Pengertian LUMUH secara lazim yakni tidak mau melaksanakan sesuatu pekerjaan atau hal tertentu. Bisa bermakna baik apabila yang kita “lumuhi” yakni hal-hal buruk, misalnya "lumuh Ma Lima". Sebaliknya sanggup bermakna jelek apabila yang kita “lumuhi" hal-hal baik,misalnya "lumuh shodaqoh".
Tetapi apakah pengertiannya begitu exact mirip rumus matematika? Bahwa jikalau kita “lumuh” melaksanakan yang tidak baik, memiliki arti kita baik, dan kalau lumuh melakukan yang baik memiliki arti tidak baik? Ternyata tidak mesti demikian.
LUMUH DIKATAKAN BODOH
Orang yang tidak mau dibilang terbelakang sesungguhnya orang akil atau orang yang ingin dibilang pandai? Kalau dia tergolong orang yang ingin dibilang akil padahal tidak pandai, berarti ia rugi. Pengetahuannya tidak akan bertambah lantaran ia menjadi enggan (lumuh) bertanya. Padahal tidak ada orang yang “mumpuni” 100 persen. Pasti ada kekurangannya. Mengapa orang ogah tanya sanggup macam-macam sebabnya. Bisa lantaran usia yang lebih tua, sanggup juga lantaran ia pimpinan, sehingga “lumuh” tanya terhadap yang lebih muda atau yang lebih rendah pangkatnya. Dapat dibaca di Kebo (2): Kebo Nyusu (Nusu) Gudel.
Sri Mangkunegara IV dalam Serat Wedhatama, pupuh Pangkur bait ke 3 menyebutkan bahwa orang yang menuruti kemauan sendiri, akan ngomong tanpa dipikir panjang (gugu karepe priyangga; nora nganggo peparah lamun angling) tapi tidak mau dibilang terbelakang (lumuh ingaran balilu). Lengkapnya selaku berikut:
Kalau ada orang menyampaikan kita bodoh, jangan cepat marah. Sebaiknya kita “mulat sarira” dulu. Kalau memang ada kekurangan, ya kita perbaiki. Perlu dikenang bahwa orang yang sungguh-sungguh pandai, dia tidak akan “lumuh ingaran balilu”. Oleh lantaran itu ilmunya kian meningkat.
LUMUH KALAH
Orang yang tidak mau “kalah” memiliki arti ia mesti senantiasa “menang”. Hal ini menghasilkan hidup orang menjadi tidak bahagia, sanggup dibaca pada goresan pena Bungah lan Susah (5): Dirusak oleh“meri” dan “pambegan” Beberapa pola “lumuh kalah” antara lain:
- Kalah bicara: jikalau musuh bicaranya punya sifat yang sama, sanggup berlanjut berantem tinju. Bagi orang yang mendengar dan kebetulan punya sifat provokator dan hobi mendengar orang yang “waton sulaya” ia akan memanas-manasi mudah-mudahan kian rame. Sebaliknya bila lawan bicaranya telah mengendap, terhadap orang yang mirip ini ia akan menegaskan ngalah atau ngalih (baca: Serat Wedhatama: “Yang waras ngalah”)
- Kalah drajat dan kalah kaya: Ini lebih celaka lagi lantaran ia akan berusaha keras untuk tampil selaku orang yang berderajat tinggi dan kaya. Padahal modalnya cupet. Hidupnya senantiasa dihantui rasa “meri” dan “pambegan” [baca: Bungah lan sulit (5) dirusak oleh “meri” dan “pambegan”]. Hutangnya mungkin menjadi banyak, stressnya bertambah berat dengan banyak sekali akibatnya.
Sri Mangkunegara IV dalam Serat Wedhatama pupuh Pangkur bait ke 8 mirip pada gambar di samping, menyebutkan bahwa cerminan jiwa kita (socaning jiwangganira) sanggup dilihat dalam ucapan kita (jer katara lamun pocapan pasthi), yang tidak mau kalah dan harus menang (lumuh asor kudu unggul), bicaranya sombong, mentang-mentang (sumungah sesongaran). Orang mirip itu sanggup dibilang terlena (katungkul) dengan keberaniannya (reh kaprawiran). Tidak yummy hal mirip itu, anakku.
LUMUH DIKATAKAN JELEK
Tidak mau dibilang jelek, mesti senantiasa baik. Berarti mesti dibentuk supaya "baiknya" senantiasa kelihatan. Padahal orang yang bagus betul tidak pernah mau mengungkap-ungkap kebaikannya. Karena ia tidak mau menjadi “riya”, sebuah perbuatan yang dibenci Allah.
Orang yang bagus lantaran “lumuh” dibilang jelek justru ia mengarah ke jelek, lantaran perbuatan baiknya kemungkinan mengandung maksud tertentu (baca: Rame ing gawe dan sepi ing pamrih). Di segi lain, jikalau kemudian ada yang mengingatkan atau memberi teguran bahwa ia “jelek” maka ia akan marah-marah, lantaran selama ini yang ia tahu, cuma “baik” saja yang ada pada dirinya. Orang mirip ini layak dikasihani.
Orang yang tidak mau dibilang jelek alias “lumuh ala” ini juga disebut dalam Serat Wedhatama, pupuh Pucung bait ke 14 mirip pada gambar sebelah.
Pengertiannya kurang lebih: Semua yang tidak baik dalam dirinya (sakeh luput ing angga) senantiasa ditutup (tansah linimput), ditutupi dengan kata-kata (linimput ing sabda); merasa tidak ada yang mengetahui (narka tan ana udani); orang yang lumuh dibilang jelek ini (lumuh ala); nafsunya (arda) yakni senjatanya (gada: alat pemukul).
PENUTUP
Watak “lumuh ingaran balilu, lumuh asor dan lumuh ala” ibaratnya orang yang berambisi menemukan “Piala Citra” namun yang didapat sesungguhnya “Piala Cedera”. Oh ya, “lumuh makarya” (enggan bekerja) tidak disebut dalam Serat Wedhatama. Barangkali pada kurun Sri Mangkunegara IV tidak ada orang pemalas, mungkin juga dia beropini terlalu simple penyelesaiannya. Orang jikalau “diarani lumuh makarya” maka ia akan berusaha menujukkan jikalau dia kerja. Kan malah anggun jadinya (IwMM)
0 Komentar untuk "Serat Wedhatama: Orang-Orang Yang “Lumuhan”"