Bila “sanepa” bersifat menyangatkan tapi menggunakan “pepindhan” secara terbalik, maka pepindhan bersifat tidak menyangatkan, cuma menyamakan dengan menggunakan pembanding. Bisa binatang, tumbuh-tumbuhan, kondisi alam, tokoh wayang dan lain-lain. Ciri khasnya merupakan ada kata “kaya, kadya, pindha atau lir” yang ketiganya memiliki arti “seperti”. Mengenai “lir” sanggup dibaca pada goresan pena Sering ditanyakan: Lir atau Nir
Kita ambil pola sederhana yang telah ditulis pada pembahasan “sanepa” yakni kata “banyu sinaring”.
Bila kita katakan “suwe banyu sinaring” maka ini merupakan “sanepa” yang menggambarkan sesuatu yang menyangatkan (dalam hal ini sungguh cepat) sampai-sampai menyaring air (yang niscaya amat cepat alasannya merupakan air merupakan sesuatu yang amat encer) masih kalah cepat. Sebaliknya jikalau kita katakan “gelise kaya banyu sinaring” maka hal ini menggambarkan sesuatu yang cepat, mirip proses menyaring air yang memang cepat.
Mengenai ‘sanepa” sanggup dirujuk kembali ke dua tulisan: Sanepa: Membandingkan secara terbalik (1) dan Sanepa: Membandingkan secara terbalik (2)
Di bawah merupakan beberapa pola “pepindhan”. Laku linggih dan solah muna-muni insan (baik maupun buruk) senantiasa menawan dan paling banyak dijadikan obyek pepindhan.
1. GERAKAN, KECEPATAN MANUSIA
ANTENGE KAYA PENGANTEN DITEMOKAKE: Orang yang membisu dan tidak bergerak disebut anteng. Pepindhannya merupakan mirip pengantin yang sedang duduk di pelaminan. Mana ada pengantin yang tidak anteng.
BANTERE (RIKATE) KAYA ANGIN: Bila kita menonton balapan misalnya lari, sepeda, motor, dan kuda, maka kecepatan si pembalap sanggup dibilang cepat mirip angin. Kalimat “pepindhan” ini tidak cuma berlaku untuk manusia. Apa saja yang GERAKANNYA cepat, mirip kereta api, boleh kita sebut dengan “bantere kaya angin”, alasannya merupakan saking cepatnya. Plass ... hilang. Tentusaja bukan angin sepoi-sepoi.
GELISE KAYA BANYU SINARING: Lihat pendahuluan goresan pena ini, dengan tambahan: Kata “gelis” lebih mengarah ke sebuah “proses”. Mohon diamati bahwa angin melambangkan gerak dan menyaring air merupakan proses.
JOGEDE MUCANG KANGINAN: Dalam gerak tari (joged) yang lemah gemulai, maka “pepindhan” yang dipakai merupakan gerak pohon pucang (pohon Jambe) yang kena angin.
KEKEJERE KAYA MANUK BRANJANGAN: (Kekejer: gerakan yang bergetar). Disamakan dengan gerak burung branjangan. Bayi nangis yang hingga kejang-kejang sanggup dibilang “nangis kekejer”, tapi jangan ditamabahi “kaya manuk branjangan”. Penggunaan “kekejer” disini merupakan untuk citra kelincahan.
KESITE KAYA KADHAL: Kadal itu hewan yang amat sigap (kesit). Bisa dicoba jikalau mau: Menangkap kadal
KLELAR-KLELER KAYA TUMA KATHOK: Klelar-kleler merupakan gerakan yang lamban. Tuma kathok (kutu celana) rasanya kini telah amat jarang dijumpai, sehingga sukar dibayangkan. “Tuma kathok” kesohor pada jaman penjajahan Jepang dulu. Mungkin pepindhan ini telah tidak pas dipakai di Indonesia kurun ke 21 ini.
KOPAT KAPIT KAYA ULA TAPAK ANGIN: Kopat-kapit merupakan gerakan ekor. Bagian ekor (ular tapak angin suka bergerak-gerak lincah. Menggambarkan kelincahan yang disamakan dengan ekor ular tapak angin. Kalimat “kekejera kaya manuk branjangan, kopat-kapita kaya ula tapak angin” sering diucapkan ki Dhalang secara berturutan pada adegan raksasa menantang ksatria.
LAKUNE NUSUP-NUSUP PINDHA AYAM ALAS: Ayam bantalan cendekia sekali menyusup di semak belukar. Orang yang menempuh perjalanan dengan menyusup-nyusup dibilang “pindha ayam alas”.
POLAHE KAYA GABAH DIINTERI: Bila kita menampi gabah di atas tampah maka butir-butir gabah akan lari kesana kemari. Gerakan (polah) yang digambarkan mirip “gabah diinteri” merupakan gerakan orang dalam suasana kacau. Contoh paling gampang merupakan di saat program pertunjukan artist di lapangan terbuka kemudian terjadi kekacauan. Orang akan semburat lari kesana kemari mirip “gabah diinteri”.
POLAHE KAYA KUTHUK KELANGAN BABON: Dalam bahasa Indonesia dibilang mirip anak ayam kehilangan induk. Gambaran seseorang yang gelisah kesana-kemari mencari sesuatu. pada "gabah diinteri" yang gelisah merupakan "massa", pada "kuthuk" merupakan perorangan.
TANDANGE CUKAT KADYA KILAT, KESIT KADYA THATHIT: Gerakan yang sigap (kesit) sekali, ibaratnya kilat (kilat = thathit). Kita lihat disini pepindhan dengan purwakanthi yang bagus: cukAT, kilAT, kesIT, thathIT. Kata-kata manis mirip ini juga sering dipakai oleh ki Dhalang untuk menggambarkan kelincahan gerak seorang hero.
TANDANGE KADYA BANTHENG KETATON: citra banteng terluka (ketaton) sanggup kita lihat dalam tabrak banteng di Spanyol, antara banteng melawan matador.
TANDANGE KAYA JANGKRIK MAMBU KILI: Kalau yang ini tidak usah jauh-jauh ke Spanyol. Kita kembali ke masa kecil, jaman masih suka tabrak jangkrik dulu. Bagaimana gerakan seekor jangkrik jikalau kita kili-kili hidungnya. Pasti pribadi menerjang.
TANDANGE KAYA SIKATAN NYAMBER WALANG: Bila kita jalan-jalan di pesawahan atau padang rumput sering sanggup kita lihat bagaimana lincahnya burung sikatan menyambar belalang. Gambaran orang yang lincah. Nila "banteng" dan "jangkrik" lebih mengarah ke "membabi buta", maka "sikatan" tidak membabi buta.
Dilanjutkan ke PEPINDHAN: MEMBANDINGKAN SECARA PARALEL (2)
0 Komentar untuk "Pepindhan: Membandingkan Secara Paralel (1)"