GUYUB adalah kehendak untuk bareng dalam kebersamaan. Bila dalam sebuah komunitas siapa saja memiliki rasa “guyub” ini, alangkah indahnya hidup di dunia. Misalnya ada keluarga punya hajat, atau mengalami petaka alasannya merupakan ada yang sakit atau meninggal dunia, maka tanpa diminta orang-orang akan tiba menampilkan santunan apa saja. Semua “uwur dan sembur” (bukannya Ora Uwur Ora Sembur). Semua membantu, baik berupa tenaga, bahan-bahan, dana maupun nasihat. Semua nrimo tanpa pamrih, tidak menginginkan balasan. Bahkan jika tidak ikut “cawe-cawe” menolong mereka akan merasa bersalah.
Sifat guyub ini masih belum hilang dari kehidupan bermasyarakat di negara kita, paling tidak di desa-desa, utamanya di desa yang masih tergolong klasifikasi “desa kluthuk”, desa yang terpencil, desa yang menamakan dirinya “adoh ratu cedhak watu” (jauh dari ratu akrab dengan batu). Dalam kehidupan kota mungkin sifat guyub telah terkikis oleh hiruk-pikuk urban life. Membantu memang tetap membantu, tapi lebih simpel menolong dengan uang. Pada masa galak-galaknya siskamling, jika pas sanggup giliran jaga aku lebih menegaskan mengupah orang untuk gantikan jaga di poskamling. Padahal jaga rame-rame di poskamling juga merupakan salah satu bentuk keguyuban.
Kalau “guyub” merupakan kebersamaan dalam menjalankan apa saja secara bersama-sama, maka RUKUN adalah hidup tanpa pertikaian. Tidak ada orang bertengkar, atau berlainan pendapat. Kalau terjadi sesuatu seluruhnya tertuntaskan lewat musyawarah yang niscaya mufakat. Bahkan jika perlu mufakat tanpa musyawarah.
Dalam bahasa Jawa ada sebutan “Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah” Rukun menghasilkan kita kuat, kontradiksi menghasilkan kita bubar. Mungkin bapak ibu masih ingat ceritera pria renta yang murung alasannya merupakan anak-anaknya selalu berkelahi. Suatu di saat pria renta itu menghimpun semua anaknya. Ia menenteng sapu lidi, kemudian dilepas ikatannya. Satu-persatu mereka disuruh mematahkan lidi yang telah lepas dari ikatan. Tentusaja lidi itu amat mudah dipatahkan. Kemudian si bapak mengikat kembali sapu lidi itu. Tidak ada satupun diantara anaknya yang dapat mematahkan lidi yang sekarang terikat jadi satu. Pelajaran yang diperoleh dari ceritera ini merupakan “Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah”. Bubrah menyerupai “sapu ilang suhe” (suh: pengikat sapu). Sapu yang kehilangan pengikat akan tercerai berai sekaligus tak punya kekuatan. Andaikan hal ini terjadi dalam keluarga maka keluarga akan menjadi berantakan. Bagaimana jika terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
Kata “Guyub” dan “Rukun” bisa dipakai secara terpisah atau disatukan menjadi “Guyub Rukun”. Sebaiknya memang disatukan. “Guyub” belum pasti “rukun” demikian pula ”rukun” belum pasti “guyub”. Di kala banyak kekerasan ditengah kerasnya hidup, alangkah sejuknya “guyub rukun”. Masih bolehkah kita memimpikan bahwa sebuah di saat bangsa kita akan kembali memiliki semangat “Guyub Rukun” ini? Kita mesti percaya semangat itu masih ada. Paling tidak kata “Guyub” dan “Rukun” masih banyak dipakai. Bukankah banyak Organisasi yang menggunakan nama “Paguyuban”, demikian pula kata “Rukun”. Ada Rukun Tetangga, Rukun Warga, Rukun Tani dan sebagainya. (IwMM)
0 Komentar untuk "Guyub Rukun"