Kebo bule: Kebo albino, yang warnanya putih atau pink muda; Setra: Tempat pembuangan (Poerwadarminta). “Kebo bule” melambangkan orang cerdik pandai. Menjadi paradoks dikala “kebo” secara biasa merupakan personifikasi orang ndeso tetapi dikala menjadi “kebo bule” justru melambangkan orang pandai. Pikiran saya, “kebo bule” itu sulit dicari dan pada jaman dahulu orang pintar memang dapat dijumlah dengan njari, amat langka.
“Kebo bule” pasti istimewa. Buktinya “Kebo bule” dipelihara juga di Kraton Kesunanan Surakarta, kita dapat melihatnya di Alun-alun Selatan. Konon telah ada sejak jamannya Sri Pakubuwana II, diberi nama Kyai Slamet. Adapun yang ada kini merupakan keturunannya. Dikeramatkan orang telah tentu, dan saya tidak menyalahkan. Jangankan kerbau, orang bule (bukan bule albino) pun tanpa menyaksikan kompetensi dan reputasinya senantiasa kita anggap lebih pintar dan kita hormati lebih ketimbang yang tidak bule?
“Setra” ada yang mengartikan mati tanpa dikubur. Saya terjemahkan saja dengan “dibuang”. Sedangkan “Kasetran” menurut Poerwadarminta merupakan wilayah pembuangan. Kemudian kata “mati” disini bukan memiliki arti lepasnya jiwa dari raga. Orang hidup yang terputus dari semua faktor kehidupan dunia dapat dikatakan mati. Tidak heran jika Oliver Wendell Holmes menyampaikan “Live is to function”.
Jadi pemahaman “Kebo bule mati setra” merupakan orang cerdik pintar yang tidak dimanfaatkan kecendekiaannya” jika kemudian dikatakan “mati setra” merana dalam keterasingan, maka hal ini bergantung pada pelaku masing-masing.
Pada jaman kini dimana populasi kebo bule meningkat pesat dan kompetisi semakin mempunyai pengaruh bukan hal yang hebat jika kebo bule yang tidak dimengerti tidak terpakai, yang kalah berkompetisi terpinggirkan dan yang sulit ... dinaikkan kedudukannya.
Tulisan ini saya tutup dengan kutipan Serat Kalatidha, anggitan R Ng Ranggawarsita, Pujangga Kraton Surakarta dalam tembang Sinom. Saya ambil bait ke 4 selaku berikut:
(1) Dasar karoban pawarta; (2) Babaran ujar lamis; (3) Pinudya dadya pangarsa; (4 Wekasan malah kawuri; (5) Yen pinikir sayekti; (6) Mundhak apa aneng ngayun; (7) Andheder kaluputan; (8) Siniraman banyu lali; (9) Lamun tuwuh dadi kekembanging beka.
Terjemahan bebasnya kurang lebih selaku berikut, Baris 1 dan 2: Karena kabar angin (pawarta + lamis) yang terlampau banyak (karoban); Baris 3 dan 4: Akan diposisikan di depan (pangarsa) tetapi malah di belakang (kawuri); Baris 5 dan 6: Kalau direnungkan, untuk apa berada di depan (aneng ngayun); Baris 7: (hanya) Menabur kesalahan; baris 8 dan 9: Bila ditambah lupa (diri) akan menciptakan kesusahan (beka).
EPILOG:
Komedi “kebo bule” telah ada sejak dahulu di seluruh wajah bumi yang ada habitat manusianya. Si kerbau seolah tidak acuh dikatakan apa saja kaumnya oleh manusia. Ia jalani kesibukan rutin hidupnya selaku amanah: Mensejahterakan insan (IwMM)
Dilanjutkan ke Kebo (6) Kebo Mulih Menyang Kandhange
0 Komentar untuk "Kebo (5): Kebo Bule Mati Setra"