Terkait dengan api yang panas, aben dan merambat dalam goresan pena “Api (geni) dalam sebutan Jawa” yang akhirnya mengerikan, maka kata “panas” dalam sebutan Jawa agak berbeda, dan lebih luas maknanya.
Kalau "membakar dan merambat" yakni sikap api, maka "panas: boleh dibilang merupakan "sifat" api. Sehingga beberapa ungkapan Jawa dengan "panas" banyak terkait dengan "suasana hati" atau sifat manusia.
Dalam hubungan dengan situasi hati ini, sebutan "panas" digunakan selaku kata kiasan atau "tembung entar".
Kita lihat beberapa pola di bawah:
1. “Panastis” jaman dahulu ialah penyakit yang banyak diderita orang Jawa. Panas dan atis (dingin) bergantian. Karena sekarang ini penyakit malaria sudah tidak banyak lagi di Pulau Jawa, sebutan ini kelihatannya sudah nyaris punah ditelan jaman. Dulu saya kiprah di Maluku Utara. Orang disana menyebut panastis ini dengan demam goyang. Setelah demam, kemudian goyang lantaran menggigil kedinginan.
2. “Panas atine”, hatinya panas. Bagaimana hati dapat panas? Ini dalam tatabahasa Jawa tergolong tembung “entar” (kiasan). Maksudnya sudah jelas, dapat panas hati lantaran marah, dapat pula akhir terprovokasi. tadinya adem-adem saja, sontak kebakaran jenggot.
3. “Panasbaran” bekerjsama lengkapnya yakni “panas ora sabaran” artinya hati yang simpel panas, tidak ada sabarnya. Kata-kata ini juga sudah jarang kita dengar.
4. Ada juga kata-kata bijak: “Sing ngungkuli panasing geni iku panasing ati”, panasnya hati lebih berbahaya dibanding panasnya api. Memang betul, panasnya api belum pasti aben diri kita, namun panasnya hati niscaya menyerang kita sendiri. Pitutur ini jangan dibiarkan berlalu begitu saja. Ingat: yang kena "diri sendiri".
5. “Dhuwit panas”, duit panas, juga ialah “tembung entar”. Artinya duit yang bukan milik kita (walaupun dipercayakan pada kita), umpamanya duit yayasan, duit negara, apabila kita salahgunakan dapat mencelakakan. Bukankah namanya korupsi. Itulah sebabnya disebut "dhuwit panas". Risikonya "terbakar" yang yang terbakar sekali lagi bukan orang lain namun "diri sendiri".
6. “Nglakoni panas perih” sama dengan “ngrasakake lara-lapa”. Kalau kita dinasihati: “Wong yen pengin mulya, ya kudu nglakoni panas perih dhisik. Ora ana wong mulya dadakan, kabeh kudu nganggu lara-lapa”. (Kalau ingin mulia ya mesti mencicipi kesulitan dan kesengsaraan dulu, tidak ada orang mulia yang tiba-tiba). Pada jaman orang maunya serba "instant" pitutur ini juga perlu di "recall" kembali.
7. Ada dua “cangkriman” (teka-teki) dengan “panas”. (a) “Panas karo panas dadi adhem (Panas ditambah panas menjadi dingin) dan (b) Adhem karo adhem dadi panas (Dingin ditambah cuek menjadi panas). Jawabnya pribadi saya tulis disini, ketimbang ada yang tidak tahu: (a) air panas dituang ke api dan (b) air cuek ditambah watu gamping.
Sampai disini sobat saya Toni datang. Ia ikut membaca dari belakang punggung saya: “Ayo mas masukkan dalam cangkrimannya, panas namun tidak bisa aben rumah?”
“Tapi ini cangkriman Jawa atau bukan, Ton? Lha jawabnya apa?
Dia tertawa terbahak-bahak. “Dijawakan kan bisa. Gitu saja repot. Jawabnya kopi panas, mas. Yuk ngopi saja di kantin. A man should like coffee. Hot, sweet and strong” (IwMM)
0 Komentar untuk "“Panas” Dalam Ungkapan Jawa"