“Sanepa” yakni tetandhingan, bisa juga dibilang selaku pepindhan. Membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Tapi awas, kalimat: “Alise nanggal sepisan” (alisnya menyerupai bulan tanggal satu), bukanlah “sanepa” meskipun sama-sama membandingkan. Dalam bahasa Jawa ini disebut “panyandra” yang kebanyakan digunakan untuk membandingkan cuilan badan insan dengan sesuatu yang ada di alam. Lebih khusus lagi banyak digunakan untuk memuji keelokan seorang wanita.
Sanepa barangkali khas Jawa. Membandingkan sesuatu yang menyangatkan secara terbalik. Semakin kayalah khasanah “semu” orang Jawa. “Terbalik bagaimana?” Demikianlah Darman bertanya, sebab dianggapnya saya terlalu berputar-putar dalam menampilkan penjelasan. Memang susah diterangkan dengan kata-kata, namun sekali diberi contoh, biasanya orang eksklusif “dhong”.
Saya pernah menulis berjudul Rindhik kirik (asu) digitik. Inilah referensi “sanepa”: membandingkan secaca terbalik. Kalau orang menyampaikan playune (larinya) rindhik asu digitik, memiliki arti orang yang dimaksud larinya kencang sekali. Anjing yang dipukul pun (pasti lari terbirit-birit) masih kalah cepat. Bapak Ibu jikalau ada waktu untuk klik Serat Wedhatama: Aji godhong jati aking, kata-kata ini juga “sanepa” citra insan hina dina. Daun jati kering saja masih lebih aji (lebih bermanfaat).
Saya pernah menulis berjudul Rindhik kirik (asu) digitik. Inilah referensi “sanepa”: membandingkan secaca terbalik. Kalau orang menyampaikan playune (larinya) rindhik asu digitik, memiliki arti orang yang dimaksud larinya kencang sekali. Anjing yang dipukul pun (pasti lari terbirit-birit) masih kalah cepat. Bapak Ibu jikalau ada waktu untuk klik Serat Wedhatama: Aji godhong jati aking, kata-kata ini juga “sanepa” citra insan hina dina. Daun jati kering saja masih lebih aji (lebih bermanfaat).
Demikian pula yang ditanyakan Darman kemarin: Arum jamban. Menjelaskan tentang amis yang amat tidak sedap. Jamban saja (tentunya jamban yang tidak dijaga kebersihannya) masih lebih harum. Bayangkan menyerupai apa.
Dibawah yakni daftar beberapa “sanepa” dalam bahasa Jawa, berikut klarifikasi singkat mengapa demikian. Kiranya bermanfaat.
ABANG DLUWANG: Dluwang (kertas) yang biasanya berwarna putih atau terang masih lebih merah (abang). Gambaran paras yang pucat pasi. Misalnya seorang tertangkap berair menipu, kemudian parasnya pucat pasi, dibilang “raine kakak dluwang”. Mengapa tidak eksklusif dibilang “raine pucet” ya itulah orang Jawa. Suka menyodorkan secara tidak langsung.
ABOT KAPUK: Kapuk masih lebih berat. Gambaran sesuatu yang amat ringan. Orang menenteng barang kemudian kita tanya apakah tidak berat? Ia dapat menjawab “abot kapuk” alih-alih menjawab “entheng”.
AGAL GLEPUNG: (Agal: kasar; glepung: tepung). Sesuatu yang amat lembut atau halus, sehingga tepung yang telah begitu halus masih dibilang lebih kasar.
AJI GODHONG GARING (Sama dengan aji godhong jati aking di atas)
AMBA GODHONG KELOR: Masih lebih lebar daun kelor yang kecil. Berarti kecil/sempit sekali. Dalam bahasa Indonesia kita kenal ungkapan yang kita pakai untuk menasihati orang yang patah semangat atau patah hati: “Dunia tidak selebar daun kelor”. Dalam bahasa Jawa bagaimana? Kalau kita terjemahkan: “Donya ora mung sak godhong kelor” maka maknanya sama. Tetapi jikalau kita katakan: “Kamare ciyut (sempit), isih amba godhong kelor”, maka Bapak Ibu telah tahu maksudnya.
ANTENG KITIRAN: “Kitiran” yakni baling-baling. Baling-baling jikalau kena angin akan berputar-cepat. Kalau dikatakan: “Bocah kok polahe anteng kitiran”, memiliki arti anak tersebut tidak pernah berhenti bergerak. Kitiran (baling-baling) masih lebih anteng (tenang).
