Kebo (6): Kebo Mulih Menyang Kandhange

 

Kerbau dalam menapaki hidupnya, di padang penggembalaan, di sawah maupun di kubangan, sore hari akan pulang juga ke kandangnya. Demikian pula insan yang berkelana, sebuah ketika akan kembali ke rumah. Bedanya dengan kerbau, insan pulang tidak tentu. Bisa nanti sore, tiga hari lagi, sepekan atau lebih bergantung seberapa jauh dan seberapa usang DL (Dinas Luar)nya. Pulang DL menulis laporan sambil minum kopi atau apa saja sesuai kebiasaannya. Adalah kerbau yang senantiasa pulang sempurna waktu. Kita anggap saja kerbau (dalam hal ini kerbau Jawa) sanggup menulis. Sambil nggayemi (memamah biak) ia menulis kata demi kata di laptopnya:

Andaikan saya berada di Ranah Minang, nasib saya lebih bagus. Nama Minangkabau kira-kira artinya “menang kerbau”. Tutup kepala wanita di sana ditata apik menyerupai tanduk kerbau. Bahkan “Rumah Bagonjong”, rumah moral disana dibikin menyerupai tanduk kerbau.

Andaikan saya berada di Tanah Toraja, makin banyak tanduk kerbau disusun di depan rumah, yakni lambang kekayaan. Bila ada yang meninggal dunia, makin terhormat yang meninggal, makin banyak kerbau yang di potong.

Andaikan saya berada di Kalimantan Selatan, ada peternakan kerbau air (kerbau rawa), kandangnya dalam air juga, bahkan ada program budaya “Pacu Kerbau Air”. Paling tidak ada peluang unjuk kompetensi sesama kerbau.

Andaikan saya berada di Cina, saya malah memperoleh apresiasi selaku satu dari duabelas hewan yang dipakai selaku nama Shio. Walau Shio ini nasibnya “pekerja keras”.

Tetapi kenapa dalam khasanah peribahasa Indonesia maupun Melayu, ungkapan wacana saya sama saja dengan peribahasa Jawa?

(1) Mandi kerbau: artinya mandi tidak bersih; (2) Bagai kerbau terkejut oleh gung: ini tidak nikmat juga, kelihatannya saya makhluk kagetan; (3) Bagai kerbau dicocok hidung: Duh, kenapa saya lagi? (4) Wah yang ini bagus, saya dipadankan dengan insan walau saya tetap ungkapan yang lemah. Tapi paling tidak masih mau menyindir manusia: Jika kerbau dipegang talinya, insan dipegang katanya dan kerbau sekawan sanggup dikawali, insan seorang tiada sanggup dimaklumi. (5) Nah kalau ini barangkali paling OK diantara yang lain, Masuk sangkar kambing mengembik, masuk sangkar kerbau menguak: Manusia mesti cendekia beradaptasi dimana-mana, dan namaku dipakai selaku perumpamaan.

OK barangkali telah waktunya saya simpulkan: Apa yang tersirat dari pengukuhan insan wacana diriku yakni saya pekerja keras, penurut dan tidak banyak tuntutan. Akibatnya saya dianggap terbelakang dan lemah. Bagaimanapun saya masih beruntung, tidak dianggap kasar dan anarkhis.

EPILOG:

Sang kerbau mulai memejamkan mata sambil tetap nggayemi. Tiba-tiba tersentak, kepalanya terangkat: “Oh ya, kenapa saya terus? Kok bukan sapi?” Laptop dihidupkan lagi, browsing. Koneksi lemot akhir-akhir ini, tetapi secara perlahan-lahan sanggup juga jawabnya dari artikel di Kaskus: “Karena sebelum Australia mengekspor sapi, tidak ada sapi di negerimu” (IwMM).


Lanjutan dari Kebo (5) Kebo bule mati setra
Bersambung ke Kebo (7): Kebo ilang tombok kandang

Related : Kebo (6): Kebo Mulih Menyang Kandhange

0 Komentar untuk "Kebo (6): Kebo Mulih Menyang Kandhange"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)
close
close