Memahami “Old Soldiers Never Die; They Just Fade Away” Lewat Filosofi Jawa

Dalam “farewell address to a Joint Session of Congress”  pada  tanggal 19 April 1951 Jenderal Douglas MacArthur, menyodorkan kata-kata perpisahan yang hingga kini masih populer: “OLD SOLDIER NEVER DIE”. Bukunya ada, film di layar perak juga ada. Lebih lengkapnya selaku berikut:


The world has turned over many times since I took the oath on the plain at West Point, and the hopes and dreams have long since vanished, but I still remember the refrain of one of the most popular barracks ballads of that day which proclaimed most proudly that old soldiers never die; they just fade away.

Terbayang menyerupai di film, sang Jenderal “fade away” melangkah keluar dari gedung konggres dengan tegak. Terngiang di indera pendengaran nada-nada tembang Durma dan Pangkur yang salah satu maknanya adalah  “darma” dan “mungkur”: Darma tetaplah darma meskipun sudah mungkur dari dedikasi formal terhadap bangsa dan negara (Baca: Tembang Macapat “All in one”). Seperti itulah semestinya semangat setelah orang menjadi renta dan pensiun.


ORANG TUA HARUS TETAP “WIKAN”


“Wikan” artinya “tahu”. Untuk tahu orang mesti belajar. Bila kita pernah mempelajari teori “learning organization” maka mencar ilmu yakni seumur hidup. Bukan berhenti setelah kita final pendidikan formal. Memperoleh gelar S3 bukan memiliki arti saatnya kita Stop lantaran sudah Selesai dan sanggup Santai. Singkatnya orang mesti tetap mencar ilmu meskipun tidak lewat sekolah resmi. Masyarakat yakni sekolah informal yang sanggup menghasilkan kita bijak. Setelah renta orang dihentikan mengurung diri tetapi mesti tetap menyaksikan dunia luar, sehingga ia tetap “mikani rasa”  tidak “gonyak-ganyuk nglelingsemi” dalam pergaulan (Serat Wedhatama: “Biar renta mesti tetap belajar”) Seperti disebutkan pada Pupuh Pangkur bait ke dua di atas


“FADE AWAY” YANG BETUL-BETUL “FADE dan AWAY”

“Fade away” kurang lebihnya memiliki arti pupus pelahan-lahan. “Lengser keprabon madheg pandita” yakni salah satu pola “fade away” asal betul-betul menjalankan “dharmaning pandita” secara konsekwen. Yaitu pandita yang menjadi wilayah berkonsultasi, mau memberi masukan, tetapi tidak ikut campur lagi dalam masalah keputusan. Salah-salah nanti dibilang “Lengser keprabon ngrusuhi ratu”. Demikian pula “Fade away” bukanlah orang yang “Lengser kaprabon ganti kaprajan”. Ini kan setali tiga duit tidak ada “fade”nya dan samasekali tidak “away”.

“Fade away” juga bukan lantaran “mutung”. Lantaran dikecewakan kemudian kita menyingkir. Dalam hal ini ada yang  langsung lenyap. Sehingga tidak sanggup dibilang “fade” lantaran pribadi “away”.  Ada juga yang kemudian bergabung kalangan lain dan dari situ ia “ngisruh”. Yang ini juga tidak “fade” sekaligus tidak “away”, malah "ngiwi-iwi" meskipun beliau sudah “out”.


TULADHA DARI SERAT WEDHATAMA DAN SERAT WULANGREH


Dalam Serat Wedhatama, pupuh Gambuh bait ke 10 Sri Mangkunegara menekankan bahwa kiprah orang renta pada dasarnya yakni memberi pitutur; siapa tahu sanggup dipergunakan. Selengkapnya sanggup dilihat pada gambar sebelah.

Terjemahannya kurang lebih: Namun terpaksa berbicara; Karena sudah renta kewajibannya cuma memberi petuah; Siapa tahu sanggup menjadi pedoman  laku utama; Siapa yang tekun akan memperoleh; Anugerah kemuliaan dan kehormatan


Bila kita lihat dalam Serat Wulangreh, pupuh Girisa bait ke 21. Sri Sunan Pakubuwana IV menyebutkan bahwa usianya sudah senja dan hidup insan belum pasti hingga seratus tahun. Lengkapnya sanggup dilihat pada gambar 11

Terjemahannya kurang lebih: Saya semisal matahari; Hampir terbenam di barat waktunya; sudah bersahabat senja; jauh dari terbitnya; Berapa usang di dunia; Dalam kehidupan manusia; Apa hingga seratus tahun; Itulah umur manusia.



Selanjutnya pada bait ke 21 Sri Sunan Pakubuwana IV meneruskan, Oleh alasannya yakni itu saya tulis suatu buku, saya berikan petuah terhadap anak-anakku supaya dipelajari dan dipahami. Lengkapnya bait 22 sanggup dilihat pada gambar di sebelah.

Terjemahannya kurang lebih: Oleh alasannya yakni itu saya ajarkan kepada; Semua anak-anakku; Saya tulis dalam tembang; Supaya semua senang; Waktu membaca; Serta mencicipi ceritera; Tidak jenuh menghapalkan; Ingat siang dan malam


KESIMPULAN

Prajurit renta tidak pernah mati. Tetap mesti menjalankan “dharma” yakni jikalau tidak sanggup "uwur" ya "sembur", menampilkan “pitutur” (nasihat) yang “luhur” bukan ngajak “udur” (bertengkar) yang muda mengingat ia sudah mesti “mungkur” (mundur) lantaran “umur”.

Related : Memahami “Old Soldiers Never Die; They Just Fade Away” Lewat Filosofi Jawa

0 Komentar untuk "Memahami “Old Soldiers Never Die; They Just Fade Away” Lewat Filosofi Jawa"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)