“Drengki” (dengki) ialah salah satu sifat buruk manusia. Pengertian “drengki” yaitu “orang yang tidak suka menyaksikan orang lain senang”. Kalau cuma berhenti di rasa tidak suka saja, masih OK lah. Masalahnya masih pakai “plus”. Jelasnya: Tidak senang plus upaya menghasilkan sulit atau mencelakakan. Ini yang tidak terpuji.
MENGAPA DRENGKI?
Bila kita renungkan, hal ini terjadi alasannya kita “kedunungan rasa melik” ingin mengambil kebahagian orang lain, bisa alasannya kita “anduweni rasa meri lan pambegan”, tidak mau kalah dan ingin menang, bisa pula alasannya mau balas dendam. Tetapi ada satu lagi yang aneh. Ada orang “drengki” yang memang telah menjadi “gawan bayi”. Biarpun tidak punya rasa “melik, meri atau pambegan”, dan tak ada masalah samasekali, asal menyaksikan ada orang lain senang, maka dia menjadi sebaliknya, kemudian berusaha untuk mengerjai. Bila berhasil, tubuh rasanya “seger sumyah” hingga ke “balung sumsum”. Kasihannya orang yang punya budbahasa “drengki”, jikalau telah menjadi kebiasaan, yang bersangkutan seolah menjadi tidak sadar lagi jikalau perbuatannya tidak baik.
ORANG DRENGKI: PANDAI ATAU BODOH?
Beruntunglah orang ndeso alasannya otaknya tidak cukup pintar untuk menyempurnakan kedengkiannya. Orang “drengki” mesti pintar sekaligus licik sehingga dia bisa menyiapkan dan meluncurkan kedengkiannya dengan mulus. Andaikan ketahuan, dia juga cukup lihay bersilat lidah. Bergantung situasinya, dia bisa basuh tangan, akal-akalan tidak tahu atau bersilat pengecap memutar-balikkan kenyataan.
SERAT WULANGREH
Sri Pakubuwana IV dalam Serat Wulangreh, pupuh Pangkur, bait ke 9 (gambar di samping) menyebutkan bahwa pada masa saat ini banyak orang punya sifat “drengki”.
Dapat kita lihat formasi sifat buruk yang berkaitan: Diawali dengan “drengki” yang pengertiannya sanggup dilihat pada permulaan goresan pena ini, disusul “droi” (drohi: tidak setia), “dora” (dusta), “iren meren (iri: penjelasannya sanggup dibaca pada goresan pena bungah lan sulit (5): dirusak oleh “meri” dan “pambegan” “panasten” (panas hati alasannya iri), “kumingsun” (sifat “sok”), “openan” (suka ikut campur urusan orang lain), “nora prasaja” (tidak prasaja, tidak bersifat apa adanya), “jail” (suka mengerjai orang), “methakil” (banyak nalar busuk), “besiwit” (urik, nakal, tidak jujur dalam permainan). Sifat-sifat ini seluruhnya dimiliki orang yang “drengki”
Selanjutnya pada bait ke 11 disebutkan bahwa Orang drengki (dan banyak sifat lain yang disebut), tergolong orang "dur bala murka". "Dur" mengandung pemahaman "tidak baik, jahat" dan "bala" disini artinya "kekuatan". Maksud kepemilikan sifat menyerupai itu ada pada orang-orang murka yang mengikuti nafsu luamah dan amarah. (luamah musuh amarah iku ingkang den tut wuri). Ia tidak pernah puas walau telah kesampaian tujuannya (nadyan wisa katekan karepane nora marem saya banjur).
PENUTUP
Cukup banyak kisah-kisah “drengki”. Barangkali ada yang masih ingat ceritera serial ketoprak mengenai Patih Bestak, yang kedengkiannya bahkan bisa mempengaruhi rajanya, Prabu Nusyirwan dari kerajaan Madayin. Demikian pula dalam dunia pedhalangan. Siapa yang tidak kenal dengan tokoh “Patih Sangkuni” yang sanggup dibaca pada lanjutan goresan pena ini: Watak Drengki (2): Patih Sangkuni (IwMM)
0 Komentar untuk "Watak Drengki (1): Serat Wulangreh"