Sanepa: Membandingkan Secara Terbalik (2)

Bapak Ibu sedang membaca sikap dan pitutur a la Jawa di http SANEPA: MEMBANDINGKAN SECARA TERBALIK (2)
Melanjutkan goresan pena Sanepa: membandingkan secara terbalik (1), semestinya saya ulang lagi terutama bagi Bapak Ibu yang belum membaca goresan pena pertama, bahwa “sanepa” yaitu perbandingan, boleh kita katakan selaku pengibaratan yang menyangatkan namun penyampaiannya dibalik. Sebagai tumpuan apabila kita katakan “ambune arum jamban” bermakna jamban masih lebih harum. Dengan demikian yang kita hadapi adalah bau yang amat tidak sedap.
 
Hal ini memperkuat rasa “semu” orang Jawa,  ada banyak sekali cara untuk menyampaikan sesuatu secara tidak langsung. Menjadi Jawa ada dua opsi ucapan. Mau menyampaikan “ambune arum jamban” yang bermakna tidak langsung, atau mau lugas dengan menyampaikan “ambune bacin” dan sebagainya.
 
Di bawah yaitu lanjutan beberapa “sanepa” yang sudah saya tulis pada goresan pena yang lalu:
 
DHUWUR KENCUR: Pohon kencur tidak sanggup tinggi. Bandingkan dengan flora empon-empon yang lain. Kencur yaitu yang paling pendek. Kaprikornus apabila dibilang “dhuwur kencur” bermakna citra dari sesuatu yang pendek. Biasanya ya manusia Sebagai komplemen ada gugon tuhon Jawa, seorang yang melakukan pekerjaan dengan potensi karier (misalnya pegawai negeri), tidak diusulkan menanam kencur di halaman rumahnya. Nanti pangkatnya tidak naik-naik. Nanti pangkatnya “dhuwur kencur”.
 
GEDHE GUREM: Gurem yaitu kutu ayam yang amat kecil. Sesuatu yang dibilang gedhe gurem, mengibaratkan sesuatu yang amat kecil. Gurem saja masih lebih gedhe. 
 
JERO TAPAK MERI: Meri yaitu anak angsa yang masih kecil. Pasti ringan sekali dan apabila menapak di tanah maka tak akan kelihatan bekas-bekas telapak kakinya. Disini dibilang bahwa tapak (jejak kaki) meri (anak bebek) saja masih lebih dalam. Berarti sesuatu yang amat dangkal
 
KANDEL KULIT BAWANG: Menggambarkan sesuatu yang amat tipis. Kita tahu kulit bawang amat tipis. Yang satu ini dianggap lebih tipis ketimbang kulit bawang.
 
KEDHEP TESMAK: Tesmak yaitu kacamata. Mana ada kacamata sanggup berkedip. Dalam sanepa ini dibilang bahwa kacamata masih kedhep (berkedip). Berarti citra dari orang yang menyaksikan dengan melotot (mentheleng) seolah tidak kedip mirip kacamata. Pernahkah Bapak Ibu mendengar ucapan “Tesmak bathok mata mlorok ora ndhedelok?” Ini bukan sanepa namun sanggup menerangkan “kedhep tesmak” sekaligus menyindir. Penjelasannya selaku berikut: Kacamata yang dipakai sebesar tempurung kelapa (bathok) tetapi aya ya sanggup melihat? Padahal matanya mlorok (melotot, kedhep tesmak). Kurang apa lagi? Tapi ..... ora ndhedelok (tidak melihat). Kaprikornus apa yang dilihat? Jaman kini mungkin banyak orang yang mirip ini.
 
KUNING SILIT KUALI: Pantat kuali niscaya hitam, terlebih apabila dipakai mengolah masakan di tungku kayu. Itupun masih lebih kuning. Orang yang hitam sering dibilang demikian.
 
KURU SEMANGKA: Sudah terang bahwa semangka yang bulat gemuk dibilang masih lebih kurus. Gambaran untuk orang yang amat tambun
 
LANDHEP DHENGKUL: Pernah saya tulis dalam Ungkapan bahasa Jawa dengan dhengkul. Adalah citra orang yang amat bodoh. Dengkul apabila kita raba, permukaannya tidak tajam. Kalau otak kita dibilang “landhep dhengkul” bermakna kita dianggap bodoh.
 
