Semasa remaja, Pandawa dan Kurawa bahu-membahu menuntut ilmu pada Pendeta Dorna. Salah satu mata ajarnya yaitu “memanah”. Dulu aku baca wacana ini di komik RA Kosasih, yang kini dicetak ulang dan bisa kita dapatkan di toko buku dengan harga yang ternyata mahal juga.
BAGAIMANA GURU MENDIDIK MURID
Pendeta Dorna selaku mahaguru yang kawentar kepiawaiannya pasti sudah menyusun GBPP dajn SAP nya dengan baik. Ketika pelajaran teori sudah komplet disampaikan, tibalah saatnya pelajaran praktek. Ia menghasilkan gambar/boneka seekor burung lalu ditaruh tinggi di dahan pohon. Setelah semua siap membidik dengan gendewa dan anak panah masing-masing, maka sebelum mulai melepas anak panah murid-muridnya ditanyai dahulu satu persatu: “Raden sasuwene sira nyipat jemparing iku apa kang katon?”
Jawabannya ternyata beraneka-ragam: Duryudana menyampaikan menyaksikan burung besar dan Dursasana bahkan sudah membayangkan makan burung panggang. Yudistira menyampaikan menyaksikan burung, saudara-saudaranya, dan gurunya. Demikianlah semua menyampaikan menyaksikan burung, dahan, ranting, ini lagi, masih tambah ini lagi. Kepada mereka sang mahadwija cuma mengatakan: “Wis ngger aja mbok terusake, mesti lupute”
Hanya Harjuna yang diijinkan melepas anak panah dan sukses menembus kepala burung-burungan itu. Ketika ditanya, Harjuna menyampaikan bahwa ia cuma menyaksikan kepala burung. Dipancing dengan pertanyaan warna bulunya apa, Harjuna menjawab tidak menyaksikan warna, cuma kepala burung. Sehingga cuma terhadap Harjuna, Resi Durna mengatakan: “Ya wis ngger ndang lepasna jemparingmu”. Hanya Harjuna pula yang lulus. Ia lalu menjadi piawai panah tak terkalahkan.
PIKIRAN YANG “NYAWIJI”
Kita bisa melalaikan begitu saja dongeng di atas tanpa analisis. Atau mengatakan: “Ah bidik-membidik bukan problem saya”. Atau sekedar beri komentar pendek, “memanah ternyata tidak gampang”.
Satu hal yang kita petik adalah: Memanah ternyata tidak cuma butuh kekuatan fisik mudah-mudahan kuda-kuda mempunyai pengaruh dan tangan tidak begetar. Ada yang tersirat dalam pendadaran ini bahwa kita mesti bisa konsentrasi. Pikiran mesti “nyawiji” terhadap satu titik yang menjadi sasaran kita. Kalau yang dilihat yaitu burung plus sekitarnya niscaya tidak akan kena. Apalagi jikalau yang dilihat burung lalu membayangkan sedapnya burung panggang, mana akan kena.
Apakah cuma itu? Sayang jikalau berhenti hingga disitu. Memanah hanyalah suatu teladan untuk pesan utama yang lebih dalam: Kalau kita sudah punya karep untuk mengerjakan sesuatu, maka fikiran mesti nyawiji (terpusat), dengan kata lain ulat mesti madhep dengan hati yang mantep. Nyawiji, madhep dan mantepnya mesti terhadap satu hal. Tidak boleh terpecah-belah. Bukankah memburu sesuatu mesti satu persatu? Mampukah kita memburu sekaligus 3 ekor ayam yang lepas dari kandang? Mampukah kita menuntut ilmu karate, boxing dan pencak silat barengan dan menjadi kampiun untuk ketiganya? Kalau ada, maka yang dapat seumpama itu tidak banyak. Umumnya cuma mendapat salah satu, itupun dengan sulit payah, atau malah tidak mendapat semuanya.
LIDING DONGENG
Dikatakan bahwa ‘wong Jawa panggonane semu” (semu: tersamar). Orang Jawa bisa mengakronimkan “Panah” menjadi “empaning manah”. Maksudnya menempatkan pikiran, menata hati, sehingga berkembang kesadaran dalam jiwa kita bahwa bila kita ingin menemukan sesuatu kita tidak akan memburu lainnya sebelum yang satu itu diraih.
Dalam gaya Jawa Timuran yang humoris dan lebih simpel dipahami, orang-orang yang tidak dapat berfokus pada sasaran utama ini “disemoni” (disindir) dengan parikan: TUKU RAMBAK IMBUH KRUPUK; LOR ORA NYANDHAK KIDUL ORA GADUK. (IwMM)
0 Komentar untuk "Pitutur Yang Tersirat Dari Dongeng Pandawa Menuntut Ilmu Memanah"