ARANG KRANJANG: Kranjang (untuk meletakkan sayur, buah yang dijual di pasar, atau untuk menyabit rumput) anyamannya jarang-jarang (arang-arang), memiliki arti banyak lobangnya. Kranjang saja, masih lebih jarang (sedikit) lobangnya. Lalu apa yang kita sanepa-kan dengan arang kranjang? Umumnya yakni “luka”. Saya ingat waktu coschap dulu, ada pasien yang sekujur kakinya sarat “gudhig” (koreng). Seorang kawan yang masih “Jawa banget” mengatakan: “Nggilani, gudhige arang kranjang”. Bagi Bapak Ibu penggemar wayang, dalam lakon “Abimanyu Gugur” dibilang “tatune arang kranjang”. Abimanyu dikeroyok Korawa, tubuhnya sarat luka yang “arang kranjang”.
ARANG WULU KUCING: Kucing (kecuali kucing kudisan) kebanyakan berbulu tebal. Kalau bulu kucing saja masih dianggap jarang (arang) pastinya yang kita sanepa-kan yakni sesuatu yang lebat. Bisa rambut, pepohonan, bahkan hujan yang tetes airnya rapat dibilang “udane arang wulu kucing”. Boleh jadi ritual minta hujan dengan memandikan kucing mengandung cita-cita biar secepatnya hujan yang lebih rata dibandingkan dengan bulu kucing.
ARUM JAMBAN: Telah diterangkan pada pendahuluan, yakni amis yang lebih tidak nikmat dibandingkan dengan amis kakus (kakus kotor). Dipakai juga selaku kiasan untuk menyebut orang yang punya nama buruk (reputasinya tidak baik).
ATOS DEBOG: “Debog” (batang pisang) telah niscaya amat lunak. Sesuatu yang “atos debog” yakni sesuatu yang amat lunak.
BANTER KEYONG: Keyong jalannya mrambat, pelan sekali. Perkataan “banter keyong” menampilkan seseorang yang jalannya amat pelan, atau dalam melakukan pekerjaan amat lamban.
BENING LERI: Leri yakni air cucian beras. Tentu keruh. Kalau ada orang mengatakan: “Banyu bening leri ngono kok diombe”, tujuannya “air keruh kok diminum?”. Bahasa Jawanya “keruh” yakni “buthek”. Mengapa tidak eksklusif saja mengatakan: “Banyu buthek kok diombe”. Demikian ditanyakan Darman barusan. “Kan lebih lugas, Mas”. Itu juga baik-baik saja, dan Darman saya suruh baca goresan pena saya Bima: Cekak aos blaka suta.
BENJO TAMPAH: Kita biasa menggunakan “tampah” untuk menampi beras, bisa juga untuk menjemur makanan yang perlu dikeringkan. Bentuk tampah senantiasa bulat. “Benjo” yakni sesuatu yang tidak bulat. Oval juga tidak, sebab dalam bahasa Jawa oval yakni lonjong. Makara jikalau tampah yang telah “bunder ser” begitu masih dibilang “benjo”, memiliki arti betul-betul sesuatu yang tidak bundar tidak oval. Saya sendiri tidak begitu terang penggunaannya. Kemungkinan untuk alat-alat yang yang dibikin dari gerabah menyerupai cobek, gentong, kendi, kuali dan sebagainya. Dilihat tidak nyaman.
BRINTIK LINGGIS: Linggis terang keras dan lurus masih dibilang brintik (keriting). Berarti kita berhadapan dengan sesuatu yang amat lurus, keras dan kaku. Orang yang rambutnya njegrag dan kaku dapat dikatakan: Rambute brintik linggis. “Kalau dibilang kaku sapu duk (sapu ijuk) atau kaku sada (lidi) bagaimana?” Lagi-lagi ini pertanyaan Darman. Ya boleh-boleh saja, saya pikir malah lebih masuk akal membandingkan rambut dengan sapu dibandingkan dengan dengan linggis.
Sampai disini tampaknya goresan pena telah agak panjang. Kalau diteruskan menjadi terlalu panjang. Mohon ijin untuk meneruskan pada kali berikutnya, SANEPA, MEMBANDINGKAN SECARA TERBALIK (2). (IwanMM)
0 Komentar untuk "Sanepa: Membandingkan Secara Terbalik (1)"