Dewi Sri: Ikut Mendidik Anak



Legenda Dewi Sri ternyata bukan monopoli tanah Jawa. Ceritera serupa namun tak sama ada di Kalimantan, Sumatra dan Semenanjung Melayu. Dalam dunia pewayangan Jawa, Dewi Sri bareng kerabat laki-lakinya berjulukan R Sadana merupakan anak raja Sri Mahapunggung dari kerajaan Medang Kamulan. Konon R Sadana mau dikawinkan namun tidak mau, kemudian meninggalkan istana. Dewi Sri kemudian mencari saudaranya kemana-mana. Dalam perjalanan yang sarat goda dan ancaman, setiap singgah di pedesaan, Dewi Sri senantiasa memberi hikmah mengenai ilmu bercocok tanam padi terhadap para petani di desa itu. Pada gambar di samping terlihat Dewi Sri mengenakan "sepatu" menyampaikan ia bidadari atau dewa.
Sampai sekarangpun hikmah Dewi Sri masih banyak dipatuhi para petani. Mulai permulaan menanam hingga panen bahkan hingga padi masuk lumbung banyak ritual yang mengadopsi hikmah Dewi Sri.

Di meja makan dulu, seorang ibu akan menasihati anaknya:"Ayo nak, nasinya dihabiskan. Kalau tidak habis (bisa sambil menunjuk butir-butir nasi yang tersisa) Dewi Sri menangis. Nasihat ini tidak menakut-nakuti anak, seumpama misalnya: "Ayo dihabiskan, kalau tidak habis disuntik Pak Dokter" Disini anak jadi takut Dokter. Tapi terhadap Dewi Sri, maksudnya adalah "Menghargai sang Dewi pemberi kesejahteraan dan pelindung tanaman padi".

Si anak pun akan menghabiskan butir terakhir nasinya. Sampai kini pun masih ada orang-orang walau jabatannya tinggi kalau makan piringnya bersih. Mungkin saja dahulu waktu kecil pernah ditegur ibunya, kasihan Dewi Sri. Sebaliknya banyak juga yang kita lihat utamanya pada jamuan prasmanan. Ada yang ambil nasi hingga menggunung, kemudian tidak dapat menghabiskan. Orang seumpama ini bukan cuma tidak hormat pada Dewi Sri, namun juga serakah dan tidak tahu malu. Tidak ingat pula bahwa "somewhere but not too faraway" disana, banyak orang yang untuk mendapat sepiring nasi mesti banting tulang peras keringat, bahkan berdarah-darah dan berurai air mata.

Ada juga teguran lain untuk anak yang tak menghabiskan makanan: "Ayo nak, nanti ayamnya mati". Rasanya aneh, sebab logikanya kalau makan banyak sisa mestinya ayam kita justru gemuk. Kaprikornus yang mendidik mestinya yang dikaitkan dengan Dewi Sri. Padahal mungkin yang nangis justru ibu meskipun namanya bukan "Sri". Susah-susah bapak cari makan, kesudahannya dibuang-buang.

Hal lain lagi yang dapat kita lihat, bahu-membahu dengan jimpitan beras bisa menciptakan sesuatu yang besar. Andaikan kita menjajal bahu-membahu dengan menghimpun nasi yang tersisa, kira-kira akan menghadilkan kesadaran, berapa rupiah duit yang kita buang percuma. Ahli gizi mungkin bisa mengatakan, berapa kalori energi yang hilang sia-sia, sementara masih banyak warga kita yang konsumsi energinya kurang.

Saat ini tidak banyak lagi orang bau tanah memberi nama anak perempuannya dengan "Sri". Ayam pun tidak lagi dipiara di rumah. Nama "Sri" justru banyak dipakai untuk nama Rumah Makan bahkan hotel. Ketika tanaman padi banyak diserang hama khususnya wereng, kita ingat satu hal: Masihkah Dewi Sri melindungi tanaman padi kita seumpama pada masanya waktu melawan celeng Kala Gumarang? Yang menjawab ternyata Didi Kempot dengan lagunya "Sri Minggat" (IwM).

Related : Dewi Sri: Ikut Mendidik Anak

0 Komentar untuk "Dewi Sri: Ikut Mendidik Anak"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)