Pada episode Gareng: Jalma Tan kena Ingina sudah diceriterakan bahwa Petruk pada masa mudanya juga Ksatria sakti di wilayahnya dan merantau untuk menjajal keampuhan ksatria-ksatria lainnya. Yang beda dari Petruk, ia suka berseloroh, bersenda gurau. Mengambil ciri khas Petruk yang suka lawakan ini maka ki Dhalang banyak mempergunakan Petruk dalam lakon-lakon carangan yang sarat kekocakan. Penuh canda dalam pedhalangan bukan mempunyai arti tanpa pitutur, baik tersirat maupun terucap.Justru pitutur dalam canda lebih meresap maknanya.
Petruk mempunyai badan yang tinggi, serba panjang dengan ciri khas hidungnya. Pada wayang kulit terperinci sekali hidung Petruk begitu panjang menyerupai hidung Pinokio. Dalam wayang orang tentunya tidak mungkin mencari orang hidung panjang menyerupai itu kecuali pakai topeng. Bagaimanapun sosok Petruk dalam wayang orang niscaya dicarikan yang tinggi. dalam mata kuliah Fisiologi dahulu di Jogja, dosen saya menanyakan, di dunia pewayangan siapa yang menderita Gigantisme? Ada yang menjawab Rahwana. Tentusaja salah, sudah terperinci Rahwana yakni raksasa niscaya besar. Jawaban yang benar yakni Petruk. Sayangnya orang Jawa kehilangan kreatifitas untuk memberi perkumpulan antara gigantisme Petruk dengan tabiat manusia, tidak menyerupai Gareng yang abnormalitas dan penyakitnya sanggup dihubungkan dengan sifat manusia.
Tadi sudah saya sebut banyak lakon carangan mengenai petruk. Ada lakon Petruk kelangan pethel (Petruk kehilangan kampak; kampak yakni senjata yang senantiasa dibawa-bawa Petruk). Yang paling kondang yakni lakon “Petruk dadi ratu”.
Lain dengan Gareng yang waktu menjadi raja misinya yakni mengingatkan tuan-tuannya, maka Petruk menjadi raja justru alasannya yakni ia tidak besar lengan berkuasa iman. Petruk "Raja" berjejuluk Prabu Welgedhuwelbeh. Dengan segala kekocakan dan kekoplakannya ia memimpin kerajaan Lojitengara. Tertusaja Kerajaan Lojitengara menjadi Dhedel-dhuwel. Ki dhalang dengan lincah dan kocak menceriterakan kelakuan Petruk yang memperoleh potensi menjadi ratu ini. Antara lain rokoknya cerutu, hidungnya pakai cincin, duduknya jegang (kaki diangkat) dan lain-lain diubahsuaikan dengan kemajuan jaman. Banyak orang yang secara tiba-tiba kaya kelakuannya menyerupai “Petruk dadi ratu ini” yang dalam peribahasa Jawa disebut “Kere munggah bale”. Bale adalah ambin. (Baca: Dua peribahasa dengan "kere")
Mengapa Petruk sanggup jadi ratu, alasannya yakni ia dititipi Jimat Kalimasada yang dicuri Mustakaweni (baca: Tuladha dari Mustakaweni, Bambang Priyambada dan Petruk). Jimat atau Jamus Kalimasada yakni pusaka Yudistira selaku sipat kandel. Dalam perang tanding antara Mustakaweni dan Bambang Priyambada (anak Harjuna) yang serupa saktinya, berkali-kali Jamus Kalimasada pindah tangan, hingga di saat terakhir sanggup dibawa Bambang Priyambada secepatnya dititipkan Petruk (Bambang Priyambada masih mesti melanjutkan pertarungannya melawan Mustakaweni). Perhitungannya, Petruk niscaya sanggup dipercaya.
Ternyata Petruk moodnya sedang beda. Dia malah melarikan Jamus Kalimasada. Dengan Azimat itu beliau sukses menguasai kerajaan Lojitengara. Melebarkan sayapnya, mengalahkan semua tergolong ksatria Pandawa dan Korawa, hasilnya dikalahkan oleh Bagong. Insyaflah petruk.
Apa yang sanggup kita petik dari dongeng Petruk? Tidak usah jauh-jauh sampai ke orang tidak mempunyai kompetensi memegang kedudukan tinggi. Saya cuma ingin mengingatkan bahwa seorang yang sanggup diandalkan pun sekali waktu sanggup lalai. Hidup mesti saling mengingatkan untuk hal-hal yang baik. Mungkin tidak pernah ada yang mengingatkan Petruk. Satu hal lagi alasannya yakni adanya peluang, yakni menenteng Jamus Kalimasada yang selama ini tidak ada yang pernah pegang kecuali Yudistira raja Amarta. Lupa plus peluang maka jadilah “Petruk dadi ratu”. Mungkin petruk selaku orang kecil sudah mendapatkan sandang, pangan dan papan. Ternyata ia ingin lebih tinggi lagi pada dikala itu, ingin drajat, semat dan kramat (kedudukan, harta dan kewibawaan). Kalau pada goresan pena terdahulu Gareng mengingatkan pimpinannya, kini Petruk yang diingatkan pimpinannya dengan perantaraan Bagong. Dengan meneladani Gareng dan Petruk, pimpinan dan bawahan sanggup sama-sama menimba ilmu (IwM).
0 Komentar untuk "Petruk: Pernah Tidak Memiliki Pengaruh “Drajat, Semat Dan Kramat"