Bila kita menyaksikan tokoh-tokoh wayang, terutama dalam “wayang kulit”, ada dua posisi kepala yang berbeda. Yang satu yakni kepala yang tunduk, dan satunya yakni kepala yang tengadah. Kepala tunduk tidak mesti menggambarkan ksatria yang sopan demikian pula kepala tengadah tidak senantiasa menggambarkan ksatria sombong. Tetapi kalau kita bicara tentang “anteng, meneng dan jatmika” maka ksatria-ksatria dengan kepala tunduk yakni citra perilaku “anteng, meneng dan jatmika”. Misalnya saja Puntadewa, Harjuna, Abimanyu, dan masih banyak lagi.
ANTENG
“Anteng” memiliki arti tidak banyak polah. Gerakannya tenang, halus, indah, namun jangan dikira tak punya kesanggupan (kalau jaman dahulu citra kesanggupan yakni kesanggupan berperang). Dalam bahasa Indonesia ada pepatah “air beriak tanda tak dalam” dan “air damai menghanyutkan”. Dalam dunia pewayangan bisa kita lihat Harjuna yang solah-bawanya anteng dengan mudah mengalahkan Raksasa Cakil yang gerakannya demikian lincah. Sikiap “anteng” akan membuat wibawa dan kharisma. Orang akan segan menyaksikan orang yang anteng.
MENENG
“Meneng” memiliki arti membisu namun bukan membisu seribu bahasa alias tidak bicara samasekali. Orang meneng yakni orang yang bicara secukupnya dan tidak bicara yang bukan-bukan. Ia omong nganggo waton, setelah dipikir lebih dahulu. Dalam bahasa Indonesia ada peribahasa “diam yakni emas”. Ada juga sebutan yang menyampaikan “kalau bicara yakni perak, maka membisu yakni emas”. Yang terang ia bukan orang yang “kakehan gludhug kurang udan”. Diam bukan memiliki arti tidak punya desain atau pendapat. Dalam banyak hal orang membisu akan lebih bermanfaat.
JATMIKA
“Jatmika” yakni resultante dari “anteng dan meneng”. Orang “jatmika” yakni orang yang “susila anoraga”, perilaku yang santun berdasar norma-norma kesusilaan. Siapapun yang menyaksikan seorang yang “jatmika” akan “kepranan” (terkesan) menyaksikan kewibawaan yang terpancar dan tumbuhlah rasa hormat dan segan.
KESIMPULAN
Sikap “Anteng, meneng dan jatmika” sampaumur ini menyerupai sudah ditelan hiruk-pikuknya jaman. Di jalanan hingga di forum-forum wajar di layar putih hingga di layar beling nyaris tidak ketemu lagi perilaku menyerupai ini. Rapat-rapat banyak diwarnai polah-tingkah yang tidak anteng, tidak meneng, terlebih perilaku “jatmika”. Tawuran bisa terjadi di jalanan, lapangan bola hingga di gedung-gedung terhormat dan dijalankan mulai bawah umur hingga orang dewasa. Hebatnya kita yang menonton juga bukan orang yang “jatmika”. Walaupun tidak senang, namun suka. Justru tepuk tangan kita kian besar lengan berkuasa menyemangati. “Keplok ora tombok” katanya. Kalau cuma tepuk tangan (keplok) kan tidak keluar duit (tombok). IwMM.
0 Komentar untuk "Anteng, Meneng, Jatmika"