Dibandingkan dengan tulisan-tulisan terdahulu, barangkali ini pitutur terpendek untuk orang yang akan ngawula. cuma dua kata saja: “Mituhu” dan “Mitayani”. Penjelasannya memang tidak sependek kata-katanya, demikian pula operasionalisasinya tidak segampang yang diucapkan. Tetapi kelihatannya yang ini amat simpel dikenang dan akibatnya kembali terhadap yang “nglakoni”.
MITUHU
Sering kita dengar kata “Mituhu merupakan “nurut”, dalam bahasa Jawa ngoko. Ketika kita masih jadi tanggungan orang tua, ya “nurut” pada usulan ayah dan ibu. jika di sekolah, ya taat pada nasihat guru. Banyak yang mesti dituruti dari orang renta dan guru. Mulai bangkit tidur hingga tidur lagi.
Di jalan raya kita mesti mengikuti peraturan lalulintas. Kalau naik motor ya mesti pakai helm. Lampu merah dihentikan dilanggar. Demikian pula di tempat-tempat lazim mesti menghormati hak orang lain. Ada larangan-larangan yang banyak dilanggar, misalnya larangan merokok. Banyak etika-etika yang dilanggar misalnya antri.
Ternyata aneka macam aturan-aturan yang mesti kita “tuhoni” atau taati secara aturan atau secara etis. Orang yang tidak taat disebut orang yang tidak disiplin. Ini semua memang tidak ada relevansinya dengan “ngawula” namun ketaatan di rumah, di sekolah, di jalan dan di tempat-tempat lazim sesungguhnya merupakan latihan untuk ngawula, sayangnya tidak pernah kita sadari.
Ceriteranya menjadi lain saat kita berada di wilayah kerja. “Taat terhadap perintah atasan” merupakan sebuah keharusan, “It’s a must!”. Mana ada pimpinan yang suka dengan staf yang tidak “mituhu”. Bagi yang telah berpengalaman untuk “disiplin” untuk mituhu tidaklah terlalu sulit. Masuk jam 07 pagi, pulang jam 16 sore, berpakaian rapi, menyelesaikan laporan tepat waktu, semua OK. Tinggal memperbesar dua hal lagi yakni bekal sifat taberi (sregep, tekun) dan sabar. “Dhawuh”nya pimpinan bisa kapan saja dan tidak terduga. Yang tidak memiliki sifat sabar bisa protes (walau dalam hati saja) namun manifestasinya jadi melakukan dengan ogah-ogahan, selesai lebih usang dan hasil kerjanya tidak mutu. Banyak juga perintah yang perumpamaan teman-teman dahulu “tidak ada seger-segerannya”, sehingga kita kerja juga tidak seger dan klelar-kleler. Pimpinan niscaya akan menyaksikan kita selaku orang yang tidak “mituhu” dan akan mencari orang lain yang lebih taat.
Mituhu dhawuhing gusti, atau taat terhadap atasan merupakan bukti bahwa kita “loyal”.
MITAYANI
Apakah dengan “mituhu” telah cukup? Banyak orang yang amat “mituhu” namun kemampuannya pas-pasan sehingga kinerjanya juga tidak sempurna. Kalau tugasnya memang Cuma “cablek-cablek lemut” mungkin tidak terlampau membuat masalah. Tetapi jika ia mesti melaksanakan hal-hal yang strategis, bisa gawat. Oleh lantaran itu disamping kita “mituhu dhawuhing gusti” mesti ditambah lagi satu hal yang dihentikan terpisahkan yakni “mitayani”.
“Mitayani” artinya “dapat dipercaya”. Dalam hal apa? Bahwa kita bisa melaksanakan kiprah yang diberikan. Tidak cuma “mampu” dalam pemahaman punya kompetensi yang cukup namun juga mesti punya “komitmen” yang tinggi untuk menyelesaikan kiprah yang diberikan.
Kompetensi merupakan bekal ilmu kita, menyerupai tongkat atau “teken” yang mesti kita gunakan sebaik mungkin untuk melaksanakan tugas. Kompetensi diperoleh dengan menimba ilmu yang dilandasi ketekunan. (baca: tekun, teken, tekan). Kembalilah siklusnya ke “mituhu” lantaran mudah-mudahan kita bisa menyerap ilmu dengan sebaik-baiknya, maka kita mesti “mituhu” terhadap yang menampilkan ilmu terhadap kita.
LIDING DONGENG
Dengan MITUHU + MITAYANI kita akan menjadi orang yang MRANTASI ing gawe. Orang yang dapat menyelesaikan duduk kendala niscaya “ngawula”nya diterima. Jangan terkejut jika kemudian tugasnya menjadi tambah banyak. Dengan KOMPETENSI + KOMITMEN kita akan menjadi orang yang KREDIBEL.
Terkait dengan 3M dan 3K ini, ada satu pertanyaan dari sobat saya, Toni: “Mas, cuma orang cendekia yang dapat mrantasi. Tapi kelihatannya pada biasanya orang yang merasa cendekia justru sukar untuk disuruh mituhu. Sebaliknya orang yang mituhu biasanya kemampuannya ya segitu. Kalau diberi tugas-tugas yang berat kan tidak mitayani. Makara gimana solusinya?” (IwMM).
0 Komentar untuk "Mituhu Dan Mitayani"