan serta-merta merebut seruling dari tangan kura-kura, tanpa menanti ijin lebih dahulu. Malah eksklusif meniupnya kuat-kuat dan memainkan suatu lagu.
Kura-kura cuma bisa bersabar. Setelah dirasa cukup usang dipakai bermain kera, kura-kura pun meminta serulingnya dikembalikan. Si monyet tidak bilang apa-apa, sambil ketawa-ketawa ia memanjat sebatang pohon, hingga tinggi, tanpa ada gejala mengembalikan seruling.
“Hai kera, kembalikan serulingku!” teriak Kura-kura dari bawah
Kera mengejek dari atas pohon: “OK kura, saya kembalikan, tetapi ambillah kesini”
Tentusaja kura-kura tidak dapat memanjat pohon. Dengan hati murung ia meninggalkan wilayah itu menuju ke tempat tinggal sahabatnya, seekor ketam, untuk minta nasihat.
“Kera memang kurang ajar”, kata ketam. “Sudahlah kura, ini sudah sore, kini kau istirahat di tempatku saja. Besok pagi kita sama-sama cari dia.”
“Kamu mau bantu saya? Bisakah?” Tanya kura-kura dengan ragu.
Ketam tertawa: “Demi persahabatan kita, kura. Dan saya punya akal”. Lalu ia menerangkan siasatnya.
KERA MENDAPAT PELAJARAN
Besok paginya kura-kura dan ketam jalan beriringan mencari si kera. Tidak sulit menemukannya alasannya merupakan ia sedang bermain seruling. Arah bunyinya bisa dilacak. Ketemulah dia, bertengger di atas pohon mangga.
Sesuai isyarat ketam, kura-kura berteriak-teriak dari bawah: “Hai kura, sudah sehari kau pinjam serulingku, ayo kembalikan sekarang, ganti saya yang main”
Sambil “cengingas-cengingis” si monyet menjawab. “Kan sudah saya bilang, ambillah keatas!”
Sementara monyet dan kura-kura saling berbantah, rahasia ketam merambat ke atas pohon. Tak terlalu usang kemudian, tiba-tiba monyet berteriak kesakitan “Aduh-aduh ...” seruling pun dijatuhkan. Ternyata ketam merayap ke ekor si kera, menggigitnya kuat-kuat.
Kera meloncat-loncat dengan tetap berteriak kesakitan. Rupanya ketam juga amat geregeten dengan sikap monyet yang kurang ajar. Capitnya tidak kunjung dilepaskan dari ekor kera. Gantian kura-kura ketawa: “Wah, kau rupanya kegemaran menari juga ya, kera. Mari saya iringi dengan suatu lagu, agar tambah semangat”. Lalu ia mainkan suatu lagu gembira.
Lama-lama ketam kasihan terhadap si kera. Kalau kelamaan menggigitnya, bisa membahayakan dirinya juga. Kera lama-lama niscaya tahu jikalau ekornya ketempelan ketam. Maka ia melepaskan gigitannya, menjatuhkan diri dan berguling di rerumputan.
LIDING DONGENG
“Itulah keuntungannya punya teman”, kata kura-kura setelah menyodorkan terima kasih terhadap ketam.
Ketam menjawan dengan lembut: “Sudah keharusan antara dua sahabat, apalagi sederajat, saling tolong menolong. Sabaya mukti, sabaya pati. Senang dirasakan bersama, susahpun ditanggung bersama”. (IwMM)
0 Komentar untuk "Manusia Mesti Punya Kawan (1): Cerita Kura-Kura, Simpanse Dan Ketam"