Serat Wedhatama: Orang-Orang Yang Tidak Mempertahankan “Ilat, Ulat Dan Ulah”

Semua orang pastinya ingin disukai dalam pergaulan. Masalahnya yang menyeleksi kita disukai atau tidak merupakan orang lain. Beranikah kita menyampaikan bahwa “Saya orang menyenangkan” padahal orang lain di daerah lain menyampaikan bahwa kita tergolong kelompok orang-orang “menyebalkan”.
 
Apakah orang “ramah” itu menyenangkan? Jawabnya ternyata “Tidak senantiasa mesti demikian”. Ramah bisa saja menyebalkan. Apakah orang yang “blak-blakan” seumpama Bima: "Cekak aos blaka suta" tidak menyenangkan? Jawabnya juga sama: “Tidak senantiasa mesti demikian”. Blak-blakan tidak senantiasa menyakitkan.
 
 

ILAT, ULAT DAN ULAH: BISA MENJADI “SAMBEKALA” HIDUP
 
Ada kawan yang iseng menghasilkan “list” tolok ukur “menyenangkan dan menyebalkan” ternyata ia mendapatkan daftar panjang yang menyebalkan. Lalu ia menjajal dengan cara lain. Dibuatnya daftar “mengapa orang tidak disenangi”. Daftarnya menjadi lebih pendek, antara lain orang yang tidak memiliki tepa selira, tidak empan papan, meremehkan orang lain, mendominasi, praktis tersinggung dan masih banyak juga lainnya. Tetapi sanggup diringkas sesuai kiat dari Sri Mangkunegara III bahwa dalam hidupnya insan mesti bisa menertibkan “ILAT” (lidah), “ULAT” (ekspresi wajah) dan “ULAH” (perilaku). Ketiga hal tersebut bila tidak dikendalikan dapat menjadi SAMBEKALA (halangan) bagi insan dalam hidupnya selaku anggota penduduk yang mesti bermasyarakat.
 
Dalam bergaul maupun melaksanakan pekerjaan, kita mesti menggunakan ketiga hal tersebut: Ilat, ulat dan ulah secara sinkron. Meminjam ungkapan usang dulu: Selaras, harmonis dan seimbang. Ilat, ulat dan ulah semestinya menjadi cerminan dari kepribadian kita. Bukan sesuatu yang dibuat-buat. Bukan sesuatu yang tempelan seumpama bedak. Karena jikalau terlalu tebal, akan seumpama topeng. Kalau topeng lepas, menjadi kembali seumpama aslinya.
 
 
CONTOH DARI SERAT WEDHATAMA:

Serat Wedhatama yang maksudnya mendidik putra-putri (Pupuh pangkur bait 1: akarana karenan mardi siwi) banyak menampilkan pola wacana hal ini, antara lain selaku berikut:

1.    Pupuh Pangkur bait 4: si pêngung nora nglêgewa;  sangsayarda dènira cêcariwis; ngandhar-andhar angandhukur; kandhane nora kaprah;  saya elok alôngka-longkanganipun; si wasis waskitha ngalah | ngalingi marang si pingging

2.    Pupuh Pangkur bait 5: mangkono ngèlmu kang nyata; sanyatane mung wèh rêsêping ati; bungah ingaranan cubluk; sukèng tyas yèn dèn ina;  nora kaya si punggung anggung gumunggung;  ugungan sadina-dina;  aja mangkono wong urip

3.    Pupuh Pangkur bait 6: uripe sapisan rusak; nora mulur nalare ting saluwir; kadi ta guwa kang sirung; sinêrang ing maruta; gumarênggêng anggêrêng anggung gumrunggung; pindha padhane si mudha; prandene paksa kumaki

4.    Pupuh Pangkur bait 8: socaning jiwangganira; jêr katara lamun pocapan pasthi; lumuh asor kudu unggul; sumungah sêsongaran; yèn mangkana kêna ingaran katungkul; karêm ing rèh kaprawiran; nora nikmat iku kaki

5.    Pupuh Pucung bait 6: durung pêcus kasusu kasêlak bêsus; amaknani rapal; kaya sayid wêton Mêsir; pêndhak-pêndhak angêndhak gunaning janma

6.    Pupuh Pucung bait 13: nora uwus karême anguwus-uwus; uwose tan ana; mung jangjine muring-muring; kaya buta butêng bêtah nganiaya

7.    Pupuh Pucung bait 15: durung punjul ing kawruh kasêlak jujul; kasêsêlan hawa; cupêt kapêpêtan pamrih; tangèh nêdya anggambuh mring Hyang Wisesa

 
Dari pupuh Pangkur dan Pucung di atas sanggup dilihat contoh-contoh orang yang tidak dapat mempertahankan “ilat, ulat dan ulah” seperti:

- banyak ngomong besar yang tidak masuk kebijaksanaan (butir 1),
- omong besar dan ingin dipuji-puji (butir 2),
- omong besar dan “kemaki” (butir 3),
- omong besar, angkuh dan tidak mau kalah (butir 4),
- Belum punya kesanggupan tetapi merasa telah jago dan meremehkan kemampuan 
  orang lain (butir 5),
- suka bicara yang tidak ada isinya, marah-marah dan melukai hati orang (butir 6).
- Adapun butir 7 sama maknanya dengan butir 5: belum bisa telah menampilkan  
  bahwa ia mampu.
 
 
KESIMPULAN
 
Dari tujuh bait tembang Pangkur dan Pucung di atas sanggup ditarik kesimpulan selaku berikut:

1.    Hidup janganlah seumpama itu (aja mangkono wong urip). Ingat bahwa hidup kita merupakan untuk mengasyikkan hati sesama (sanyatane mung wèh rêsêping ati). Jangan terlena (yèn mangkana kêna ingaran katungkul). Hal itu tidak baik (nora nikmat iku kaki)

2.    Kasihanlah orang yang demikian. Hidup satu kali saja rusak, tidak meningkat dan kebijaksanaan sehatnya tercerai-berai (uripe sapisan rusak; nora mulur nalare ting saluwir)

3.    Mereka merupakan orang yang dipengaruhi hawa napsu dan jiwanya sempit tertutup pamrih (kasêsêlan hawa; cupêt kapêpêtan pamrih). Tidak mungkin menjadi orang yang bersahabat terhadap Tuhan (tangèh nêdya anggambuh mring Hyang Wisesa)

 Bila dalam pergaulan hidup sehari-hari kita ketemu orang yang tidak dapat menata “ilat, ulat dan ulah”nya apa yang kita lakukan? Cukup ngalah atau ngalingi biar yang bersangkutan tidak kehilangan muka, seumpama pesan Sri Mangkunegara IV dalam dua baris terakhir pupuh Pangkur bait ke empat: ; si wasis waskitha ngalah | ngalingi marang si pinggingDapat dibaca di  Serat Wedhatama: Walau hati tidak bahagia tetaplah “sinamun ing samudana sesadon ingadu manis
(IwMM).

Related : Serat Wedhatama: Orang-Orang Yang Tidak Mempertahankan “Ilat, Ulat Dan Ulah”

0 Komentar untuk "Serat Wedhatama: Orang-Orang Yang Tidak Mempertahankan “Ilat, Ulat Dan Ulah”"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)