Adalah kenyataan bahwa sepanjang kita masih hidup dan bergaul dengan sesama manusia, maka ketiga hal ini niscaya kita temui setiap hari: Pertama “Nggunggung, Ngumpak atau Ngalem” (Dalam hal ini ngalem dalam pemahaman memamerkan kebanggaan yang kelewat batas). Yang kedua: nacad, memaoni atau mada. sedangkan ke tiga adalah: Ngrasani.
Mengenai Nacad, Memaoni dan Mada (Mencela) sanggup dibaca pada Sesiku Telung Prakara Menurut Serat Wulangreh: Aja anggunggung, aja nacad musuh aja memaoni.
YANG MERASA ELING MENGINGATKAN YANG TIDAK ELING
Wulangreh, Durma, bait ke 8 |
Pada gambar di samping sanggup dibaca bait ke 8 pupuh Durma: Disebutkan mudah-mudahan yang “eling” mengingatkan sobat dan keluarga yang “tidak eling”. (ingkang eling angelingêna ya marang sanak konca kang lali), Bila ingin selamat, banyaklah diam, jangan suka ngrasani.
Kalimatnya tertuntaskan pada bait selanjutnya, yaitu: nêmu dosa anyêla sapadha-padha; Artinya: berdosalah orang yang mencela sesamanya (nyêla: mencela; dalam hal ini orang“ngrasani” kebanyakan mencela. Jarang orang “ngrasani” kebaikan orang).
Dikatakan: sira mênênga | aja sok angrasani. Semua orang tahu bahwa “ngrasani” dalam bahasa yang lebih terkenal dibilang “nggosip” mungkin juga “ngrumpi” merupakan perbuatan tidak baik. Masalahnya yang tidak baik umumnya lebih nyaman, sehingga jikalau sehari tidak kumpul-kumpul entah dengan tetangga atau di kantin kantor untuk membicarakan orang lain, tubuh rasanya tidak “seger sumyah”.
Wulangreh, Durma, bait k1 12 |
Semua hal sanggup menjadi materi “rasan-rasan”. Hal ini sanggup dibaca pada bait ke 12 pupuh Durma pada gambar di samping, yang terjemahannya selaku berikut: Sudah lazim orang di depan kita ia baik (ngandhut rukun becik ngarepan kewala), tetapi di belakang dia “ngrasani” yang bukan-bukan (ing wuri angrasani ingkang ora-ora). Baik jelek dirasani tanpa selektif (kabeh kang rinasanan, ala becik den rasani, tan parah-parah). Sungguh menyedihkan.
Catatan: Kata “Wirangrong” mengandung makna kesedihan sekaligus aba-aba bahwa pupuh selanjutnya merupakan tembang “wirangrong”
TIDAK USAH IKUT-IKUTAN NGRASANI
Pernah saya tulis dalam “ana catur mungkur” jikalau mendengar orang “ngrasani” lebih baik kita “diam” tidak usah ikut nimbrung. Kalau rasanya hati tidak bahagia dan kalut tidak sanggup “samudana” (Dapat dibaca di Serat Wulangreh: Sinamun ing samudana, sesadon ingadu manis), ya kita “ngalih” (menyingkir) dengan sopan. Ada banyak argumentasi yang sanggup disampaikan untuk menyingkir dengan halus.
Seorang ibu (wanita Indonesia) yang bermukim di salah satu negara Eropa pernah menyodorkan bahwa penyakit ngrasani ini juga ada di sana (sayang saya lupa tanya yang ngrasani ini komunitas Indonesia atau bukan). Yang terperinci ia pilih “ngalih” ketimbang “ngamuk” lantaran tidak senang. Ia pilih ambil sepeda, pergi menyaksikan belibis liar di danau. Ada kedamaian di situ, dan jikalau toh kalangan belibis itu bersuara, ia tidak tahu bahasa angsa.
Sungguh opsi eksklusif yang bijak, sejalan dengan apa yang diingatkan oleh Sri Pakubuwana IV lewat bait ke 3 pupuh Durma pada Serat Wulangreh, di bawah yang artinya sebagai berikut: Benar salah, baik buruk, untung dan sial semua berasal dari diri kita sendiri, bukan dari orang lain. Oleh lantaran itu selalu berhati-hatilah, waspada kepada tipu budi amis dan tetaplah “eling”. (IwMM)
Wulangreh, Durma bait ke 3 |
0 Komentar untuk "Serat Wulangreh: Aja Sok Angrasani"