LEGI BRATAWALI: Sebagai jamu, bratawali dipahami amat pahit. Kaprikornus apabila dibilang bratawali masih bagus bermakna barang itu amat pahit. Ucapan yang menyakitkan sering dibilang “legi bratawali”
 
PAIT MADU: Madu dibilang masih lebih pahit. Apa yang lebih bagus dari madu? Sebuah senyuman, terutama untuk perempuan: Eseme pahit madu.
 
PERET BETON: Beton yaitu biji nangka. Dikatakan disini biji nangka yang licin itu masih kalah  licin. Berarti sesuatu yang amat licin. Apa yang licin? Konon yang paling licin yaitu manusia, misalnya orang yang omongannya tidak sanggup dipegang. Setidaknya ada tiga cara orang Jawa menyebut orang-orang licin mirip Patih Sangkuni ini: Pertama apabila mau pribadi kita katakan saja “Ngati-ati wong iku akale akeh, aja nganti kapusan”. Kalau mau agak pribadi kita katakan: “Ngati-ati wong iku lunyu kaya welut”. Kaprikornus kita katakan licin dengan mengambil sebutan mirip belut yang memang amat licin. Adapun yang ke tiga apabila kita mau tidak langsung, maka kata-kata: “Ngati-ati wong iku gunemane peret beton” yaitu yang paling pas.
 
RESIK PECEREN: Got (peceren) lazimnya kotor. Kaprikornus apabila got masih dibilang higienis kemudian betapa kotor barang yang dimaksud. Tetapi alasannya tidak mau pribadi maka kita katakan “resik peceren”. Ditambah dengan kata-kata “arum jamban” akan ialah variasi dari kotor dan busuk yang cukup menyeramkan untuk dibayangkan.
 
RINDHIK KIRIK (ASU) DIGITIK: Telah diterangkan pada pendahuluan goresan pena sebelum ini
 
SUWE BANYU SINARING: Menyaring air (banyu) pasti amat mudah dan cepat. Ungkapan ini menggambarkan sebuah proses yang amat cepat. Misalnya ada yang tanya: “Nunggunya lama, Mas?” Kemudian jawabannya: “O cepet Dhik, paribasan suwe banyu sinaring”. Berarti prosesnya cepat.
 
SUWE MIJET WOHING RANTI: Ranti yaitu buah sejenis tomat, bentuknya bulat dan kecil-kecil Bisa dpegang denganibu jari dan jari telunjuk. Kalau mau memijat hingga “mecothot” hampir tanpa energi dan dalam sekejap si kecil “ranti” sudah penyet. Artinya sama dengan “suwe banyu sinaring”. Sesuatu yang cepat.
 
 
PENUTUP:
 
Demikianlah contoh-contoh “sanepa” yang sanggup saya tulis. Apakah ini ialah “basa pinathok?” Bahasa yang sudah dipathok? Ya memang sudah demikian adanya, apabila sanggup jangan diubah-ubah kata-katanya. Kalau sudah pinathok bermakna tergolong “paribasan?” Betul. Semua bahasa yang sudah tetap pemakaiannya yaitu paribasan. Tinggal nanti masuk yang mana: bebasan, saloka atau sanepa.
 
Bolehkah kita membuatkan kata-kata baru?  Siapa yang tidak membolehkan? Siapa tahu akan dipakai banyak orang dan menjadi “basa pinathok?” Jangan malah hilang satu-persatu alasannya ditelan jaman. Yang penting tahu kaidah “sanepa”: Membandingkan secara terbalik. Aspek logika jangan ditinggalkan. Gunakan “rasa”. Misalnya: “Lemu sada” (lidi) bermakna sudah niscaya menggambarkan orang yang kurus. Tetapi jangan menyampaikan “lemu pring’ (bambu). Ada banyak jenis bambu. Yang namanya “pring petung” justru bambu yang amat besar. Sehingga anak yang dibilang selaku “bung (rebung) pring petung” yaitu anak yang longgor (cepat besar dibandingkan teman-teman sebayanya). IwanMM

Related : Sanepa: Membandingkan Secara Terbalik (2)

0 Komentar untuk "Sanepa: Membandingkan Secara Terbalik (2)"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)