Diwenehi Ati Ngrogoh Rempela Dan The Camel’S Nose In The Tent

Pengertiannya sederhana saja: “Sudah diberi, masih minta yang lain”. Sama dengan peribahasa “diberi hati mau jantung” atau “diberi sejengkal mau sehasta”.  Orang seumpama ini memang Rai Gedheg alias tidak tahu malu, dan kita sering menjumpai dalam kehidupan sehari-hari, tiap hari,  dilakukan oleh semua orang, tanpa menatap tingkat sosial ekonomi.

Saya ambil pola dari kelas sosial ekonomi paling rendah, “pengemis”. Untuk kelas yang lebih tinggi, Bapak Ibu sanggup mendapatkan sendiri dengan lebih mudah. Di rumah pernah kedatangan seorang pengemis. Sudah diberi uang, kemudian beliau menyampaikan haus. Kalau boleh minta air. Kita ambilkan air teh manis, beliau minum. Belum habis airnya, bilang bahwa kini terasa laparnya. Dari pagi belum kemasukan apa-apa. Apa boleh minta makanan sisa tadi pagi?  Kita bungkuskan nasi dengan lauk secukupnya. Pengemis itu menyodorkan terimakasih dengan embel-embel “apa ada busana bekas”. Langsung kita bilang “tidak ada”.

Perilaku seumpama ini ternyata tidak cuma ada di Indonesia. Saya pernah bertugas di Somalia pada jaman film “Black hawk down”. Setiap berkunjung ke kelompok-kelompok penduduk di desa, senantiasa ada saja usul mereka. Suatu di saat ada yang minta perlengkapan bedah minor, lantaran dalam peperangan niscaya ada orang terluka. Mereka punya perawat, dan apabila dilengkapi perlengkapan bedah minor akan sungguh menolong untuk mengatasi kasus-kasus luka ringan. Peralatan kita penuhi, kemudian mereka minta diberi sterilisator. Karena masih masuk akal, kita katakan OK dengan sterilisator. Tidak berhenti disini, dari sterilisator mereka beralih ke minta “Generator Set”. Langsung kita “cut” dengan “Cukup sterilisator rebus dengan kompor. Makara kompor akan kita beri namun minyaknya tidak”.

Ada lagi suatu ceritera, namun bukan dari Indonesia. Judulnya “The Arab and The Camel” atau “The camel’s nose in the tent”. Walaupun menyebut nama “Arab” namun saya juga tidak jakin apakah orisinil Arab atau karangan orang luar. Bagaimanapun kisah ini bukan cerita baru, lantaran sejak tahun 1800an sudah ada. Dalam kursus-kursus manajemen, ceritera ini pun pernah dijadikan pola bagaimana trik untuk memperoleh sesuatu, barangkali.

Dalam perjalanan mengarungi padang pasir, malam pun tiba dan sang musafir  mendirikan tenda, beristirahat di dalamnya. Tak usang kemudian onta yang dikendarainya mohon ijin untuk memasukkan hidungnya ke dalam tenda, lantaran di luar masbodoh dan ada angin ribut pasir. Setelah diijinkan, tak usang kemudian si Onta minta untuk memasukkan kepala dan seterusnya, hingga seluruh tubuh onta masuk dan si pemilik pada alhasil terdepak keluar.

Visualisasi ceritera di atas sanggup dilihat pada “youtube” di bawah selaku berikut:



Kita mesti berhati-hati dengan orang yang bermental “diwenehi ati ngrogoh rempela” ini. Dalam persepsi saya sikap klasik “diwenehi ati ngrogoh rempela” sudah bergeser menjadi taktik atau tips “bagaimana memperoleh sehasta dari sejengkal”. Didukung penguasaan tehnik advokasi dan komunikasi, umumnya mereka berhasil. Oleh alasannya merupakan itu: “Beware of the camel’s nose”. Permohonan yang amat kecil, cuma memasukkan hidung ke dalam tenda. Rasa kemanusiaan kita niscaya akan mengabulkan. Tetapi perlu kita “prayitna” (ingat Yitna Yuwana Lena Kena) bahwa: “It is a wise rule to resist the beginning of evil” (IwMM)

Related : Diwenehi Ati Ngrogoh Rempela Dan The Camel’S Nose In The Tent

0 Komentar untuk "Diwenehi Ati Ngrogoh Rempela Dan The Camel’S Nose In The Tent"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)