Memahami “Semu” Dalam Pitutur Subasita Jawa

Tatakrama atau subasita Jawa kebanyakan kita terima dari orang renta atau yang dituakan secara verbal. Bisa disampaikan oleh bapak ibu kita, Kakek dan nenek, Pak Dhe dan Budhe, Pak Lik dan Bu Lik, dan juga guru setelah kita masuk sekolah. Yang sering kita terima adalah: Apa yang mesti dijalankan mudah-mudahan kita tidak dianggap “murang tata”, tapi tidak diterangkan “mengapa mesti demikian”
 
Bagi anak yang “mbangun turut” sama orang renta alasannya wajibnya orang muda merupakan mematuhi apa dhawuhnya orang tua, tidak ada kata lain kecuali “ngestokaken dhawuh”. Bagi anak yang berpikiran kritis, mereka akan merasa bahwa tindak tanduknya serba tidak benar tanpa argumentasi yang jelas. Untuk teladan pikir jaman kini memang sulit  dimengerti. Mengapa pitutur saja disamarkan menyerupai “cangkriman” (teka-teki) yang ujung-ujungnya malah bikin bingung.


PITUTUR PARA SEPUH BERDASAR PENGALAMAN TURUN-TEMURUN

Orang renta memberi pitutur alasannya ia pernah mengalami, seperti ditulis Ki Padmasusastra dalam Serat Madubasa (1912). Disebutkan pula, kalau orang renta dalam memberi pitutur cuma sekedar menggerakkan bibir saja sementara kelakuannya pada masa muda justru kebalikannya, lebih baik tidak usah memberi pitutur. Anak muda yang akan mengikuti isyarat orang renta dijamin tidak akan kecewa. Lengkapnya selaku berikut:

Pituturing wong tuwa marang wong ênom, sayogya dilakoni, amarga si tuwa wis tau ngalami yèn lakune si ênom mangkana iku nyimpang saka garising bênêr, bakal tumiba marang luput, balik si tuwa ênggone awèh pitutur aja mung saka gampange ngobahake lambe bae, yèn kalakuane dhèk ênom, mangan, nginum, madon, madat sarta main durung dimarèni, sayoga ora pitutur bae, dene wong ênom kang anduwèni watêk kaya watêke wong tuwa, iku musthikaning budi, amêsthi bakal ora kêduwung uripe.


CONTOH SEDERHANA: TULADHA DARI “BERJALAN DAN BERBICARA"
 
Ada pitutur selaku berikut: “Yen mlaku aja rikat-rikat” (kalau berlangsung jangan cepat-cepat). Disisi lain juga ada pitutur: “Yen lumaku aja rindhik-rindhik” (kalau berlangsung jangan pelan-pelan). Kaprikornus jangan terlalu cepat, sekaligus jangan terlalu pelan. Kesimpulannya langkah sedang. Lalu ukuran sedang itu menyerupai apa? Ya dicicipi sendiri.
 
Apa sih salahnya berlangsung terlalu cepat? Kalau dipikir ada benarnya juga pitutur tersebut. Bisa-bisa orang yang menyaksikan kita jalan terlalu cepat akan menduga bahwa kita tergesa-gesa alasannya ada masalah. Dalam hal ini kita sudah menghasilkan orang lain kaget. Saya sendiri sudah biasa jalan cepat. Saat saya mengikuti Diklatpim, ada kawan yang memberi pitutur (bukan orang Jawa): “Mas, anda akan kelihatan lebih manis kalau kecepatan jalannya dikurangi”. Saya pelankan langkah: “Lha kenapa Bang?” Alasan kawan saya enteng saja: “Supaya nggak dikira kebelet berak”. Sejak di saat itu kalau saya merasa jalan terlalu cepat, saya ingat kawan saya yang satu ini.
 
Lalu apa jeleknya berlangsung terlalu lambat? Ada kawan perempuan yang gregeten menyaksikan pria yang jalannya lambat-lambat: “Rasanya ingin nendang pantatnya”. Alasannya masuk nalar juga. Kalau jalan terlalu lambat menyerupai tidak kelihatan greget, atau semangatnya. Bagaimana beliau dapat memotivasi bawahannya kalau klelar-kleler klelat-klelet gitu. Benar juga pikir saya.
 
Demikian pula dengan berbicara. “Yen omong aja seru-seru” dan “yen omong aja lirih-lirih”. Banyak orang Jawa yang kalau ngomong lirih, barangkali maunya menyerupai Raden Harjuna. Saya dulu juga biasa bicara lirih. Volume bicara saya keraskan sejak saya memulai kiprah selaku dokter puskesmas di Maluku Utara. Umur saya belum 27 tahun waktu itu. Pada hari pertama melakukan pekerjaan Pak mantri puskesmas yang usianya dua kali umur saya memberi nasihat:  “Pak dokter di sini jangan bicara menyerupai orang Jawa. Nanti dikira penakut”. Saya jawab: “Nanti kalau terlalu keras jangan-jangan dikira tidak sopan”. Pak mantri melanjutkan: “Maksud saya, pak dokter bicaranya yang keras, bukan berteriak”. Setelah saya pertimbangkan, betul juga ucapan pak mantri renta tadi. Terlalu lirih mengatakan kelemahan.  Berteriak mengatakan kemarahan. Kaprikornus yang sedang-sedang saja. Kembali ke ukuran sedang itu menyerupai apa? Jawabnya mudah-mudahan dicicipi sendiri.


NGGUTUK LOR KENA KIDUL dan KROSAK ING KENE GEDEBUG ING KANA

Ada orang yang sesungguhnya mau menasihati atau nyindir (nyemoni) si A tapi ngomongnya ditujukan terhadap si B. Mungkin ia sungkan ngomong eksklusif ke si A. Dengan bicara ke si B ia berharap si A dapat menangkap apa yang ia maksud. Dalam paribasan Jawa hal menyerupai ini disebut NGGUTUK LOR KENA KIDUL (memukul ke utara kena yang di selatan) atau KROSAK ING KENE GEDEBUG ING KANA (suara di sini jatuhnya di sana).

Cara menyerupai ini agak sulit untuk hingga ke alamat sebenarnya. Sudah ngomongnya semu, masih tidak eksklusif ke orangnya. Bisa saja si alamat tahu tapi akal-akalan tidak tahu, bisa juga ia tergolong orang yang tidak tanggap ing sasmita.


LIDING DONGENG
 
Mengapa orang renta Jawa memberi pitutur sering tidak eksklusif tanpa penjelasan, kemungkinan alasannya sudah terbawa tabiat Jawa yang memang demikian. “Jawa panggonane semu”. Apa ya orang Jawa mesti kehilangan “semu”. Jaman memang sudah berubah. “Semu” tidak mesti berubah. Penerapannya saja yang perlu “empan papan” (IwMM)

Related : Memahami “Semu” Dalam Pitutur Subasita Jawa

0 Komentar untuk "Memahami “Semu” Dalam Pitutur Subasita Jawa"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)