Orang Jawa hingga dikala ini masih suka mengatakan dengan memakai “purwakanthi”. Contohnya yaitu “Watak, watuk dan wahing” yang ialah purwakanthi guru wanda (suku kata) “Wa”. Katanya, ketiga hal tersebut “ora sanggup diowahi” (tidak sanggup diubah).
WATAK:
GAWAN BAYI: Kita sering mendengar perkataan dalam ucapan sehari-hari orang Jawa, untuk “ngrasani” seseorang yang kelakuannya tidak baik atau kurang baik. Misalnya suka nipu teman, tidak mengembalikan hutang, senantiasa berdiri kesiangan, tidak tahu sopan santun, dll. “Lha wong sudah gawan bayi gitu mau diapakan”. Maksudnya, mudah-mudahan dinasihati menyerupai apapun ya tidak akan berganti sebab dianggap sudah bawaan sejak lahir.
CIRI WANCI LELAI GINAWA MATI: Sebuah paribasan, dengan purwakanthi guru swara “I”. Bukan ialah percakapan sehari-hari. Maksudnya sama dengan “gawan bayi” namun lebih banyak digunakan untuk orang-orang yang kelakuannya memang tidak baik. Sudah ialah “ciri” yang dibawa sejak lahir dan akan dibawa hingga mati.
WATUK:
Batuk yaitu refleks, akhir adanya sesuatu yang mengiritasi jalan napas kita. Diatur oleh syaraf otonom yang di luar kontrol kita. Saya tulis dalam blog lainnya Batuk: Gejala penyakit yang banyak diabaikan. Kaprikornus “watuk” memang tidak sanggup diubah (maksudnya: ditahan).
Ada orang yang batuk maupun berusaha menahan batuk hingga terkencing-kencing bahkan terkentut-kentut. Ada sobat ceritera, neneknya umur 80 tahun memakai pembalut wanita, bukan sebab ia masih menstruasi melainkan sebab sering batuk-batuk dan otot-otot metode perkencingannya sudah terlalu lemah untuk menahan agar tidak kelepasan kencing.
Ada orang yang batuk maupun berusaha menahan batuk hingga terkencing-kencing bahkan terkentut-kentut. Ada sobat ceritera, neneknya umur 80 tahun memakai pembalut wanita, bukan sebab ia masih menstruasi melainkan sebab sering batuk-batuk dan otot-otot metode perkencingannya sudah terlalu lemah untuk menahan agar tidak kelepasan kencing.
Karena watuk memang tidak sanggup ditahan padahal batuk itu menjengkelkan baik bagi orang lain maupun diri sendiri, maka yang utama yaitu bagaimana upaya kita agar batuk kita tidak terlampau menghasilkan risih orang lain, dengan kata lain pakailah “etika batuk”. Hampir 100 tahun yang lalu, tahun 1913, Ki Padmasusastra, Ngabehi Wirapustaka di Surakarta sudah mengingatkan lewat bukunya “Serat Subasita”
“Tiyang watuk ing pakehan, tatakramanipun mengo mangiwa: Angingkemaken lambe, kejawi saged mayaraken watuk , boten katingal mangap-mangap, saru dinulu”.
Jadi batuk itu saru. Kita mesti menyingkir, atau memalingkan muka jika berada bareng orang banyak (ing pakehan). Saat itu Ki Padmasusastra mungkin belum paham bahwa batuk juga sanggup menularkan penyakit, terutama TB Paru. Tetapi “mengo mangiwa” atau memalingkan wajah, yaitu “etika batuk” yang tetap dipraktekkan hingga kini dan menjadi fatwa yang ditulis oleh WHO, CDC Atlanta dll.
WAHING
Wahing sama dengan batuk, ialah reflek akhir adanya pengganggu yang mengiritasi susukan pernapasan teratas kita. Jaman dahulu waktu masih SD di depan halaman sekolah selain banyak orang jualan makanan juga ada yang jual “obat wahing”, jika kita hirup dengan hidung, dijamin niscaya wahing. Rupanya wahing itu enak.
Dalam ilmu kesehatan jika wahing didepan orang dan kita menderita penyakit susukan pernapasan, misalnya Flu, TB Paru juga tentunya, maka kita sanggup menularkan penyakit terhadap orang di bersahabat kita.
Etika wahing menjatu dengan adat batuk. Tentang wahing ini, dalam “Serat Subasita” Ki Padmasusastra menulis sedikit lebih banyak ketimbang batuk. Disebutkan hingga ke “umbel” (ingus) segala. Tetapi prinsipnya sama: memalingkan wajah. Kalau Ki Padmasusastra mengambil referensi bagaimana orang Belanda “sisi” (membuang ingus), mohon dimaklumi sebab bukunya diterbitkan tahun 1913.
Tiyang wahing tatakramanipun mengo ngiwa, wêdaling swara kaaling-alingan èpèk-èpèk têngên, ingkang dipun kuwayani (kawekani) mênawi mêdal umbêlipun: saru, dene mênawi badhe segi katadhahan ing kacu, swaranipun kaangkah-angkaha sampun ngênêk-ênêki, inggih kados manawi tiyang Walandi sisi, dipun gêtêrakên, punika pantês dipun tiru.
LIDING DONGENG
Huruf Jawa: Ora kena idu |
Kita diperingatkan lewat “Watak, Watuk dan Wahing” yang katanya “ora sanggup diowahi”. Karena sudah diperingatkan, hendaknya kita “mulat sarira” introspeksi diri.
Setidaknya ada dua hukuman untuk tabiat yang tidak baik. Sanksi dari masyarakat: Kita tidak memiliki teman, dan hukuman hukum: Bisa masuk bui. Untuk watuk dan wahing, mbok ya yang punya tepa selira. Disamping tidak sopan juga sanggup menularkan penyakit.
Batuk akan dilanjutkan dengan meludah, buang dahak. Perilaku buang dahak bangsa kita juga masih belum baik. Di negara lain sanggup dikenakan hukuman “bayar denda” (IwMM)
0 Komentar untuk "Watak, Watuk Dan Wahing: Susah Dikendalikan"