Berjalan peliharalah kaki, mengatakan peliharalah lidah. Demikian dibilang peribahasa Indonesia. Maksudnya orang biar waspada baik dalam berlangsung maupun berbicara. Sesiku telung prakara: Nggunggung, Nacad dan Memaoni termasuk solah dari bawa (ucapan) kita, ialah sikap yang erat dengan laku-linggih kita sehari-hari mulai dari berdiri tidur sampai tidur lagi. Satu hal yang perlu menjadi perhatian kita bersama. Mulut kita satu dan indera pendengaran kita dua namun mengapa kita lebih senang bicara dibandingkan dengan mendengar.
Kumpulan pitutur yang terkait dengan ketiga hal tersebut, dan tergolong banyak, dapat dibaca pada: Pitutur Kumpulan 2: Mencela dan ngrasani, kemudian Pitutur Kumpulan 3: Pujian, umpakan dan tembung lamis.
Mengenai nacad, nggunggung dan memaoni ini, Sri Pakubuwana IV menyebut sebagai "sesiku telung prakara" (tiga macam aib) dalam pupuh Durma bait ke 4 dan 5 selaku berikut:
NGGUNGGUNG
Mengapa kita diingatkan untuk ... aja anggunggung sirèki ... (sireki: Anda) sanggup dibaca pada pupuh Durma bait ke 9 mirip pada gambar di sebelah.
Terjemahan bebasnya kurang lebih:
(9) Jangan terlalu cepat memuji jikalau belum terang baik buruknya manusia. Kalau ternyata tidak benar, justru akan menjadi cela bagi diri kita (cirinireki).
Mengenai orang yang suka nggunggung (suka memuji berlebihan) dan orang yang suka digunggung (suka dipuji-puji) sanggup dibaca pada posting:
1. Serat Wulangreh: Jangan menjadi orang gunggungan Intinya, orang yang tergoda “gunggung” akan hilang akalnya mirip disebutkan dalam pupuh Gambuh bait ke 12: yèn wong anom puniku | kakehan panggunggung dadi kumprung | pêngung resah wêkasane pan angoling | yèn dèn gunggung muncu-muncu | kaya wudun mèh macothot || Tapi digunggung itu nikmat, jadi kita akan terlena dibuatnya.
2. Serat Wulangreh: Orang nggunggung pasti ada maunya. Dalam hal ini kepada orang yang suka nggunggung Sri Susuhunan memarahi Dalam Pupuh Gambuh bait ke 14: Yen wong mangkono iku, nora pantes cedhak mring wong agung, nora wurung anuntun panggawe juti, nanging ana pantesipun, wong mangkono didhedheplok
NACAD KEPATI-PATI DAN MEMAONI BARANG KARYA
Pada pupuh Durma bait ke 4 di atas kita diminta untuk .... aja nacad kapati-pati dan pada bait ke 5-7 di sebelah disebutkan lawan aja mêmaoni barang karya. Nacad dan memaoni mempunyai kesamaan arti yakni mencela. Terus terang saya kesusahan juga membedakan antara keduanya. Tetapi jikalau menyaksikan kalimatnya, sanggup kita bedakan bahwa yang pertama yakni "nacad kepati-pati", mencela berlebihan (berlaku umum) dan yang kedua mencela hasil pekerjaan orang (barang karya).
Terjemahan bebasnya secara keseluruhan kurang lebih:
(5) Jangan sedikit-sedikit mencela pekerjaan orang; sedikit saja gerakan insan senantiasa dicela; pada jaman ini jadi lumrah jikalau banyak orang cendekia mencela
(6) Hanya kelakuan sendiri yang tidak dicela; lantaran merasa paling benar; senaliknya meskipun benar, jikalau yang melakukan orang lain, selalu dianggap salah; begitulah yang lumrah terjadi kini ini; yang dipakai yakni kebenaran langsung yang sepihak
(7) Tidak ada perbuatan yang lebih mudah; seperti orang yang suka mencela; camkan kalian semua; jangan suka mencela; Kepada siapa pun yang lupa, semestinya semua mengupayakan kebaikan.
PENCELA SAMA DENGAN SETAN NUNJANG-NUNJANG DAN DAHWEN (ATI) OPEN
PENCELA SAMA DENGAN SETAN NUNJANG-NUNJANG DAN DAHWEN (ATI) OPEN
Orang yang suka mencela (memadha) dalam pupuh Kinanthi bait ke 14 dibilang selaku orang yang menuruti benarnya sendiri, merasa dirinya paling pandai, ibaratnya mirip setan nunjang-nunjang, tidak pantas didekati. Demikian pula pada bait ke 15, si tukang mencela diumpamakan seekor anjing yang dahwen (ati) open, mencela namun menghendaki (mungkin tujuannya anjing menggonggong = orang mencela). Sebaiknya kita jangan berdekatan dengan orang mirip ini biar tidak ketularan. Lengkapnya pupuh Kinanthi bait ke 14 dan 15 selaku berikut:
KESIMPULAN
Salah satu tantangan hubungan antar insan pada kurun ke 21 ini nampaknya yakni “tidak adanya hal yang benar meskipun mungkin hal tersebut belum pasti salah”. Memuji. padahal belum pasti yang disanjung baik. Mencela, padahal yang dicela belum pasti jelek. Pada pupuh Durma bait ke 11 dan 12 disebutkan:
(11) Kalau sanggup jangan memuji maupun mencela; pada jaman kini semua yang tidak digemari dicela habis-habisan; tidak ada fikiran yang prasaja.
(12) Rukun dan baik cuma di depan; dibelakang “ngrasani” yang tidak-tidak; yang bagus maupun yang jelek semua “dirasani” tidak pakai empan-papan; tumbuhlah kesedihan
(catatan: “wirangrong”: Artinya yakni Kesedihan; sekaligus disini merupakan “kode” bahwa pupuh selanjutnya yakni pupuh “wirangrong”)
(catatan: “wirangrong”: Artinya yakni Kesedihan; sekaligus disini merupakan “kode” bahwa pupuh selanjutnya yakni pupuh “wirangrong”)
Tidak “nggunggung”, tidak “nacad kepati-pati” dan tidak “memaoni barang karya” mempunyai arti “sikap membisu memang betul-betul emas”. Oleh alasannya itu jadilah orang yang anteng, meneng, jatmika. (IwMM)
0 Komentar untuk "Sesiku Telung Prakara Menurut Serat Wulangreh: Aja Anggunggung, Aja Nacad Kepati-Pati Musuh Aja Memaoni Barang Karya"