Gareng: Janma Tan Kena Ingina

 
Konon Semar punya tiga anak: Petruk, Gareng dan Bagong. Kabarnya bukan anak kandung tetapi anak angkat. Gareng, nama lengkapnya Nala Gareng. Nala artinya Hati dan Gareng sama dengan garing. Hati yang garing diartikan dengan orang yang sikapnya hati-hati.

Melihat sosok Gareng, kita menyaksikan badan yang sebetulnya rusak. Tangannya kontraktur, konon akhir tabrak di saat Gareng masih berwujud ksatria ganteng berjulukan Bambang Sukodadi. Berkelahi dengan ksatria yang lain yang berjulukan Bambang Panyukilan.

Bambang Sukodadi yang sakti sekaligus angkuh ketemu batunya melawan orang yang sama-sama angkuh dan saktinya. Tidak ada yang menang maupun kalah, justru keduanya menjadi rusak. Beruntung Semar tiba melerai dan menasihati keduanya. Akhirnya kedua ksatria mengaku salah, malah minta diangkat anak oleh Semar. Semar ACC dengan syarat kedua ksatria itu mau gotong royong Semar menjadi panakawan (pamong) ksatria yang berbudi luhur, dalam hal ini Pandawa. Keduanya bersedia, berikutnya Bambang Sukodadi menjadi Nala Gareng dan diakui selaku anak tertua Semar, dan Bambang Panyukilan menjadi Petruk.

Tangan Gareng yang kontraktur kemungkinan sisa-sisa perkelahiannya dengan petruk dulu. Saat itu tentusaja belum ada luar biasa bedah orthopedi. Sehingga Gareng dipahami selaku sosok yang tangannya ceko. Orang Jawa memaknai tangan yang ceko selaku tangan yang tidak mau mengambil hak orang lain (karena tingkat kesusahan lebih tinggi dibandingkan dengan tangan normal, barangkali demikian)

Disamping ceko tangannya, mata Gareng juling (strabismus). Mestinya bukan congenital alasannya yakni dahulu dipahami selaku ksatria bagus. Mana ada orang juling dikatakan tampan. Mungkin juga. Barangkali akhir perkelahiannya dengan Petruk. Trauma di kepala yang menghancurkan syaraf ke tujuh, mungkin. Dasar orang Jawa, mata juling pun melambangkan orang yang memalingkan diri dari perbuatan jahat. Dengan pertimbangan ini apa yang tidak juling mempunyai arti justru suka menyaksikan hal-hal yang tidak baik?

Jadi dari tangan ceko dan mata juling Gareng kita memperoleh amanah mudah-mudahan menjauhkan diri dari perbuatan tercela.

Ada lagi cacat Gareng yitu satu kakinya pincang (Orang Jawa menyampaikan “Gejig”). Dikatakan pincangnya alasannya yakni sakit “bubulen”, yaitu Patek atau frambusia di telapak kaki. Tidak ada ceritera Gareng tidak pernah mandi atau mandi tidak pernah pakai sabun atau di desanya sulit air. Bukankah frambusia terkait dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)? Di negara kita di sekarang ini penderita Frambusia yang didapatkan cuma di bawah 10 ribu saja, terutama di daerah-daerah yang menyibukkan air sehingga PHBS tidak sanggup dilaksanakan. Saya ingat perumpamaan bahasa Inggris: “When the road end, Yaws begin”. Lagi-lagi orang Jawa yang suka ngathuk-nggathukke (mencari keterkaitan) mengatakan: “Kaki pincang melambangkan orang yang dalam segala langkah-langkah sarat kewaspadaan dan kehati-hatian. Tidak grusa-grusu menyerupai yang tidak pincang. (karena jalan mesti hati-hati. Bubul itu jikalau dipakai menapak terasa sakit).

Gareng kesudahannya melambangkan orang yang tindakannya tidak ceroboh dan perbuatannya tanpa cela.

Dalam lakon pewayangan, Panakawan tergolong Gareng senantiasa timbul pada episode “gara-gara”. Saat yang ditunggu-tunggu para penonton , dengan “clean humor” yang segar, menyentil tanpa menylentik. Tapi ada saatnya Gareng kecewa pada pimpinan di Indraprastha (Amarta). Gareng menyaksikan dengan meningkatnya kesejahteraan ada tanda-tanda menjadi lengah. Maka Gareng pun menghilang, menjadi raja di negara Parang Gumiwang dengan nama Prabu Pandu Pregola yang sakti mandraguna. Tidak ada ksatria Pandawa yang dapat mengalahkan Gareng.

Hanya Sri Batara Kresna yang tahu siapa sebetulnya Prabu Pandu Pregola. Ia minta Semar untuk menugasi Petruk melawan Pandu Pregola. Tentu saja Petruk jelalatan memperoleh kiprah diluar kompetensi panakawan itu. Tapi Semar yang waskita menjelaskan sesuatu pada Petruk sehingga timbul semangatnya. Akhirnya Prabu Pandu Pregola kalah dan badar kembali jadi Gareng.

Ketilka diinterogasi Sri Kresna, Gareng mengaku bahwa niatnya yakni mengingatkan pimpinan negara, yang dalam penelitian Gareng selaku abdi, para petinggi mulai kehilangan kewaspadaan. Ternyata Gareng selaku Pandu Pregola bisa menerobos. Andaikan itu musuh yang sebenarnya, negara akan hancur lebur dan rakyat babak belur.

Itulah Gareng. Jangan menyaksikan orang dari sosok fisik dan kedudukannya (baca: Giri lusi, jalma tan kena ingina). Dulu ada perumpamaan PDLT (Prestasi, Dedikasi, Loyalitas dan Tanpa Cela). Semua unsurnya dimiliki Gareng. Aja dumeh (IwM)

Related : Gareng: Janma Tan Kena Ingina

0 Komentar untuk "Gareng: Janma Tan Kena Ingina"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)
close
close